TAKBERLEBIHAN: Semacam Responsi atas Peringatan Hari Musik Balada, 28-29 November 2012- UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

Terlebih dahulu ada baiknya saya kutip sebuah esei yang menarik hati dari buku “Membongkar Budaya”, terbitan Kompas tahun 2007, karya Abun Sanda:  Negara Finlandia, yang terkenal dengan telepon selularnya itu, tepatnya di kota Helsinki, sebuah kota dengan riset dan pengembangan sangat pesat dalam upaya mendorong daya saing produk di pasar global,dan angka kriminalitas pun juga nyaris nol sehingga menjadi daya tarik bagi para investor atau siapapun yang hendak studi banding ke tempat ini tentang penegakan hukum. Selain itu, dibalik sepinya suasana rileksnya penduduk negara itu bekerja, dan di balik tidak variatifnya sumber daya alam, pendapatan per kapita Finlandia mencapai 28.500 dollar AS, atau salah satu yang terbaik di dunia. Lalu apa yang menyebabkan Negara ini kaya dan bersih? “Kami tidak suka hidup berlebihan,” kata Hans Markele, usahawan di Helsinki.

Dari paparan di atas saya menangkap kesan mendalam tentang semangat hidup yang telah membudaya dan berdampak pada rakyat yang hidup bersih, korupsi hampir nol, ada supremasi hukum, hal ini semua menjadi faktor penting dalam menguatkan pertumbuhan ekonomi. Ternyata semua berawal dari satu sikap hidup yang luhung, warga Finlandia rupa-rupanya sudah terbiasa dengan tidak banyak kebutuhan: melazimkan diri dalam semangat hidup sederhana. Warga Helsinki terbiasa dalam kultur hidup tidak berlebihan.  Sungguh menyentuh dan luarbiasa.

Lain lubuk, lain belalang. Lain tempat, lain pula persoalan yang berkembang. Namun ada yang membuat hati saya sumringah. Di tempat ini, di Yogyakarta, di Jatiwangi, dan di Yogyakarta, atau mungkin di tempat-tempat lain yang kebetulan dilangsungkan perhelatan Hari Musik Balada (HMB) muncullah momen-momen kesederhanaan, untuk kuatkan eksistensi hidup dan keberlanjutannya. Bukan perkara narsis, atau malah jadi agul ku payung butut ( bangga dengan yang benda yang dimiliki, padahal belum tentu bagus), akan tetapi kami yang mencoba hadir dan kemudian terlibat langsung di dalamnya merasakan suasana, bahwa semangat takberlebih-lebihan adalah penting adanya, di tengah hadangan hiruk pikuk arus musik mainstream yang menggelegar, jerit histeria para penggemar fanatik, atau peralatan soundsystem yang serba canggih, berdaya tegangan tinggi pula beserta tata lampu dan kejutan di atas panggung yang sungguh memakau.


Pada panorama yang lain, para musikus balada berkumpul, menyambungkan lagi tali persaudaraan, kukuhkan kebersamaan, membawa kisah dan dongengan masing-masing, tentang kegelisahan yang menerpa dirinya masing-masing. Lantunkan lagi ihwal kemanusiaan yang terluka, dendangkan juga tentang spirit kebangsaan yang tercecer entah dimana, nyanyikan perkara nasib jelata yang takjelas juntrungannya, haturkan pemandangan alam yang memesona, atau soal cinta yang takbiasa dan kadang terdengar lirih memilukan hati. Dengan hanya gitar kayu dan atau bukan, melalui goresan kata dan puisi, berbarengan dengan nada jua irama menggema yang kadang disertai bebunyian alam, entah hujan atau petir yang menyambar. Inilah sisi yang berbeda dari perayaan HMB, tempo hari, yang berlangsung mulus, khidmat dan khusyu.

Sekali lagi saya menangkap kesederhanaan yang paling bersahaja, atmosfir yang justru guyub, iklim yang juga hangat, meski cuaca musim penghujan takbisa dielakkan lagi. Seperti pasrah pada alam.  Bukan lantaran para musisi balada, hidup intim dengan lingkungannya, mesra bersama masyarakatnya, sehingga timbulkan tema lagu dan warna musik yang variatif, akan tetapi jauh dari itu semua, kuat dugaan saya, mereka jelaslah memiliki komitmen, sejenis itikad hidup yang mantap, telah berurat berakar dalam sanubari, untuk senantiasa menjaga keharmonisan dengan manusia lainnya, pun dengan alam sekitarnya, terutama dengan pemimpin dan Negara secara luas. Taksekadar bermusik, sikap hidup adalah keniscayaan yang takbisa ditawar-tawar lagi, mustahil mereka tercerabut dari basis komunitasnya, dan juga dari masyarakat pada umumnya.

