oleh: Hendra
Purnama
…mainkan aja atuh dengan sederhana …
(Wildan Nugraha, penulis – pada sebuah chatting di pagi hari)
Betapa saya teringat sudah
lama sekali tidak membuat handout, dan ketika akan mengetik tulisan ini
pun, saya sadar dengan siapa akan berhadapan. Mereka orang-orang yang tingkat
keilmuannya diatas saya, bahan bacaan dan diskusinya beberapa level di atas
saya, dan tentu saja kosakata yang mampu mereka tuangkan ke atas kertas pun
lebih berbobot dari saya. (Oh iya, saya sudah pernah sekali ikut diskusi dengan
mereka, dan ternyata saya harus mengakui betapa saya belum setara dengan
mereka, bahkan untuk sekadar bermimpi sekalipun rasanya belum sanggup).
Sebenarnya sempat terlintas
untuk mengcopy paste saja berbagai teori sastra yang saya dapat dari Google
agar saya kelihatan pintar. Tapi saya malah takut kalau nanti mereka bertanya
macam-macam karena betul-betul menganggap saya pintar. Bisa gawat!
Maka saya hanya bisa
mengetik apa adanya, dan inilah saya: penulis dengan lima novel yang sejauh ini
masih kurang dikenal, sepuluh antologi bersama yang kebanyakan untuk proyek
amal, dua buku non fiksi yang ditulis karena mengejar setoran, dua album musik
yang terisi suara harmonika saya, dan filmografi seratus dua puluh film dimana
saya terlibat di dalamnya (sekali jadi aktor, seratus sembilan belas kali jadi
crew!).
Tapi buat saya, menulis
tetaplah kata kerja, dan karena itulah maka kunci utama dari menulis adalah
bekerja, menulis. Saya tidak menguasai teori sastra apapun, saya tidak paham
perkembangan dunia sastra.
Saya banyak belajar dari
novel—mungkin karena itulah saya jadi novelis—Meski saya mulai dari coba-coba
membuat puisi dan cerpen, kini saya tidak lagi bisa menuliskannya, apalagi saya
dengan sadar memilih novel karena merasa puisi atau cerpen tidak lagi memiliki
cukup ruangan untuk saya berekspresi.
Saya lebih suka menekuni
novel ketimbang buku-buku teori pemikiran. Saya mengetahui teori-teori budaya
dan perilaku manusia dari apa yang tertulis dalam sebuah novel, saya mengetahui
cara menyusun kalimat, meletakkan metafora, mengembangkan karakter dari
novel-novel bagus, dan saya tahu kesalahan yang harus dihindari saat menulis,
dari novel-novel jelek. Sangat sederhana kan?
Jadi mungkin saja karena
cara belajar saya yang terlalu sederhana itulah, maka saya pun hanya percaya
tiga hal dalam menulis novel:
Novel Adalah Realis
Kita sama-sama tahu bahwa
realisme adalah sebuah teori pengetahuan yang mengakui dunia benda dengan
realitas obyektif yang kita rasakan saat indera kita berinteraksi dengan
mereka. Sedangkan dalam dunia sastra, realisme merupakan aliran kesusastraan
yang melukiskan keadaan atau kenyataan secara sesungguhnya.
Nah, menurut pemahaman saya
yang sederhana ini, sebuah novel surealis pun harus tetap terasa realis, karena
pedoman saya: kalau tidak sesuai dengan realitas maka cerita akan terasa
berjarak dengan pembaca, yang akhirnya pembaca tidak bisa mengikuti cerita,
merasa tidak suka, dan akhirnya tidak mungkin jadi pengemar cerita kita. (Kalau
tidak jadi penggemar cerita kita, mereka juga tidak akan mungkin jadi penggemar
kita, plus tidak akan mau minta tanda tangan atau foto bareng…)
Indikator saya dalam
menilai/membangun realisme juga sederhana: yaitu cara membuat dialog. Sebuah
cerita boleh mengambil setting di Mars, dengan pekerjaan tokohnya yang sangat
absurd (misalnya: membersihkan kotoran hidung Presiden dengan gaji sepuluh juta
per-upil), dengan baju harian yang sangat aneh (misalnya baju Power Ranger
digabung dengan topi Ku Klux Klan), tapi selama mereka berdialog adalah cara
manusia berdialog sehari-hari, maka cerita akan terasa dekat dengan kita.
