Membaca Deri Hudaya*

oleh: Gunawan Suryana

Menelusuri proses kreatif dan sebuah pilihan

Diminta membahas sebuah karya tulis, ibarat diberi tugas membuat  atau mengembangkan sebuah konsep kerja kemudian melakukan asistensi dengan atasan yang memberi tugas tersebut. Begitu keseharian saya ketika bekerja di ruangan kantor: menyusun surat keluar atau membuat isi lampirannya yang biasanya berdasarkan kegiatan atau data yang sudah disusun sebelumnya oleh bagian lain sub unit kerja kantor.

Tulisan Deri Hudaya, yang termasuk dalam Bunga Rampai Esai, Cerpen, Puisi dan Ilustrasi “Bandung Ibukota Asia Afrika” adalah karya tulis yang mengupayakan sebuah konsep hidup berdampingan dengan damai atau peaceful co-existence life concept  yang menjadi kerangka awal berpikir pendahulu kita untuk upaya pembebasan diri sebagai individu yang ingin lepas dari segala bentuk penindasan (kolonialisme). Baik puisi dan cerpennya, “Lemah Sarakan Nu Maca” dan “Nyelang Sawatara Regot Tina Sirop Revolusi”, keduanya mencoba berbicara mengenai konsep tersebut. Hal ini, jika disandingkan kepada cara kita mengidentifikasi masalahnya, yakni masalah proses kreatif berkarya dan pilihan media atau cara untuk berproses dan bentuknya sehingga menjadi entitas baru. Bentuk baru, yang berasal dari materi-materi yang berbeda, dikumpulkan dan diramu menjadi wujud baru hasil berpikir. Dan dipastikan dapat memakan waktu lama serta pertimbangan-pertimbangan yang serius sampai output atau hasil berproses melalui sekumpulan materi-materi yang digodok menjadi satu kesatuan: itulah proses kreatif. Karena di dalamnya ada perjalanan, ada awal perjalan, pertengahannya (satengahing) di mana tempat tersebut merupakan puncak proses dan klimaks proses adalah akhir perjalanan, Di mana segala kesepakatan muncul, ada kompromi atas segala pertentangan.

Puisi dan Cerpen adalah pilihan media berkomunikasi Deri Hudaya, berbeda dengan media-media penulis lain dalam buku tersebut. Esai dan ilustrasi juga menjadi bagian yang tidak terpisahkan di dalamnya. Tema yang diusahakan dapat dikatakan serupa, semua dilatarbelakangi dengan peristiwa bersejarah mengenai Konferensi Asia Afrika dan konsep diselenggarakannya konferensi tersebut. Tentunya media komunikasi Deri Hudaya berbeda dengan yang lain. Bahasanya khusus, ditulis dengan bahasa daerah yang menjadi bahasa ibu di Provinsi Jawa Barat, digunakan sebagai bahasa keseharian di sebagian besar daerah di Provinsi Jawa Barat. Khususnya di Bandung, bahasa ini sudah biasa didengungkan orang Bandung, yang asli maupun yang pendatang namun lama tinggal di Bandung. Meski keaslian berbahasanya tidak lagi serupa dengan bagaimana leluhur Sunda dahulu berkomunikasi dengan bahasanya. Barangkali di daerah pesisir, pedalaman bagian barat pulau Jawa ini masih ada para pengguna keindahan luhur bahasa itu. Permasalahan yang lebih lanjut adalah bahasa yang digunakan Deri, jika bahasa tersebut adalah bagian dari proses kreatif Deri. Sudah pastilah pada awalnya dipastikan ada pertentangan hingga klimaks tercapai. Bentuknya dapat berupa pertanyaan-pertanyaan, keraguan-keraguan, pertimbangan, awal sikap yang dapat diartikan menerima, abai (ignore) dan menolak, Bentuk ini dapat dikatakan sebuah proses pula.

