PERIHAL KLUB BACA KAMI, ASIAN AFRICAN READING CLUB ITU: Sekadar berbagi bahwa membaca secara keroyokan itu mengasyikan.

     Saya pernah membeli buku di sebuah pameran buku-Bandung pada Agustus 2003 dan sampai hari ini belum dibaca, baru membolakbalik bukunya saja. Lumayan. Saya juga berkacamata minus, tebal pula, disangka semua orang saya adalah kutubuku, rajin membaca buku, tapi ketahuilah, mata ini rusak bukan karena giat membaca, tetapi keseringan nonton dan main game.

Tiba-tiba seorang kawan yang baik, Deni Rachman namanya, seorang Saudagar Buku juga Penulis, mengajak saya untuk membantu menggelar sebuah festival dalam rangka peringatan proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, lalu saya diberi amanah untuk memegang acara peluncuran buku. Kesibukan pasti datang, dimulai dari menyusun acara, mendatangkan pembicara, sampai mengurus undangan dan penampil hiburan. Bertempat di Museum Konperensi Asia Afrika (MKAA), pertengahan Agustus 2009. Sebuah tempat yang paling aneh dan senyap bagi saya. Aneh karena saya belum pernah menginjakkan kaki ke Museum itu. Senyap lantaran memang museum  tempat bersemayam artefak sejarah yang paling sunyi. Asyik sekaligus melelahkan juga perhelatan itu. Dari kegiatan tadi, tercetuslah ide untuk membuat klub baca, tersebutlah nama Asian African Reading Club (AARC).

Sebermula, saya tidak pernah tahu, apa yang sesungguhnya terjadi di Museum Konperensi Asia Afrika, apalagi tentang peristiwa Konperensi Bandung itu yang telah lahirkan Dasasila Bandung. Setelah dijalani dan mengikuti kegiatan di klub tersebut, lambat laun saya mulai memahami tentang pentingnya membaca, tepatnya, semakin mengentallah gairah untuk mengkaji teks, membuka lembar demi lembar halaman pustaka, juga mendiskusikan isi yang termaktub di dalamnya. Di masa lalu, kegiatan membaca kadang-kadang saya lakukan, itupun karena tugas dari sekolah atau perkuliahan, jika saja dosen atau guru takmemberikan tugas demikian, tentu saja saya masih asyik nonton, ngobrol atau dengar musik paling asyik sedunia.

Untung saja, teman-teman yang tergabung dalam komunitas AARC ini, orang-orang dengan komitmen yang kuat untuk belajar, membaca, bertukar pikiran, lebih jauh berkarya dengan minat masing-masing, meski jumlahnya tidaklah terlalu banyak untuk sebuah komunitas. Kadang saya berpikir, kalaulah sebuah klub terlalu banyak anggotanya, akan pusing dalam pengelolaan, takubahnya sebuah partai atau ormas yang memang mengandalkan jumlah orang untuk penentuan hasil akhir, terlalu politis barangkali. Akan tetapi klub ini memang diperuntukkan bagi siapapun yang hendak merayakan ilmu pengetahuan, dengan belajar, membaca dan atau menulis.

Terkenang sebuah tulisan Becoming Nation of Readers dari Komisi Baca AS (1985) yang memaparkan bahwa kemajuan suatu bangsa ditentukan oleh tingkat budaya baca anggota masyarakatnya. Luarbiasa. Saya mulai mengetahui ihwal petunjuk untuk memajukan peradaban bangsa, ya dimulai dengan membaca. Membaca apapun, apasaja, baik yang tersurat maupun yang tersirat. Membaca teks buku, lingkungan sekitar, termasuk membaca diri sendiri. Itulah salahsatu aktvitas yang menjadi kunci bagi tertutupnya pintu diri, agar terbukalah belenggu jiwa, supaya terkuaklah kebodohan dan ketidakpedulian diri ini. Dari kegiatan baca inilah diharapkan mampu membuka tabir kegelapan diri menuju cahaya ilmu pengetahuan yang benderang.