Apalagi kalau ternyata penulisnya bisa membangun sebuah karakter yang menurut
pembaca “ini gue banget!”, dijamin cerita akan makin dekat secara emosi.
Inilah yang tidak dilupakan
oleh penulis Harry Potter, Lord of The Ring, Twilight, atau Eragon. Dan ini
juga yang tidak dilupakan oleh saya… damn, cara berpikir saya memang
terlalu sederhana!
Novel Adalah Film Tak Bergambar
Saya bersyukur memiliki
profesi sebagai editor film (kadang juga terpeleset jadi sutradara video klip
atau kameraman). Sebab pekerjaan itu menuntut kesendirian di pojok ruangan,
tidak boleh diganggu, kadang harus menatapi monitor lima belas jam
sehari.
Saya merasakan bahwa
mengedit film berarti menyusun cerita dari klip-klip yang sudah ada, mengikuti
skenario, dan menambal bolong-bolong yang terjadi. Bukankah itu mirip dengan
kondisi menulis novel? Dimana saya harus menjahit potongan-potongan fragmen
dalam imajinasi saja, menambal bolong yang menyebabkan ketidaksinambungan
cerita, hingga akhirnya terbentuk sebuah cerita utuh.
Ditambah lagi Stephen King
pernah berkata pada saya (tentu saja secara tidak langsung) bahwa: Deskripsi
bermula dari imajinasi penulis, tetapi harus berakhir di benak pembaca. Sejak
itu saya sadar bahwa pada dasarnya novel adalah sebentuk film panjang yang
visualisasinya ada di imajinasi pembaca, bukan di layar kaca.
Artinya dalam menuliskan
sebuah cerita, seorang penulis mesti berjuang agar pembaca dapat memvisualkan
adegan di atas kertas dengan mudah. Bila seandainya pembaca gagal
memvisualisasikan cerita, berarti penulis itu masih merumitkan tulisannya
(mungkin agar dianggap keren), atau penulisnya tidak menguasai tema yang
ditulis hingga dalam penjelasannya pun malah membuat bingung.
Contoh terbaik—di novel
Indonesia—bagi saya adalah Laskar Pelangi. Baiklah, filmnya memang bagus, mendapat
penghargaan di mana-mana, dan mampu menjelma jadi film yang membekas di hati
penontonnya. Tapi sebenarnya filmnya bisa begitu karena dari awal novelnya
sudah sangat filmis, coba baca Laskar Pelangi dan temukan bahwa kita
akan dengan mudah melakukan visualisasi pada berbagai adegan di sana.
Jadi bagi saya kuncinya
sederhana: dengan memahami apa yang ditulis, seorang penulis bisa membuat
pembaca bahagia membaca karyanya!
Novel Adalah Partitur Musik
Saya bisa meniup harmonika,
dan saya menyadari hubungan antara novel dan musik setiap kali saya berlatih
memainkannya. Begini, sejak kecil saya sudah ingin berlatih musik, tapi anehnya
saya merasa gagal mempelajari tiga alat musik yaitu: kecapi sunda, gitar, dan
piano. Sebaliknya saya selalu merasa berhasil di seruling, saluang, dan
harmonika.
Ketika berkonsultasi dengan
seorang pianis jazz (yang juga guru piano saya, yang mengajari saya
dengan susah payah dan saya tetap bego!), dia melihat bakat saya
ternyata ada di alat musik dengan nada tunggal seperti misalnya alat musik
tiup, yang dalam sekali akses (misalnya ditiup) hanya keluar satu nada.
Sementara saya kepayahan memahami alat musik dengan nada jamak, misalnya piano
yang bisa mengeluarkan sepuluh nada berbeda hanya dalam gerakan sekali memencet
tuts.