Deri Hudaya memilih bahasa Sunda untuk berkomunikasi di karyanya, sebuah akhir proses dari pertentangan yang ada pada sebagian perjalanan. Barangkali alasannya adalah karena peristiwa bersejarah Konferensi Asia Afrika terjadi di Bandung, Jawa Barat, jadi dipilih bahasa Sunda untuk bahasa komunikasinya. Perlu menjadi perhatian, pasti ada sebagian besar pembaca buku ini menganggap unik pilihan Deri Hudaya, atau juga tidak, malah menganggapnya biasa saja. Hal ini tidak lain adalah sebuah bagian dari proses kreatif juga. Proses kreatif siapa? Proses kreatif pembaca dalam menyikapi teks. Memberi perbedaan pada karya kita adalah harus. Jika tidak kita akan menjadi atau dianggap pelaku seni yang tidak pragmatis atau tidak mencoba mengikuti hal yang telah ada dan hanya mencari praktisnya. Dalam puisi Deri Hudaya berusaha ke sana, dalam penulisan puisinya dengan kalimat, kata-kata bahasa Sunda yang pasti sulit dipahami.  Contohnya: “….laju bencar dina kongkolak mata pirang-pirang atau gerak cepat di depan mata telanjang.” Atau begitu juga pada cerpennya  “…Sedengkeun gedong-gedong sigrong nu resik tur jalugjug jangkung, lir hormateun saung katut jongko padagang nu ngabaris-narempel kana dindingna atau sedang gedung-gedung menjulang tinggi seperti terasa jadi tempat menghormat gubuk sampai warung pedagang kaki lima yang berderet pada dindingnya…”  Bagi pembaca yang kurang memahami bahasa ini pasti membawa dirinya kepada rasa penasaran dan ingin memahami, atau setidaknya mencoba. Keinginan itu yang bagus dan harus menjadi bagian dalam hidup sebagai manusia pembelajar. Jika tidak, seperti tadi, seseorang-pembaca ataupun penulis- akan terjerumus kepada sikap pragmatis. Bukan berarti sikap apapun itu dipertentangkan di sini, pragmatis atau tidak sekalipun. Menjadi melulu mencari hal yang mudahnya melupakan hal sulit ataupun yang tersulit dalam sebuah pengupayaan berakibat yang beragam. Dapat diumpamakan sebagai sikap pragmatis yang serupa dengan saung dan jongko  yang berdiri di sekeliling mal-mal atau gedung-gedung tinggi menjulang. Mengapa tidak seharusnya gedung-gedung atau mal-mal itu berkiblat pada kebersahajaan bangunan-bangunan itu sehingga perhatian tidak melulu terpaku bahwa posisi kaum yang marjinal itu sebagai korban atau sebaliknya.

Menetapkan sikap dalam berproses kreatif untuk konsep hidup berdampingan di sebuah masyarakat

Seperti pada awal paragraf dijelaskan, pengertiannya dapat diserupakan dengan menerima tugas dan berkarya. Apa bedanya? Menerima tugas berarti konsep sudah ada dan tinggal dikembangkan. Sementara berkarya adalah konsep dan pengembangan ada pada keputusan kita untuk menetapkan sendiri kemudian melaksanakannya. Artinya ada keharusan bersikap di dalamnya. Melaksanakannya kemudian membuat kerangka berpikir sesuai perintah yang akhirnya maju kepada keputusan berkomunikasi mengenai hal terkait. Menyebarkan konsep tersebut dengan bentuk atau media yang tepat. Dalam hal ini, jika disandingkan dengan konsep Deri Hudaya yang disajikan dalam bentuk puisi dan cerpen berbahasa Sunda merupakan keputusan yang harus dimaklumi. Sebab pada awalnya adalah bentuk seperti apa yang akan disajikan dalam sebuah buku itu tergantung keputusan penulisnya. Dari konsep Deri Hudaya yang tertuang ke dalam puisi dan cerpen tersebut sebenarnya dapat dikelola lebih jauh dengan memaksimalkan kedekatannya dengan tema atau konsepnya sendiri. Puisi dan cerpennya belum maksimal jika dilihat kembali pada pilihan kata dan kesesuaiannya dengan peristiwa bersejarah di mana konsep tersebut diangkat dan diperjuangkan. Tetapi Pembaca tentunya harus lebih jeli ada apa dan mengapa hal yang kurang maksimal tersebut sengaja atau tidak tiba-tiba ada. Karena pada dasarnya pada saat teks dengan konsep yang dikeluarkan, diterbitkan: penulis barangkali bisa saja tidak memiliki hak untuk menyatakan bahwa kedekatannya ada atau tidak ada dengan konsep atau peristiwa bersejarah. Teks dan apapun konsepnya dalam hal ini sudah menjadi hak pembaca untuk membuat asumsi apapun.

Esai atau tulisan bebas, cerpen atau puisi, begitu yang sebelumnya sampai menjadi perihal tugas seorang penulis ketika dimintakan sebuah karya untuk diterbitkan. Atau inisiatifnya sendiri mengirimkan ke penerbit, diterima atau ditolak tugasnya sudah selesai tapi ia harus melihat ke berbagai sudut. Bersikap atas jumlah sudut yang tampak olehnya. Sebab semua itu adalah tugas selanjutnya seorang penulis.

