Pada dasarnya
buku yang ditulis oleh Darsiti Soeratman dicetak dua jilid dengan bagian
pertama yaitu Sejarah Afrika Zaman
Imperialisme Modern yang diterbitkan tahun 1965 dan jilid kedua Sejarah Afrika : sebuah studi tentang
Politik Kolonial Barat dan Penerapannya
di Afrika terbit tahun 1974. Namun, penerbit Ombak di tahun 2012 ini
menyatukan dua jilid tersebut dalam satu buku yang bisa disimpulkan sebagai
munculnya Imperialisme serta kebijakannya di Afrika. Pada awal coretan ini,
kita mencoba untuk mem”bedah” bagian satu dari dua buku tersebut. Secara
keseluruhan, buku ini bercerita tentang kejadian Imperialisme yang terjadi di
Benua Afrika, dan buku ini ditulis dalam konteks tahun 1960-an, saat Afrika mulai
berani berkata Merdeka !!! Uhuru !!!, mungkin saja penulis buku tersebut “berkewajiban”
untuk menuliskan sejarah Afrika pada fase Imperialisme Eropa.
Dari
kosakata, Imperialisme selalu diikuti oleh terminologi kolonialisme yang mana
keadaan wilayah yang terkoloni/terkuasai dan terpusat dalam satu kekuasaan yang
mengontrol secara penuh secara ekonomi, politik, dan budaya (bahkan ilmu
pengetahuan). Dalam perjalanan sejarahnya, imperialisme, kolonialisme, diikuti
pula oleh Eropanisasi sebagai contoh di benua Afrika, sesuai pernyataan Menteri
Luar Negeri Prancis Jules Ferry dalam buku Sejarah Prancis (2011,304) yang
pernah berkata bahwa tugas dari Prancis (baca:Eropa) adalah mengangkat gagasan
tentang misi pemberadaban, kelanjutan dari cita-cita menyiarkan ide-ide
“pencerahan” oleh Revolusi Prancis ke seluruh Eropa (baca;dunia). RAS TERUNGGUL demikian dikatakan Jules
Ferry 28 Juli 1885 “memiliki kewajiban untuk MEMBERADABKAN RAS-RAS BAWAH”. Dengan begitu ada keterkaitan antara
Eropanisasi, sikap kolonialisme, serta kebijakan imperialisme yang sudah
membagi-bagi dunia/wilayah sesuai kepentingan ekonomi, politik, dan budaya,
dengan satu kata kunci yaitu dominasi, hegemoni plus ruang kuasa disegala
aspek.
The Arrival
Lewat segi
itulah, penulis buku setebal 400 halaman inilah menceritakan bagaimana awal
masuknya Eropa melalui Dr. Livingstone dan Dr. Stanley di Kongo sehingga Raja
Leopold II harus ikut serta dalam menanamkan pengaruh Belgia disana, serta
kebijakan kolonialisme yang dilaksanakan di Eropa, sampai perpecahan atau
konflik antar wilayah yang melibatkan kekuatan besar kolonialis yaitu Inggris
dan Prancis di Sudan/Krisis Fashoda, Masalah Maroko, pendudukan Mesir sekaligus
perebutan Terusan Suez, bermukimnya pedagang-pedagang Eropa di pantai Afrika
Barat dan Afrika Timur, masuknya Cecil Rhodes di Afrika Selatan, secara
langsung atau tidak adalah penggambaran dari kalimat Jules Ferry untuk
“mengadabkan” penduduk Benua Afrika. Sebagai contoh dalam buku ini halaman 39
yang mengatakan bahwa tanggung jawab bangsa “kulit putih” untuk memerintah dan
memajukan bangsa Asia-Afrika yang terbelakang dengan sebutan
“half-child”,”half-devil”, “sullen”, “wild” setara dengan padanan kata “uncivilised”,”bar-bar”,”savage”.
