Bande à Part (1964): Brechtian dalam Sinema


Jean-Luc Godard bukanlah sutradara biasa. Sutradara kelahiran Paris, 3 Desember 1930 tersebut memopulerkan pada dunia suatu gaya yang bernama French New Wave. Konsep French New Wave mula-mula harus dilihat dalam konteks zaman sekitar tahun 1950-an ketika sineas Prancis tengah gandrung oleh aliran Neo-Realisme Italia (pernah dibahas dalam tulisan sebelumnya). Semangat kesederhanaan dan keberanian mengangkat tema-tema keseharian a la Neo Realisme Italia inilah yang dijadikan fondasi kekuatan French New Wave. Atas dasar itu, mereka merasa perlu untuk mengembangkan teknik pengambilan gambar untuk menyiasati penampilan low-cost mereka –maka itu jangan heran jika melihat film-film Godard, terasa banyak sekali sudut pengambilan gambar yang aneh sekaligus menakjubkan. Eksperimen-eksperimen semacam ini konon juga dipicu oleh kekaguman Godard pada Dziga Vertov, seorang sutradara Rusia yang melakukan eksperimentasi berani dalam film dokumenternya yang berjudul The Man with A Movie Camera (1928)-. 

Selain itu, French New Wave juga disokong oleh konsep camera-stylo dari Alexandre Astruc. Camera-stylo atau dapat diterjemahkan menjadi “kamera-pena” yang kira-kira doktrinnya berbunyi seperti ini, “Sutradara seharusnya punya kebebasan bereskpresi secara penuh lewat filmnya sebagaimana seorang penulis menumpahkan ekspresinya pada kertas sehingga menjadi novel atau pelukis pada kanvas sehingga menjadi karya rupa.” Konsep camera-stylo kemudian bersinergi dengan konsep auteur theory yang dicetuskan Andre Sarris. Nyaris sejalan dengan Astruc, Sarris mengungkapkan pemikirannya agar film bukan merupakan hasil dari proses industrial, merupakan suatu karya yang dihasilkan secara kreatif oleh seorang sutradara. Atas dasar itu, Sarris berpendapat bahwa sudah sepantasnya sutradara adalah pemegang hak cipta dari sebuah film. 
     Atas dasar itu, tidak heran jika ketika menyaksikan film-film Godard, maka akan terasa sekali film tersebut dibuat dengan “seenaknya”. Seenaknya dalam arti, Godard sama sekali menabrak hal-hal yang baku dalam sinema seperti alur cerita, pemilihan aktor, dan gaya montase. Salah satu contoh terbaik bagaimana Godard menerapkan ke-seenaknya-an ini adalah dalam film Bande à Part yang dirilis tahun 1964. Film tersebut memang mempunyai tema besar yaitu tentang rencana pencurian oleh Arthur dan Franz terhadap rumah bibi dari seorang perempuan bernama Odile.  Film tersebut, meski dapat terbaca tema besarnya, namun tetap menyuguhkan kejutan demi kejutan yang seringkali mengganggu penonton. Misalnya, di tengah-tengah obrolan mengenai rumah yang akan menjadi target pencurian, Arthur dan Franz melakukan adegan adu tembak imajiner. Kemudian ketika Arthur, Franz, and Odile tengah berbincang bertiga di sebuah kafe, mendadak mereka melakukan satu adegan terkenal yakni “one minute silence”. Ketiganya diam tidak bicara sama sekali selama satu menit dengan alasan semata-mata karena tidak ada lagi hal yang diobrolkan.

Apa artinya segala kesemena-menaan itu? Tentu saja kita bisa lemparkan alasan itu pada konsep French New Wave yang memang menyerahkan segala wewenang estetika pada sutradara. Godard ingin film yang absurd dan susah ditebak, maka ia sisipkan berbagai kejutan yang tidak mungkin ada di film-film mainstream.  Tapi sebenarnya tidak hanya konsep French New Wave yang menjadi dasar pemikiran Godard dalam film Bande à Part. Selain itu, ia juga sangat terinspirasi oleh teori Teater Epik Berthold Brecht. Sebelum membahas apa itu teori Teater Epik Berthold Brecht, agaknya perlu dijelaskan terlebih dahulu apa itu teori Teater Dramatis Constantin Stanislavsky yang menjadi lawan dari konsep Brechtian. Menurut Stanislavsky, seorang aktor dan sutradara asal Rusia, sangat penting bagi seorang aktor untuk tidak hanya memerankan, tapi juga menjadi. Kata Stanislavsky, “Jika kamu ingin memerankan sebuah tokoh jahat, kamu harus tahu sisi baiknya. Jika kamu ingin memerankan sebuah tokoh baik, kamu harus tahu sisi jahatnya.” Artinya, bagi Stanislavsky, untuk menjadi seorang tokoh, butuh wawasan yang luas, disiplin yang ketat, juga penguasaan historis akan si tokoh secara mendalam.

Bagaimana dengan konsep Brechtian? Kata Brecht, “Apa yang dilakukan oleh Stanislavsky bisa menghanyutkan penonton pada sebuah efek dramatis yang tidak perlu. Lebih baik penonton melihat teater seperti mereka menonton tinju, santai saja. Apa yang diatas panggung adalah pertunjukkan, tidak lebih,” Hal tersebut mungkin bisa menjawab kenapa Godard sedemikian sering memasukkan adegan-adegan yang tidak terduga, yang membuat kita terkejut dan gagal hanyut dalam film tersebut. Godard, dengan mengusup konsep Brechtian, ingin agar kita tersadar bahwa apa yang ia sajikan hanyalah sebuah film, aktor yang bermain sedang berakting, dan adegan demi adegan yang terjadi janganlah dianggap terlalu serius. Pertanyaan berikutnya, seringkah kita menemukan gaya Brechtian semacam ini dalam sinema? Jawabannya, jarang sekali. Hampir seluruh film yang berseliweran di sekitar kita, hampir secara natural berupaya untuk membuat penontonnya hanyut ke dalam film. Artinya, Bande à Part adalah sebuah kekayaan dalam dunia sinema. Ia menyuguhkan sebuah wacana berani tentang bagaimana konsep Teater Epik Brecht masuk dalam film. 


aarc

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Instagram