Mengapa Filsafat? (Resensi Buku "Manusia dan Teknologi dalam 2001: A Space Oddysey")

oleh: Stefanus Ping Setiadi*


Ketika menikmati film yang membutuhkan hal-hal yang referensial, pengetahuan dan wawasan atau sosio estetika tertentu untuk bisa mencerna dan  mengapresiasinya--tetapi saya merasa tidak cukup memiliki modal pengetahuan dan wawasan-wawasan yang diperlukan tersebut, maka saya akan mengapresiasi film layaknya anak kecil yang pertama kali melihat televisi atau film di bioskop yang selalu terpukau dengan sajian film yang ada, seterpukau sang anak ketika mengalami hal-hal yang baru untuk pertama kalinya. Biar saya tidak perlu dibebani dengan tuntutan tinggi untuk bisa mengerti dengan apa yang ada dibalik sajian film, melainkan menikmati sensasi rasa di dalamnya tanpa membawa pengharapan-pengharapan tertentu dengan bagaimana film tersampaikan karena keterbatasan saya untuk bisa mencerna. Karenanya kemudian saya mencoba dan mengendapkan memori pengalaman rasa itu dalam bank data memori saya untuk mungkin suatu saat data memori ini bisa kembali mencuat dan mengemuka untuk akhirnya bisa terkaji kembali. Begitu juga cara saya awalnya untuk bisa mencerna film 2001: A Space Odyssey ini. Seperti diketahui bahwa film 2001: A Space Odyssey ini pada tayang perdananya ratusan penonton walkout atas ketidakmengertiannya mencerna film ini. Lalu hadirlah buku ini kemudian untuk mengajak saya membuka dan mencuatkan data memori saya kembali.

Seperti dikatakan oleh Pak Awal Uzhara dalam tulisan pengantar buku ini yang menyatakan tentang bagaimana film yang memiliki sosio estetika yang tinggi, sebagaimana sebuah karya seni adi luhung, karya itu sebaiknya bisa membumi dan bermakna bagi kehidupan  yang kita tinggali sekarang ini. Dan itulah sepertinya yang menjadi tantangannya kemudian.


Syarif membedah film ini dari kaca mata filsafat.  Sebuah cara bedah yang cukup riskan secara segmen pasar mengingat posisi filsafat yang kurang dan mungkin tidak populer dalam ranah publik kita hari ini. Filsafat bagai sesosok mahluk tengil di tengah semua ranah publik yang awam. Pengusik  tidur nyaman segala mereka yang berada di sekelilingnya. Tampak ada semacam ‘dosa’ dalam ruang filsafat dari kaca mata publik awam. ‘Dosa’ mereka yang berbuah pikir dalam kerangka filsafat saat menyentuh ruang publik adalah bahwa seakan-akan para filsuf ini berbahasa dengan kadar ketidakmengertian awam  yang tinggi dan sulit untuk dipahami. Para pemikir ini seakan-akan hanya berbicara untuk memuaskan hasrat bercurah pikir mereka belaka. Hanya bualan omong kosong layaknya menu canggih yang tak berwujud makanan nyata alias tidak menyentuh wilayah kepraktisan (seperti tertulis dalam salah satu paragraf di halaman sepuluh pendahuluan penulisan buku ini). Padahal pada hakikatnya filsafat berarti berendah hati mengevaluasi segenap pengetahuan yang telah kita ketahui. Seorang yang berfilsafat diumpamakan seorang yang berpijak di bumi sedang menengadah ke langit yang berisi bintang-bintang. Dia ingin  mengetahui hakikat dirinya dalam kesemestaan galaksi yang juga sekaligus membongkar tempatnya berpijak secara fundamental.

Ada salah satu ciri filsafat yang menjadikannya mengapa ia mendapat cap tengil adalah karena sifatnya yang spekulatif.  Ini menyebabkan filsafat  mendapatkan serangan sinis berupa tanya yang berisi : bagaimana ia bisa menjadi sebuah dasar bila itu berawal dari spekulasi? Benar adanya pertanyaan yang sekaligus mengandung pernyataan tersebut, namun hal itu tidak bisa dihindarkan. Sebab dalam prosesnya yang melalui jalan analisa dan pembuktian, kita bisa memisahkan spekulasi mana yang bisa diandalkan dan mana yang tidak. Dan tugas utama filsafat kemudian adalah menetapkan dasar-dasar yang dapat diandalkan dan dipertanggungjawabkan. Seperti  yang pernah dialami penulis buku ini yang pernah mendapatkan pernyataan bahwa argumennya tentang analisa film berjudul Blue Velvet itu dinyatakan over-analysis dalam salah satu acara diskusi yang kebetulan saat itu saya berada di sana juga. Tidak ada yang salah dengan pernyataan tersebut, karena si pemberi pernyataan mencoba membongkar analisa yang dipersepsikannya sebagai pernyataan spekulatif penulis yang akhirnya menuntut penulis memberikan semacam argumen pertanggungjawaban analitiknya. Dan itulah bentuk dialektika filsafat yang sehat.

Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah mengapa penulis membedah film ini dari kaca mata filsafat? Sederhana saja, sebab penulis dalam kesehariannya bergelut dengan wacana filsafat. Di lain waktu tentu bisa juga pihak lain yang seorang psikolog misalnya, atau seorang yang kesehariannya bergelut dengan hal-hal yang teknis utamanya teknis sinematografi, atau mereka yang berkecimpung dalam dunia bahasa, dan lain-lain turut membedah sebuah karya dalam perspektifnya masing-masing secara partikular.  Tidak ada otorisasi siapa yang berhak dan pihak mana yang lebih kompeten untuk bisa turut memberi curahan buah pikirnya.

Idealnya buah pikir filsafat tertuang dan terejawantahkan dalam karya nyata yang bisa diapresiasi. Dan salah satu usaha untuk itu, yang juga usaha membumikan filsafat ini adalah menuangkannya dalam sebuah karya seni, salah satunya film. Cara tuang ini menjangkau kita untuk bisa melibatkan interaksi audiens melalui indera untuk lebih bisa mencernanya. Film dalam pengkaryaannya berusaha menangkap pengalaman nyata keseharian manusia. Seperti kata Walter Benjamin (1892-1940) seorang filsuf, esais, penerjemah dan kritikus sastra Jerman, film juga dipandang sebagai sarana puitika yang bagus untuk merumuskan pengalaman-pengalaman manusia di jaman modern.   Dikatakan juga oleh Benjamin tentang adanya kekhasan dalam dunia modern yaitu bahwa bersama dengan produksi kebaruan yang tanpa henti, makin berkuranglah pengalaman yang dapat dikomunikasikan, sebab sarana representasi atau bahasa yang lama tak pernah memadai untuk mengkomunikasikannya. Diperlukan sarana merumuskan pengalaman yang tak terumuskan. Karena itulah sisi puitik sebagai diksi di sini diperlukan untuk mengartikulasikan pengalaman keseharian menjadi pengalaman yang bisa diwacanakan dan direfleksikan.[1] Film 2001: A Space Odyssey ini bertutur dengan cara puitik yang non prosaik yang konsekuensinya melahirkan pemultitafsiran di baliknya. Dan buku ini menjadi salah satu usaha penafsiran penulisnya.

Sebuah karya seni, sastra bisa saja dibuat ribuan tahun lampau. Tapi pemaknaannya bisa saja juga selalu membaharu, ada konstruksi bangunan baru untuk bisa menjadi perenungan yang kontekstual untuk atmosfir hidup kita hari ini. Dan atas dasar pemikiran itulah, buku “Manusia dan Teknologi dalam 2001: A Space Odyssey” (Klik Info Buku), ini mengada.

Buku ini, seperti yang dituturkan penulis sendiri adalah merupakan ‘anak pertama’nya. Sang anak yang pada hari ini masih berbentuk monolith kecil yang harapannya bisa terus tumbuh dan memberikan pesan-pesan refleksi filosofis yang membumi dan bermakna.

Ada pemeo yang berujar bahwa mereka yang menggiati filsafat itu tak lebih dari sekedar modus untuk bisa menjual buku karya tulisnya. Tentunya pemeo itu mengada karena kecurigaan yang berasal dari persoalan motif ekonomi belaka. Bila benar adanya kecurigaan itu, saya akan mengatakan kepada penulis mengapa begitu bodoh ia mau menelurkan tulisan yang berlatar belakang filsafat di tengah sekian banyak buku-buku non filsafat best seller yang diminati pasar? Mengapa lalu penulis begitu naifnya berharap mendapat keuntungan materi dari membuat tulisan filsafat? Filmnya jadul, cara film bertuturnya minor, ranah kajian buku dan pangsa pasar penikmatnya juga minor—lah lu kok masih nekad bikin buku beginian sih Rif??






[1]  Extension course filsafat dan budaya Culture and Everyday Life – Keseharian dan Teori Budaya, 15 Maret 2013 / Prof. Dr. Bambang Sugiharto

* Tulisan ini diambil dari blognya Stefanus Ping Setiadi

aarc

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Instagram