Dalam buku
ini, pembahasan awal meletakkan bahasan di konsep Imperialisme Eropa yang
terbagi menjadi fase Imperialisme Kuno dan Modern. Kuno terhitung sejak
1200-1600-an sendiri dimaknai bahwa pada fase ini dimulailah sejumlah pelayaran
bangsa Eropa ke seluruh wilayah Asia, Afrika, dan Amerika Latin lewat slogan
Gold, Glory Gospel, serta mengutamakan kekuatan bersenjata pada ekspansinya
dan pengambilan seluruh barang dari
tanah jajahan, sementara Modern terhitung sejak 1600-an sampai 1940-an adalah
kelanjutan dari fase Kuno tersebut dengan menggunakan dominasi ekonomi, budaya,
politik yang sebenarnya sudah terbentuk sejak fase kuno tersebut dengan ciri
utama penguasaan wilayah untuk diambil bahan mentahnya dan pasar bagi hasil
industri serta penanaman modal dari kolonial .
Pada
pembahasan awal ditambah pula pendapat dari Vladimir Lenin dalam karyanya
Imperialisme:Tahap Tertinggi Kapitalisme, ia menerangkan bahwa hakikat utama
Imperialisme (terlepas Kuno atau Modern) adalah a) Pemusatan produksi dan modal
yang telah mencapai tingkat perkembangan yang lebih jauh, dengan menggunakan
monopoli yang memegang peranan dalam kehidupan ekonomi dan menentukan,b)
Peleburan modal bank dengan modal industri dan adanya oligarkhi keuangan dengan
dasar “kapitalisme keuangan”, c) Ekspor modal dibedakan dari ekspor
barang-barang dan mempunyai arti yang besar dan istimewa, d) Terbentuknya
persekutuan kapitalis internasional yang melakukan monopoli dengan mengadakan
pembagian dunia antar golongan mereka, e) Pembagian tanah di dunia di antara
negara-negara kapitalis besar telah dilaksanakan.
Uniknya,
Lenin menggunakan studi kasus eksplorasi Eropa ke penjuru dunia sebagai bahan
studinya, apalagi Hobson pun menambahkan bahwa periode terkuat bagi ekspansi
bangsa Eropa ke seluruh dunia adalah 1885-1900. Hal ini berbanding lurus dengan
terbentuknya koloni di berbagai wilayah serta berbagai pertemuan yang membahas
pembagian dunia mulai dari Perjanjian Saragosa, Perjanjian Tordesillas, sampai
Konferensi Berlin yang membahas pembagian benua Afrika atau terkenal dengan
sebutan Scrambled for Africa yang kesemuanya terkandung nilai “pemberadaban”
bagi seluruh wilayah di luar Eropa.
Seperti yang
terpapar dalam tabel dibawah ini :
Persentase
wilayah dari kolonial Eropa (termasuk Amerika Serikat)
|
|||
peningkatan (1876 -1900) %
|
|||
Africa
|
10,8
|
90,4
|
+79,6
|
Polynesia
|
56,8
|
98,9
|
+42,1
|
Asia
|
51,5
|
56,6
|
+5,1
|
Australia
|
100,00
|
100,00
|
-
|
America
|
27,5
|
27,5
|
-0,3
|
Sumber: Lenin. 1916. Imperialisme
sebagai tahap tertinggi Kapitalisme. Parus Publishing House, Marxist Internet
Archive. hal.18-20
Sebagai contoh, Konferensi Kongo atau
Konferensi Berlin yang mengambil keputusan sebagai berikut : 1) Suatu negara
jika melakukan aneksasi daerah di Afrika, maka negara tersebut harus
memberitahukan maksudnya kepada negara lain yang mungkin akan menderita
kerugian disebabkan oleh tindakan itu dengan tujuan agar tidak menimbulkan
perselesihan; 2) Eksploitasi daerah Kongo harus dilakukan untuk kepentingan
modal internasional, 3) Daerah Kongo menjadi negara merdeka, dengan mendapatkan
batas yang sempit, ditepi pantai disebelah selatan tebing muara sungai Kongo.