Bersama Asian Afircan Reading Club mulailah melahap buku-buku yang berkaitan dengan sejarah, seperti Buku The Bandung Connection karya Dr. H. Roeslan Abdulgani yang mengisahkan bagaimana peristiwa konperensi Asia Afrika yang memengaruhi dunia itu dapat digelar dan membawa efek terdahsyat bagi perjuangan bangsa-bangsa kulit berwarna untuk terlepas dari kungkungan penjajahan. Kemudian buku Asian Future Shock, dari sanalah saya pun jadi mengetahui kondisi negara-negara di Asia beserta sepak terjangnya dalam membangun peradaban di negara masing-masing. Dan yang takkalah menarik, saya pun mencerna buku Autobiografi ‘Tonggak-Tonggak di Perjalananku’ karangan Mr. Ali Sastroamidjojo, mantan Perdana Menteri RI di zaman pemerintahan Bung Karno sekaligus Ketua Panitia Konperensi Asia Afrika, yang dengan gigih dan runut menguraikan kisah hidup beliau semenjak kecil sampai menjadi tokoh yang sangat berperan penting bagi usaha pengobaran semangat juang mencapai Indonesia merdeka juga dalam mempertahankan kemerdekaan dari rongrongan kolonialisme Belanda serta upaya strategis diplomatis dalam memajukan perdamaian dunia.

Metode yang digunakan dalam kajian pada setiap pertemuan AARC yakni dengan cara Tadarusan. Dalam posisi melingkar, setiap orang mendapat giliran membaca dari buku yang tersedia, misalkan pembaca membaca dua paragrat dari teks termaksud, sementara yang lain mendengarkan dengan baik, sesuai arah jarum jam, berputar, dan semua peserta kajian yang hadir dapat jatah membaca. Hal ini seperti yang juga dilakukan oleh kaum muslimin atau di lingkungan pesantren dalam membaca kitab suci Al Qur’an, terutama di bulan suci Ramadhan. Setelah beres pembacaan, dilanjutkan dengan pembahasan atas materi teks yang telah dibaca oleh para ahli yang kompoten di bidangnya; ada sejarawan, seniman, budayawan, akademisi, aktivis lainnya yang terkait dengan focus kajian buku tersebut.  

Bagi saya yang cenderung malas membaca, ternyata ada sensasi yang berbeda, tatkala membaca secara bersama-sama. Polanya duduk melingkar, suasana egaliter, ditambah lagi kondisi ruangan yang nyaman di Museum Konperensi Asia Afrika serta kawan-kawan yang juga menyenangkan, proaktif dalam bertadarus buku. Dengan berjamaah dalam membaca buku, boleh jadi terasa ringan dan takterlalu membosankan. Takdinyana, membaca ala keroyokan ini membawa suasana segar, karena kita juga bisa mendengar bagaimana seseorang bertutur, berucap dalam pembacaaan dengan segala warna vokal dan keunikannya masing-masing, ada yang membaca tenang mengalun, ada pula yang lantang berani, bahkan ada pula yang membaca dengan penuh penghayatan dan dramatis. Akhirnya membaca sebuah buku dengan tema yang sangat wah dan berbobot, namun bila dikerjakan bergotongroyong akan membawa hasil yang dharapkan berbeda. Setidaknya, kita sudah mulai berniat untuk hadir, membuka mata,  melihat teks yang tertampilkan dan lalu membacakannya, sedapat yang kita bisa

Amboi, saya jadi teringat lagi buku-buku yang pernah saya beli, dan sampai hari ini belum jua dibaca. Mudah-mudahan buku-buku itu tidak marah, karena jarang diajak berinteraksi, oleh sebab sikap dan kesadaran naif saya terhadap buku dan juga tentang bagaimana pentingnya  sebuah buku bagi kemajuan bangsa. Ya, saya sedang belajar mencintai ilmu, lewat membaca, berkelompok, berbarengan, biar terasa ringan, santai, tapi takkehilangan esensi untuk memetik hikmah besar dari buku yang sedang dan akan dibaca nantinya. Pada sebuah esei, Putu Wijaya (1996) pernah menandaskan bahwa sebuah buku, bukan lagi sebuah buku, atau tidak akan menjadi sebuah buku kalau tidak dibaca. Ia akan sama dengan meja dan kursi kalau hanya dipajang. Buku yang tertutup bukanlah sebuah pengetahuan. Buku yang tidak dilahap, tetap hanya setumpukan kertas dengan hurup-hurup yang berseliweran yang tidak ada artinya.

Pada gilirannya nanti, saya bersama teman-teman yang terhimpun di AARC yang juga sebagai bagian yang takterpisahkan dari Sahabat Museum Konperensi Asia Afrika (SMKAA), sama-sama berikhtiar ingin mengembangkan kecintaan pada ilmu, pengetahuan, lebih jauh tentang kebudayaan, hingga kukuhlah nilai-nilai semangat Bandung pada setiap penggiat komunitas di MKAA, juga kuat pula jatidiri bangsa Indonesia yang merdeka dan berdaulat.

Bandung, Januari 2013                                                                                       
 Adew Habtsa, Sekretaris Jenderal Asian African Reading Club-Sahabat MuseumKAA. Penyair-Pemusik. Tinggal di Bandung.




aarc

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Instagram