Perihal kehadiran musisi balada di antara warga masyarakatnya, termasuk di dalamnya masyarakat kampus, terlebih yang dilaksanakan di Gelanggang Teater UIN Sunan Kalijaga,Yogyakarta, dalam rangkaian peringatan HMB pada Kamis 29 November 2012 yang juga menghadirkan para musisi solois, bergenre balada, dari Yogyakarta: Giana Sudaryono, Doni Suwung, Y. Kubro, Yuhdi Sang, Jojok KPJ dll, kemudian dari luar Yogyakarta (Bandung): Mukti-Mukti dan Adew Habtsa. Acara tersebut berlangsung atas kerjasama yang apik antara Omah Panggung dan Teater Sunan Kalijaga beserta pihak Kampus UIN Sunan Kalijaga.  Kemudian acara tersebut diberi tajuk “Words Songsuran”. Sebelum penampilan istimewa dari para musisi balada pada malam harinya, ada workshop penciptaan lagu bersama Mukti-Mukti yang juga dihadiri para mahasiswa civitas akademika, meski hujan mengguyur sore itu, hingga meluluhlantakkan property dan dekorasi panggung, basah kuyup jadinya. Namun dengan sigap, panita beserta tim kreatif lainnya dapat menghalau insiden yang sempat membuyarkan konsentrasi peserta. Selanjutnya pada malam harinya, diantara penampilan pemusik balada itu, tampil pula Wayang Micail oleh Dalang Kajie Habib, dengan dialek khas Yogyakarta, diiring musik secara spontan dan sungguh menggelikan dari pemusik balada Yuhdi Sang.

Hal ini menjadi pertanda yang baik bagi tumbuhkembangnya kesadaran warga kampus, sebagai kawah candradimuka para pelanjut sejarah negeri ini, pembawa angin segar untuk gerahnya masyarakat, penyedia air yang jernih bagi keruhnya pola pikir masyarakat, lebih dalam itu menjelma agen perubahan masyarakat ke arah yang lebih baik, maju dan tetap manusiawi. Walau kehadiran mereka taksebanyak para pengunjung konser musik super band yang acap membludak, namun dalam konteks perayaan HMB tahun ini semangat kebersamaan dan persaudaraan adalah utama, jumlah yang hadir bukanlah melulu ukuran kesuksesan sebuah pertunjukan, yang paling penting ialah pada upaya penyampaian rasa atas apapun yang telah terjadi, kemudian tersaji pada karya musik. Toh, para musisi hanyalah ingin bersilaturahmi, menambah kawan, teman, saudara, sekaligus memberikan makna kehidupan lewat lagu, yang barangkali terdengar jelas, dan dapat diterima di hati. Siapa tahu, dari karya yang tertampilkan, ada yang menggugah, ada pula membuat kita semakin kuat menghadapi tantangan hidup selanjutnya. Syukur-syukur begitu adanya.

Di samping itu saya harus mengatakan sepakat pada  buah nalar seorang tokoh cendekiawan yakni Jalaludin Rakhmat yang mengatakan bahwa  sebab-sebab terjadinya perubahan sosial diantaranya Pertama,  masyarakat berubah karena ide, pandangan hidup, dunia dan nilai-nilai. Kedua, Great individuals (Tokoh-Tokoh Besar)- Heroes (Para Pahlawan). dan yang ketiga, munculnya social movement (Gerakan sosial/LSM).

Berdasarkan asumsi di atas, kiranya ada salah satu peran sosial, dari individu yang bukan sembarang individu yakni katakanlah pemusik balada, dalam hal ini pemusik yang sedang bergulat pada konstelasi jagat perubahan sosial, setidaknya memiliki andil yang diharapkan besar, dari hanya sekadar memainkan gitar, menuliskan kata-kata, memilih irama, menyusun komposisi nada, yang mungkin indah juga merdu sekaligus menghibur pendengar, yang dianggap mewakili gulana sang pemusik termaksud, dari hanya sekadar mendapatkan honor dari setiap nyanyian atau pementasan. Ada tantangan sekaligus pengharapan yang besar tersemat pada gitar, pada musik, dirasakan atau tidak, perubahan sosial yang diharapkan melaju pada peradaban manusia, salah satunya diharapkan termuncratkan pada kiprah-kaprah para pemusik balada ini. Semoga demikian adanya.

Dari gelanggang yang elegan, latar pentas yang dekoratif dan nyeni, bendera merah putih tersematkan pada tali, para pengunjung-apresiator duduk tenang menyimak segala gita di atas tikar dan karpet, kepulan asap rokok membumbung, ditemani secangkir kopi dan teh, obrolan pendek, singkat tanda keakraban, sesekali menyembul senyuman, tawa renyah, ruangan temaram, cahaya secukupnya. Semua mata tertuju pada pelantun kisah, tuturan, cerita, yang barangkali seadanya, apadanya, sebisanya, sedapat yang ia peroleh, takberlebihan, seperti warga Helsinki, atau warga dunia lainnya yang menjunjung tinggi budaya hidup yang luhur, menenangkan dus menyenangkan.



Bandung, Desember 2012

Adew Habtsa

aarc

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Instagram