PERKARA KOMITMEN MORAL ITU, MERESAP, DAN MENJADI TENAGA DALAM

Tersebutlah sajak yang sangat menggugah, bagaimana seorang seniman- penyair bersikap dalam konteks hidup bermasyarakat dan berbangsa:

PERSETUJUAN DENGAN BUNG KARNO

Ayo! Bung Karno kasi tangan kita bikin janji
Aku sudah cukup lama dengar bicaramu, dipanggang
            atas  apimu, digarami oleh lautmu


Dari mulai tgl. 17 Agustus 1945
Atas melangkah ke depan berada rapat di sisimu
Aku sekarang api aku sekarang laut


Bung Karno! Kau dan aku satu zat satu urat
Di zatmu di zatku kapal-kapal kita berlayar
Di uratmu di uratku kapal-kapal kita bertolak &
            berlabuh

Ya benar, si binatang jalang itu, si bohemian itu, si penyair yang katanya individualis, lantaran sajaknya yang berjudul ‘Aku’ yang lebih mengentara di atas langit nusantara, rupa-rupanya telah membuka diri untuk kondisi Indonesia pasca kemerdekaan. Sajak di atas ditulis Charil Anwar (CH) pada tahun 1948, saat gejolak perang kembali mencengkram, Belanda seperti takmau melepaskan jajahannya itu. Para pemimpin bangsa dibuat  takmenentu, nikmat kemerdekaan jelas terancam dan akan terenggut lagi, bila takada kesatuan diantara semua elemen masyarakat saat itu. 

Seniman termaksud taklagi berasyik-masyuk dengan topik individualis-eksistensialis yang cenderung liar, namun setelah membaca sajak ‘Persetujuan Dengan Bung Karno’, ia sudah mendekatkan dirinya pada realitas sosial-politik yang berkembang ketika itu. Terkait sajak di awal tulisan ini, penyair CH bukan sedang berpolitik praktis, berafiliasi secara membabibuata, namun ia sedang memberikan dukungan moral dan spiritual untuk sama-sama bergerak dan lakukan revolusi.

Dari sajian sajak itu, penyair CH coba membuktikan dirinya untuk menjadi bagian integral dari kenyataan masyarakat dalam mempertahankan kemerdekaannya. Kepekaan yang kuat dengan obyek persoalan menjadi kata kunci kekaryaan CH, khususnya pada sajak termaksud itu. Saya tidak tahu, apakah CH mengenal secara pribadi  dan lebih dekat dengan Bung Karno, Sang Proklamator? Entahlah. Asumsi saya bahwa seorang penyair adalah pembaca yang bagus, selain membaca teks, ia pun pengamat yang cekatan lagi jeli pada konteks tertentu yang bermunculan di masyarakat.

Hal menarik yang dilambungkan Penyair Senior Sapardi Djoko Damono berkenaan dengan sajak di atas bahwa dari sajak itu telah melahirkan banyak tafsiran, apatah lagi pada tahun 1960-an terjadi polemik kebudayaan dan menjadi ajang pertaruhan politik praktis. Satu hal yang mencengangkan pada tahun 1965, terjadi.  Komisaris Dewan Mahasiswa Fakultas Sastra juga pimpinan Fakultas yang bersangkutan bahwasanya gagasan kepanyairan CH bertentangan dengan faham Sosialisme Indonesia dan Amanat Berdikari yang sudah dicanangkan Bung Karno, bahkan terjadi penolakan tanggal 28 April− hari kematian CH− sebagai Hari Sastra. Lantas Lembaga Kebudayaan Rakyat yang berada di bawah Partai Komunis Indonesia pun menyatakan hal yang sama dan bersikap tidak mengakui gagasan penyair besar Indonesia itu. Mengenai polemik ini, tokoh politikus  saat itu Dr. Roeslan Abdulgani menyampaikan gagasannya dalam sebuah esei berjudul ‘Chairil Anwar Juga Milik Seluruh Bangsa Indonesia’. Betapa nasib penyair CH bak binatang jalang yang terombang-ambing di depan kacamata politik. Begitulah sinisme politik, sentiment, kecenderungan, dan kecurigaan kerap menyoroti dunia kesenian.

Lepas dari soal itu semua, masihlah kepanyairan CH patut diperhitungkan dan menjadi penyair penting Indonesia, salah satu pelopor puisi modern di negeri ini, yang berkarakter kuat dalam semangat hidup, jua  idealisme yang kokoh pada arti kepahlawanan. Andaikata ada yang mengatakan bahwa para penyair hendaknya menjadi juru bicara bagi zamanya, maka saya bersepekat dengan hal itu. Ia akan membicarakan tentang apa yang terjadi di negerinya, mengisahkan kegetiran hidup ataupun tentang kesetiaan pada pemimpin, agar dapat melangkah lebih baik dari sebelumnya.

Dengan melihat satu karya, sepertinya kita bisa merasakan sebuah tenaga yang luar biasa, bila kita mau meresapi karya itu, terserah apa karya seni itu lukisan, musik, drama, film, bahkan puisi sekalipun. Seperti yang pernah dituturkan Budayawan Putu Wijaya dalam sebuah Buku ‘Ngeh’: Kumpulan Esei(1997) bahwa setiap karya seni yang luarbiasa dianggap memiliki ‘tenaga dalam’ sehingga mampu menggebrak orang-orang yang kebetulan membaca, menikmati dan mengapresiasi karya itu untuk bangkit. Melalui puisi yang tertulis di atas, Penyair CH berusaha menghadirkan komitmen moral untuk peduli pada kepentingan sosial.

Sungguh puisi di atas, puisi yang bertenaga, membuat saya ingin mengetahui lebih dalam tentang apa yang tersurat dan tersirat, terutama tentang sosok Bung Karno yang menurut penyair CH telah ‘satu zat satu urat’.


Bandung, Februari 2013



Adew Habtsa. Sekretaris Jenderal Asian African Reading Club. Penyair, Pemusk, tinggal di Bandung.
           

aarc

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Instagram