Mungkin saja itu cara
paling halus dari dia untuk mengatakan bahwa saya tidak berbakat, tapi
sebenarnya saya menemukan sesuatu dari latihan-latihan itu. Harmonika, tidak
seperti gitar atau piano yang bisa berdiri sendiri. Harmonika selalu memerlukan
pelengkap (biasanya gitar) untuk bisa tampil di panggung, dan bukankah itu juga
sifat dari novel? (Sebenarnya juga sifat fiksi secara umum)
Seno Gumira Ajidarma pernah
menulis begini: Penulisan cerita panjang, secara konseptual lebih cocok dalam
konteks pengalaman saya sebagai penggubahan komposisi musik. Dapat dibayangkan
terdapat sebuah jalur bagaikan partitur tempat terdapatnya banyak lajur, dan
pada setiap lajur ini mengalirlah nada-nada dari setiap instrumen yang bunyinya
berbeda. Telah diketahui, meskipun warna bunyi setiap instrumen musik itu
berbeda, pertimbangan sang penggubah atas peleburan semua bunyi dari setiap
instrumen itulah yang menjadikannya sebagai kesatuan ‘pesan bunyi’—yang artinya
bisa juga dengan sengaja berpesan untuk memecahkan kesatuan tersebut. Dalam
‘novel psikologis’ yang mempertimbangkan ‘kewajaran dominan’, maka setiap lajur
itu akan berisi karakter-karakter, ataupun karakter, latar, dan banyak lagi
aspek yang biasa terdapat dalam sebuah ‘novel’, ‘roman’, atau apapun namanya,
yang dalam perjalanan di setiap lajurnya masing-masing, ketika saling
terhubungkan membentuk naratif yang utuh sampai jalur berakhir.
Nah, setiap kali saya
menulis novel, saya sering membayangkan sebuah orkestra di panggung, setiap
karakter, setting, dan adegan dalam novel saya tempatkan dalam sebuah garis
birama yang panjang, sehingga saya bisa membayangkan mana karakter yang jadi
alat musik utama seperti piano (artinya kemunculannya harus sering), mana yang
jadi pelengkap seperti harmonika, atau saxophone. Lalu mana yang berfungsi
menentukan ketukan metronome seperti drum, kahoon, atau perkusi (ini
agar cerita saya tetap terjaga emosinya).
Selain itu juga saya
belajar dari Milan Kundera—seorang novelis Ceko, dia berkata bahwa setiap bagian
sebuah komposisi musik membawakan ekspresi emosional. Kundera menyusun
novel-novelnya seolah itu adalah sebuah komposisi musik, misalnya dalam novel Life
is Elsewhere, bab lima memiliki 11 bagian dalam 81 halaman (moderato),
bab enam terdiri dari 17 bagian dalam 17 halaman (adagio), dan bab empat
memiliki 25 bagian hanya dalam 20 halaman (prestissimo). Menurutnya, bab
dengan tempo lambat berfungsi untuk melambatkan waktu, untuk memastikan sebuah
momen besar tunggal, sementara bab dengan tempo cepat akan memfokuskan seluruh
kekuatan emosional cerita di sana.
Dengan memahami itu semua,
saya mempelajari benar cara-cara menyusun cerita. Meski belum sempurna, tapi
saya tetap belajar. Saya tahu kelima novel saya masih jauh dari sempurna, tapi
saya melihat sebuah proses disana. Entah kapan saya akan mencapai tahapan novel
yang sempurna, tapi saya akan tetap menunggu saat itu dengan terus menulis
novel lagi, terus memahami dan fokus pada realisme, visualisasi adegan, dan
konsep partitur musik pada setiap novel saya, dan tentu saja… bersenang-senang!
…selamat bekerja, dan jangan lupa bersenang-senang!
(Tama, The Raid- menit 21:44)
Bandung, November 2012
* disampaikan dalam tadarus
rabu AARC
Tidak ada komentar:
Posting Komentar