LANDMARK, THE ABSOLUTE ENDING: TUSUK SATE (Sehabis Tadarus II)



Persimpangan itu, jalan aspal dan baja melintang yang menyambung kota ini dengan banyak kota di pulau Jawa. Dua sarana, produk manusia yang memaksa sebuah kesunyian dan keterasingan tersisih. Bangunan tua yang disebut orang tua itu dulunya sebuah toko buku, toko buku masa pendudukan Belanda: Landmark! Bersebelahan dengan bank dan area khusus kaum jetset menikmati kemewahan dan hal yang tidak terjangkau oleh orang-orang yang duduk, tiduran, menjulurkan tangan, mempersiapkan tanda kemiskinan dari kaleng, wadah usang dari bahan plastik. Palsu atau tidak, itu sebuah ironi, sebut saja begitu. Sore itu, tempat itu, sekitar Landmark, dua bank yang berseberangan, tempat spa, biliar, restoran, toko sepatu dan lain-lain yang tidak bisa disebut karena ingatan ini terbatas sekali meski tempat itu sangat sering dilewati sepulang bekerja.

Kembali pada persimpangan, rel kereta api dan jalan aspal yang saling bersilangan di tempat itu. Hal yang baru, (setidaknya bagi penulis) pada masanya tempat itu merupakan bagian yang tidak dapat dilupakan. Zona damai dua pihak yang bertikai, penandanya masih berdiri. Sebuah pos jaga kereta api tua, jadi pertanyaan kapan kira-kira bangunan rel kereta api plus pos jaga itu berdiri. Pada masanya, berapa banyak petugas pos jaga yang menjadi korban sebelum tempat itu berubah menjadi zona damai? Pertanyaan itu baru terpikir pada saat tulisan ini berproses. Barangkali jawabannya bisa diterangkan sang penunjuk arah suatu hari kelak jika benar manusia akan mengenal teknologi lipat ruang atau mesin tembus waktu.

Demi sebuah jalan yang harus menjadi sarana penghubung ketika sungai tidak lagi menjadi salah satunya. Para petugas itu, siapapun mereka. Mereka ada jasa, serupa mereka yang membuatnya terwujud menjadi ruas jalan, rel kereta api, lintasan kapal laut, pesawat terbang mungkin suatu hari nanti menjadi sebuah terminal wisata tembus waktu atau menuju galaksi lain, dimensi lain wallahu alam. Dari sebuah jalan setapak berlumpur kala hujan menjadi perlintasan modern yang dilalui mesin-mesin yang mengepulkan kotoran berupa asap. Dari jalan setapak ke lapis demi lapis aspal yang lambat laun terkikis air itu semua berawal (semoga ini tidak berkesan sedang membanggakan salah satu tempat bernaung untuk mencari sesuap mercy dari pencipta). Dan kita sementara terpukau pada bangunan-bangunan lain, sebagian lain mencari ke jalinan sejarah, kedamaian itu ditelusuri pada liku-liku jalan. Jalan itu disimbolisasikan sampai pada sebuah ujung berupa tusuk sate yang gagangnya menjulang menantang ketinggian menyambut halilintar. Bangunan-bangunan buatan manusia yang terlupakan, rusak dan kita hanya bisa mengukur menakar kapan akhir usia ujudnya dan melepasnya kala usang mengganti ujud baru.

Pesan yang hendak ditetapkan adalah di manapun kita berada dan tujuan kita kemana. Jalan dibangun untuk sebuah penanda: Landmark. Penanda awal yang diisyaratkan kepada manusia. Mau kemana dan apa bekal yang akan menguatkan perjalanannya. Semoga tidak lantas berhenti pada satu tujuan. Tujuan yang utama bukan berpijak pada satu atau dua pemberhentian yang menyenangkan dan membuat terlena. Bangunan-bangunan yang mempesona, perwajahan, tubuh atau kecantikan salah satu penanda bukan akhir segalanya karena semua tahu langit, arsy akhir absolut.

Simbol tempat berpulang dan sarana menuju ke sana. Sama halnya dengan sebuah prinsip, konsep. Prinsip atau konsep yang menjadi bagian acuan Asian African Reading Club. Konsep Peaceful Co-existence merupakan sebuah jalan pula. Sebuah sarana bagi perintisnya untuk menuju tempat yang semua mendambakannya. Tadarus sore kemarin merupakan pembacaan yang berbeda, bukan halaman demi halaman yang di baca. Di rintik hujan yang bersahabat, yang dibaca adalah ruas demi ruas jalan beserta isi yang beragam, dengung membising penuh irama dan tampilannya yang berwarna-warni. Seperti isi dunia, dengungnya yang merdu merayu dan gemerlap warna penuh cahaya tampak di mata. Penuh perbedaan yang memaksa sebuah keberpihakan yang timbangannya miring untuk ditakar, model grafik dialektika. Tetapkan tujuan pada konsep itu, untuk sebuah perjalanan penuh hikmah.

Siapa yang berniat menjadi penerus yang memberanikan diri untuk ruang pikir terbuka menelusuri liku-liku pedestrian dunia. Menuju puncak tusuk sate yang tidak saja memberi kenyang. Tapi sebagai simbol akhir perjalanan. Seperti saat makan dan bepergian tanpa dukungan kendaraan, totalitas tergantung pada kepuasan dan keringat. Penerus konsep yang diusung para perintis. Senjata untuk open mind attitude dalam memandang segala hal. Di mana perbedaan akan menjadi bagian dari konflik dan kita akan tersapu atau tetap berdiri tegak tergantung sikap kita.

Para perintis berusaha menciptakan zona damai dengan jalan konsep dan pemikiran hidup damai secara berdampingan itu. Siapa penerus? Kita? Mereka? Satu orang? Dua, tiga empat? Siapa? Tujuan berkumpul di AARC yang menjadikan kekhasan, peaceful co-existence semoga tetap begitu adanya. Bukan membuat sebuah anggapan kita sedang menjadi penerus tapi aktualisasinya yang lebih perlu diutamakan. Mencari jalan dan memberanikan diri melaluinya. Betapapun kesulitan yang akan kita hadapi. Di sanalah tempat berlabuh, arsy.

Berusaha mengimajinasikan segala hal dengan berbagai cara dan menggunakan sarana apapun. Dengan musik, puisi, lukisan untuk sebuah pola pikir. Di Asian African Reading Club melakukannya dengan cita rasa dan komedi. Napak tilas menelusup lorong-lorong dan hiruk pikuk bacaan. Mencari akhir mutlak yang menyenangkan, sesederhana atau sesulit apapun di sanalah tempat ditambatkan harapan yang menjadi hak semua orang dan berlapang dadalah yang memberanikan diri menerima ketidaksempurnaannya.[]


Kamis, 20 Desember 2012
keep on walkin' keep on readin'




aarc

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Instagram