Berpikir ke depan dan kalau bisa lebih depan dari orang lain. Tapi bukan berarti mengabaikan sekitarnya. Barangkali pesan itu -yang saya baca, yang saya tangkap setidaknya- yang bisa dilihat dari puisi atau cerpen Deri Hudaya yang menjadi kekuatan proses kreatifnya untuk mencari perbedaan dalam berkarya. Dan yang berbeda dari cara bersikap Deri Hudaya di puisi dan cerpennya adalah kemurnian bahasa ibu Jawa Barat yang terkesan tidak ‘kasar’ atau ‘lemes’ atau dalam kata lain bahasanya wajar tidak beringas layaknya bahasa sunda preman dengan meninggalkan jejak kata-kata segala penghuni “kebun binatang dan hewan kampung atau jalanan” yang kurang sedap didengar. Bahasa yang kuat dan tegas sebagai orang Sunda. Pengertiannya di sini menjadi sikap yang benar-benar ingin hidup berdampingan secara damai (kalau boleh saya berpikir seperti itu). Karena berbahasa baik mencerminkan perilaku yang sarat dengan keinginan hidup berdampingan tanpa pertikaian atau sampai tawuran. 

Dua karya yang dibuat Deri Hudaya, dengan berpegang pada peaceful co-existence life concept  menjadi bagian utama pilihan temanya benar-benar mencerminkan Bandung yang ramah dan tidak menginginkan ada persoalan sampai dibawa kepada ranah emosi yang menggebu, bahkan lebih mendekatkan diri kepada solusi negatif tinimbang solusi positif. Di sini ada proses pengelolaan sumber daya yang sebenarnya.

Produk yang berasal dari sebuah proses yang tidak hanya menjadi penyangga (tetengger) tapi benar-benar sebuah pionir

Berkesenian, mencari bentuk-bentuk indah dari proses manusia memelihara cipta, karsa, rasa demi kehidupan yang tentram melalui gerak, gambar, kata dan suara adalah bagian di dalam pengelolaan sumber daya tersebut pada tatanan konsep hidup berdampingan secara damai atau peaceful co-existence life concept  yang menjelaskan betapa prosesnya tersebut luhur dan memesona.

Hal seperti itulah yang merupakan senjata dan terkadang manusia membuatnya berbeda. Memanfaatkannya di proses yang lebih menyimpang. Sehingga keindahan yang dina kongkolak mata pirang-pirang atau di depan mata telanjang itu dimaknai berbeda bahkan pada ujungnya bukannya kita menyukai tapi jadinya kita malah ga ngerasa ngeh  dengan awal atau konsep yang kurang terpikirkan dengan rasa.

Masyarakat dimanjakan oleh pengertian bahwa pada sebagian kalangan menggunakan bahasa tersebut bukan menjadi patokan, pedoman tapi lebih buruk. Masyarakat seperti ditindas oleh ketidak inginan atau penolakan untuk menjadi lebih baik dengan peralatan kebudayaan tersebut. Malas bersikap memberontak dari tatanan pragmatis yang sebenarnya berimbas kepada kebiasaan atau terpaku oleh pembudayaan bukan menciptakan kebudayaan yang lebih luhur lagi. Karena terbiasa melihat generasi sebelumnya yang bersikap seperti itu kemudian menganggapnya baik. Potret kata yang digubah Deri Hudaya mencoba menentukan peta sebenarnya sikap manusia untuk berbudaya yang tidak dilindas oleh budaya lain.

Baik puisi atau cerpen Deri Hudaya memberikan isyarat tersebut dengan melukiskan budaya ketimuran tersebut budaya tua yang seharusnya diremajakan oleh pemikiran-pemikiran baru. Tetapi tidak melupakan keaslian bahkan diupayakan untuk mengemas keaslian, originalitas masa lalu yang menonjolkan keindahan yang membuat damai. Bahkan keaslian sendiri barangkali sulit dicari dengan jarak antara masa kini dan masa lalu. Ditambah distorsi yang mengaburkan isi atau bunyi dari bahasa asli itu sendiri sehingga pengertiannya kurang dimengerti lebih oleh pembaca, pendengar atau pembahas.

Sejarah, sebagai materi pokok atau bahan daur ulang untuk melengkapi konsep tadi menjadi lebih kaya jika dikaji ulang kemudian menjadi pesan atau amanat yang dijabarkan melalui pola pikir. Bahkan sebagai alat untuk mengelola sebuah langkah yang menjadi pilihan dalam pencapaian masa depan yang lebih baik, lebih damai dan lebih Indonesia.[]


*Tulisan ini disampaikan saat tadarus buku Bunga Rampai: 'Bandung Ibu Kota Asia Afrika' edisi 7 November 2012, membahas cerpen dan puisi Deri Hudaya yang termuat dalam buku tersebut. 

Bandung, 08 November 2012

aarc

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Instagram