Sebagian daerah Kongo diserahkan kepada penjajahan Portugis, yaitu Angola,
sedang sisanya digabungkan pada Gabon yang merupakan jajahan Prancis. Leopold
II menjadi raja negara “Kongo Merdeka”, sehingga dengan demikian Belgia dan
Kongo adalah Uni Personil (1885-1890); 4) Daerah Kongo dibuka untuk perdagangan
segala bangsa. Ini berarti bahwa seluruh Afrika Tengah dari pantai ke pantai
menjadi daerah perdagangan merdeka. Politik pintu terbuka dijalankan dari
Komisi Internasional dibentuk guna mengawasi
serta menjaga pelaksanaan ketentuan perdagangan mereka dan “penghapusan
perdagangan budak”; 5) Pelayaran di Sungai Niger juga bebas.
Scramble for
Africa
Dalam buku
ini diceritakan pula tentang pendudukan daerah Dahomey, Pantai Gading di tahun
1884, dan tahun 1885 Guinea Prancis yang dianggap sebagai “jendela-laut” bagi
jalur perdagangan Atlantik dan perebutan dengan Inggris dalam jaringan
transaksi budak kulit hitam dari Pantai Afrika Barat. Sehingga Prancis
menamakan daerah koloninya sebagai Afrika Barat Prancis sedangkan diwilayah
khatulistiwa sebagai Afrika Khatulistiwa Prancis. Di kemudian hari, setelah
pelayaran seorang Jerman bernama Dr. Gustav Nachtigal tahun 1884 ke Togo dan
perjanjian Helgoland tahun 1890, Jerman mulai “bersekutu” dengan Prancis untuk
memperluas wilayah koloninya di Afrika Timur sekaligus menghadang dominasi Inggris di wilayah Afrika
bagian Timur atau bernama Afrika Timur Britania. (halaman 52-58)
Disamping
itu, perebutan Afrika oleh bangsa Eropa selain menyebabkan terbaginya benua
tersebut sesuai koloninya, diikuti pula peperangan dan perebutan wilayah antar
Eropa sendiri menjadi ciri terpenting untuk menjelaskan periode imperialisme di
akhir abad 19. Contoh, penguasaan
Terusan Suez yang dibuka tahun 1869 dan menghubungkan antara Laut Mediterania
dengan jalur perdagangan ke Asia, melalui Perdana Menteri Benjamin Disraeli.
Penguasaaan Inggris di Mesir pun dianggap sebagai “gangguan” oleh rivalnya
Prancis yang menguasai wilayah Sudan sehingga timbullah yang Krisis Fashoda
yang melibatkan kekuatan kolonial Prancis dan Inggris sampai pada akhirnya
disepakati serta tunduknya Prancis terhadap perjanjian Condominium Agreement
tanggal 2 Agustus 1898 yang membuat Sudan diperintah oleh Mesir dan Inggris,
sementara Lord Kitchener ditunjuk sebagai Gubernur Jenderal di Anglo-Egyptian
Sudan. (halaman73-86)
Alur dari
pergerakan kekuatan kolonialis Eropa lama kelamaan merambah pula sampai ke
bagian Afrika Selatan yang dirintis oleh Cecil Rhodes setelah dia
mengeksplorasi tambang-tambang intan dan emas di daerah Kimberley, Afrika
Selatan. Kemudian untuk memperkuat dominasinya, ia sendiri mengembangkan
politik Afrikander Bond, yang menempatkan bangsa Belanda dan Inggris pada
kedudukan yang sama dan membentuk suatu federasi antara republik Belanda dengan
penggabungan Transvaal dan Orange Free State dengan daerah koloni Inggris yaitu
Natal dan Cape Colony sebagai salah satu solusi atas terjadinya Perang Boer
disana. (halaman 87-109).
