POLITIK (BAGI-BAGI DONG)




Baiklah saya kutip potongan opini dari esei Nirwan Ahmad Arsuka (2001:30) pada sebuah buku “Demokrasi, Kekerasan, Disintegrasi: Merangsang Pemikiran Ulang Keindonesiaan”, manakala ia menganggap politik sebagai kegiatan kelas dua. Seperti berikut ini: Tujuh anak tersesat di hutan. Di jantung rimba mereka menemukan sebelas butir durian. Politik adalah memutuskan bagaimana cara membagi kesebelas durian itu dan siapa yang akan membaginya. Gunanya agar ketujuh bocah itu sama-sama menikmatinya dan mereka dapat keluar bersama dari hutan.

Berdasar anggapan dan perumpamaan di atas, politik pada satu tafsiran: siapa berbuat apa, dan siapa mendapatkan apa. Sepintas terlihat mudah dalam pembagian, tapi ketahuilah setiap diri memiliki pandangan masing-masing. Pembagian 10 durian, bagi 7 anak, tampaklah mudah, bahkan takperlu bersekolah tinggi-tinggi untuk menghadapi kasus serupa itu. Yang penting semua senang, dan mendapatkan bagian masing-masing. Tetapi apa yang terjadi pada saat pembagian itu, selalu saja ada pihak yang serakah, ingin beroleh lebih, takmau berbagi secara bijak.

Mengacu pada kisahan di atas, berpolitik bukan melulu pembagian jatah nasib beserta tungku dapur biar mengepul. Berpolitik sungguh butuh kesadaran terhadap tugas masing-masing individu, yakni memahami bahwa di sekitar kita, ada orang lain yang perlu diangkat martabatnya, bukan malah dihinakan. Bukankah kita adalah dulunya satu bangsa, satu keluarga besar, yang diikat oleh persamaan nasib, sebagaimana Ernest Renan, yang telah mendefinisikan bangsa sebagai sebuah kumpulan orang-orang yang dalam ikatan emosional dan persaman nasib yang sama.

Menurut Renan, tambahnya, sebagaimana yang telah dikutip Nirwan Ahmad Arsuka (2001:31), bangsa bukan hanya dibentuk oleh ras, bahasa, kepentingan material, afinitas religious, geografi dan keperluan militer, akan tetapi bangsa adalah sebuah sukma, sebuah prinsip spiritual, yang meliputi dua hal. Pertama, perasaan ikut berbagi sebuah peninggalan yang kaya, suatu kenangan kolektif. Kedua adalah kesepakatan hari ini, tekad untuk hidup bersama, meneruskan nilai dari sebuah warisan agung yang diterima dengan utuh. Jikalau kesadaran hidup berbangsa, menganggap bahwa yang hadir, tumbuh, bergerak di bumi nusantara ini adalah satu keluarga besar,
pasti tipis sekali peluang bersikap serakah itu. Antar satu dengan yang lainnya muncul kesadaran untuk mengorganisasi dirinya masing-masing, juga terbit keinginan untuk bersatu dengan yang lain dengan semangat komunitas tiadabatas, menggapai tujuan ke arah persatuan hidup berbangsa, bukan malah persatuan nasional yang barangkali terkesan dipaksa-paksa, kalau berbeda sedikit malah ditindas dan dianggap pembelot dari keutuhan bangsa.

Saya pernah menaruh harapan bahwa kesadaran berbangsa, dalam arti berpolitik untuk mengatur hidup dan kehidupan bermasyarakat, dapat dimunculkan lewat partai politik, media massa, atau LSM tertentu, namun justru yang terjadi malah politik kepentingan, yang cenderung mengagungkan keserakahan diri dan golongannya masing-masing. Meski taksemua begitu, ada juga yang lurus dan tulus. Bukankah kita bisa memulai kesadaran itu dari keluarga, dan atau dari komunitas yang sedang kita geluti untuk sama-sama berbaur melebur bersama masyarakat.

Ihwal kesadaran berbangsa ini mahal harganya, taksemua orang memilikinya, tapi bukan berarti kita takbisa mendapatkannya, salah satunya dengan belajar. Pada ruang dan waktu tertentu, sesekali kita luangkan hati dan jiwa kita untuk memahami lagi apa yang telah tersaji dalam rentang kehidupan di tempat kita tinggal. Mulai membuka mata, ke arah depan, ke samping dan melangkahkan kaki melihat lingkungan sekitar. Di depan rumah kita, adakah yang berlainan agama dengan kita, lalu munculkan lagi tanya dan rasa ingin tahu, di samping rumah kita, darimanakah ia berasal, asli dari daerah itu ataukah datang dari tempat lain. Mulai kembali bertanya, beranjangsana, mencari pengertian, saling mengerti, dengan mengenal, bahwa dari posisi kita tinggal ternyata bisa jadi kita dilingkupi orang-orang dengan berbagai macam adat, keyakinan, serta suku bangsa yang berbeda-beda pula. Itulah realitas sosial saat ini.

Dari interaksi antar satu individu dengan individu lainnya, melalui pergumulan yang terbuka, berdasar pada semangat kebersamaan suatu keluarga dengan keluarga lainnya, berharap kesadaran hidup berbangsa kian menghunjam di hati sanubari penduduk nusantara. Diawali dengan sapaan, senyuman, sentuhan ramah, takada maksud lain, selain mewujudkan kehidupan bersama yang mesti tebina terus-menerus. Terkadang pada saat kita berusaha untuk wujudkan rasa itu, tentang bagaimana indahnya hidup tanpa ada permusuhan dan juga perseteruan, acap terbentur pihak
yang hendak menguji ketulusan kita. Muncullah orang-orang sembarang, dengan tingkah laku garang, berniat jelek dan busuk. Inilah tantangan. Lagi, berpolitik perlu asupan kesadaran bahwa kita berasal dari satu keluarga besar, bertebaran di bumi nusantara ini.

Akhirnya, ada baiknya kita simak juga penggalan puisi dari penyair heroik Wiji Thukul.

Tong potong roti/Roti campur mentega/Belanda sudah pergi/Kini datang gantinya
Tong potong roti/Roti campur mentega/Belanda sudah pergi/Bagi-bagi tanahnya (1989)

Bandung, Maret 2013






















Biodata penulis:

Adew Habtsa. Bergiat di Asian African Reading Club-Sahabat Museum Konperensi Asia Afrika. Tinggal di Jalan Sersan Surip No. 143/169A Ledeng Bandung. Alamat email: h_adew@yahoo.com. No kontak: 085722638505/02291699574.

aarc

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Instagram