Penutup
Pada akhirnya
dalam buku ini dipaparkan pula tentang karakteristik dari politik kolonial
Inggris dan Prancis sebagai dua negara yang paling memainkan “kartu” dalam
penguasaan Afrika di periode 1885-1900. Jika Prancis menggunakan sistem
asimilasi dalam Union Francaise/French Community/Francophone dengan Paris
sebagai pusat imperiumnya, maka Inggris memakai sistem otonomi. Sistem ini menggunakan sistem indirect rule
dengan membiarkan kemandirian dari negara koloni, namun pada akhirnya kedua
sistem yang dipakai oleh negara ini tetap melestarikan supremasi Eropa dalam
aspek ekonomi, budaya, dan politik. Hal ini diperlihatkan dengan kompetisi dari
Inggris, Prancis, Belgia, Jerman dan Italia untuk menghabisi “kue” bernama Afrika
sampai periode 1880-1912 hanya tersisa Liberia dan Ethiopia saja yang statusnya
merdeka. Selebihnya, buku ini kurang memaparkan bagaimana keterlibatan Portugal
dan Spanyol dalam penjelajahan Afrika periode 1400-an sampai 1600-an, yang
dimana dua kekuatan ini saling bersaing dalam jalur pelayaran dunia sampai ke
Nusantara . Namun, buku ini patut dibaca untuk mereka yang berminat pada kajian
Afrika khususnya memandang Afrika pada fase Imperialisme Modern, hal inilah
yang menjadi satu faktor bagi timbulnya kemerdekaan serta gagasan nasionalisme
Afrika, selepas Perang Dunia II. Selamat Membaca !!!
Uhuru !!! *disampaikan
dalam Operasi Buku, Sejarah Afrika bagian pertama, 12/10/2012, Penghantar
adalah Haryo Kunto Wibisono, manusia biasa yang (kebetulan) jadi kepala suku
sAAs (Society of Asian-African Studies).
Catatan:
-
Oxford
English Dictionary (1974,163) pengertian koloni adalah negara atau wilayah yang
diduduki oleh pendatang dari negara lain dan dikendalikan oleh mereka. Sudah
tentu untuk mempertahankan posisi itu harus ditopang pula oleh kolonial berikut
pula perangkat kebijakan politik, ekonomi, budaya yang disebut kolonialisme. Loomba (2003)
mengatakan bahwa sebuah pemukiman dalam sebuah negeri baru, sekumpulan orang
yang bermukim dalam sebuah lokasi baru dengan membentuk sebuah komunitas yang
tunduk atau terhubung dengan negara asal mereka; komunitas yang dibentuk
seperti itu, terdiri dari pemukiman asli dan para keturunan mereka dan
pengganti-pengantinya, selama hubungan dengan negara asal tetap dipertahankan.
-
Imperialisme
menurut Dr.J.Barstra dalam Soeratman (2012,13) adalah usaha untuk mempererat
kembali hubungan antara daerah-daerah jajahan Inggris (Eropa) dengan negeri
induk mengadakan hubungan kultural, persatuan bea, atau perjanjian-perjanjian
politik dan militer”
-
Konferensi
Berlin (German: Kongokonferenz atau "Konferensi Kongo") 1884-85 mengatur bagaimana berjalannya
kolonisasi dari Eropa dan perdagangan di Afrika ..Diusulkan oleh
Portugal dan diorganisasikan oleh Otto Von Bismarck sebagai Kanselir pertama
Jerman sehingga hasilnya adalah Tindakan Umum dari Konferensi Berlin, yang
sering terlihat sebagai formalisasi dari perebutan Afrika. Konferensi tersebut
mengantarkan sebuah masa yang dimana aktivitas kolonial semakin meninggi
sebagai bagian dari kekuatan Eropa, namun secara secara serempak menghapuskan
keberadaan sejumlah pemerintah mandiri/kerajaan-kerajaan merdeka di Afrika
seperti di Ghana, Zimbabwe, Mali, Kongo, dan beberapa (pemerintahan) suku yaitu
Zulu, Xhosa, dsb. .http://en.wikipedia.org/wiki/Berlin_Confererence.diakses
September 20, 2011.
Pustaka
Carpentier,
Jean dan Francois Lebrun. 2011. Sejarah Prancis: Dari Prasejarah hingga Akhir
Abad ke-20.Jakarta:Kepustakaan Populer Gramedia.
Lenin. 1916. Imperialisme
sebagai tahap tertinggi Kapitalisme. Parus Publishing House, Marxist Internet
Archive. hal.18-20
Soeratman,
Darsiti. 2012. Sejarah Afrika. Yogyakarta : Penerbit Ombak
bagus infonya
BalasHapus