Jejak Inspirasi Semangat Bandung Ali Sastroamidjojo


oleh: Yudha P. Sunandar
 
Sinar matahari sore menyelinap genit di antara awan mendung yang bergelayutan di atas Bandung. Namun, air hujan belum juga mau beranjak turun. Bukan hanya sore ini saja. Sudah 4 pekan sore, air belum juga berkenan membasahi bumi.

Seperti sore-sore di musim kemarau yang kering pada umumnya, sore ini pun Kota Bandung terbuat dari antrian kendaraan yang mengular di setiap sudut jalanan. Memadati udara kota dataran tinggi itu dengan debu polusi dari knalpot mobil dan motor.

Di sini, di sudut Gedung Merdeka, sebuah ruangan berjuluk Audio-Visual dan berukuran 3/4 lapangan bulu tangkis, padat dengan manusia. Ada sekitar 60 kursi yang disusun berbentuk huruf “U” berlapis tiga. Perlahan tapi pasti, setiap kursi mulai terisi manusia.

Semakin petang, jumlah manusia semakin bertambah. Saking padatnya, beberapa orang memilih berlalu lalang di lorong depan ruangan. Mengusir suntuk mungkin. Namun, sebagian besar orang-orang di dalam ruangan memilih untuk bertahan.

Setiap kepala tertunduk khusyu. Di tangan sebagian mereka, terpatri sebuah buku setebal 666 halaman. Semuanya sepakat membuka halaman 640. Salah seorang di antaranya, membaca kata demi kata dengan lantang. Tak selalu lantang memang, tetapi dia berusaha agar suaranya terdengar hingga ke seantero ruangan. Sedangkan hadirin lainnya menyimak dengan khusyu.

Kekhusyuan ini bukanlah baru pertama kali dilakukan oleh sebagian dari mereka. Sejak Februari lalu, sekelompok pemuda mulai menapaki huruf demi huruf biografi Ali Sastroamidjojo ini. Mereka menamai dirinya Asia-Africa Reading Club (AARC). Sedangkan buku yang tengah mereka baca berjudul Tonggak-Tonggak di Perjalananku yang ditulis sendiri oleh Ali Sastroamidjojo.

Setiap Rabu, sekitar 10 hingga 15 orang rutin berkumpul dan membaca bersama-sama. Mereka menyebutnya sebagai “tadarusan”. Aktivitas ini memang lumrah dilakukan untuk membaca Alquran secara berkelompok. Namun, masih jarang sekelompok orang mempraktikannya untuk membaca buku beraksara latin dengan Bahasa Indonesia.

Halaman demi halaman mereka santap setiap pekannya. Tak cukup sampai di situ, mereka pun menghadirkan pengkaji sejarah dan budaya ke dalam aktivitas pekanan AARC. Beberapa yang pernah menorehkan namanya dalam aktivitas tadarusan, antara lain: Acep Iwan Saidi, Alfathri Adlin, Dina Y Sulaeman, dan Hawe Setiawan. Mereka menorehkan kesan mendalam di kenangan dan pikiran para punggawa AARC.

***

Plh Museum Konferensi Asia-Afrika (MKAA) Elly Nugraha (tengah) menerima tanda terima kasih dari keluarga besar Ali Sastroamidjojo yang diwakili oleh Tarida Sastroamidjojo (kiri). (Foto: Yudha PS)


Plh Museum Konferensi Asia-Afrika (MKAA)
Elly Nugraha (tengah) menerima tanda
terima kasih dari keluarga besar
Ali Sastroamidjojo yang diwakili
oleh Tarida Sastroamidjojo (kiri). (Foto: Yudha PS)
Adzan Maghrib sayup-sayup berkumandang di masjid-masjid sekitar jalan Braga dan jalan Asia-Afrika Bandung. Aktivitas hiruk-pikuk kehidupan Bandung lambat-laun mereda, seiring petang yang mulai berganti malam. Namun tidak di Ruang Audio-Visual Gedung Merdeka.

Di ruangan yang semakin sesak, keriuhan hadirin semakin bergema. Kini, lembaran yang terbuka di buku biografi Ali Sastroamidjojo menunjukan halaman 656. Tinggal 3 paragraf lagi, dan usailah sudah perjuangan 8 bulan melahap sebuah buku secara berjamaah. Sedangkan 10 halaman lagi sisanya, hanyalah daftar indeks dan catatan pelengkap buku lainnya. Tidak masuk hitungan untuk dibaca juga.

Uniknya, dia yang sedang membaca bentuk fisiknya jelas sangat berbeda dengan hadirin kebanyakan. Hitam dan berambut pendek-keriting. Bahasa Indonesianya pun sangat terbata-bata. Wajar saja, pembacanya adalah seorang Uganda yang mulai bisa Bahasa Indonesia, meskipun masih sedikit. Meskipun begitu, keadaan tersebut tidak menyurutkannya untuk menyelesaikan satu paragraf teks dari buku Tonggak-Tonggak di Perjalananku.

Musa Muwaga namanya. Modal membaca napak tilas Ali Sastroamidjojo hanya hasil dari interaksinya selama berkuliah di Universitas Padjadjaran Bandung. Sisanya, dia percayakan sepenuhnya pada teks-teks latin berbahasa Indonesia, yang berusaha ia baca. Warga Asia-Afrika lainnya yang kebetulan hadir di acara ini adalah Yagura Roichi, seorang warga Jepang yang tengah melakukan penelitian di Museum Konferensi Asia-Afrika. Dia pun turut membaca bait-bait kenangan Ali Sastroamidjojo dengan sangat terbata-bata. Tekad keduanya untuk membaca pun mampu menuai pujian dan tepuk tangan hadirin lainnya.

***
Tepat jam 18:05 WIB, kalimat terakhir dalam paragraf terakhir buku biografi Ali Sastroamidjojo pun usai dikumandangkan. Ritual tadarusan ini ditutup oleh pemaparan riwayat singkat Ali Sastroamidjojo yang dibacakan oleh kang Desmond Satria Andrian, sosok tinggi-besar yang sampai saat ini selalu menginsipirasi Sahabat MKAA untuk berkegiatan di Gedung Merdeka.

Ali Sastroamidjojo sendiri merupakan salah satu Bapak Bangsa Indonesia. Kiprahnya untuk memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia sangat besar. Di masa-masa awal pemerintahan Indonesia berdiri, beliau ditunjuk sebagai menteri pendidikan dan kebudayaan. Dia juga duta besar pertama Indonesia untuk Amerika yang mengawali membuka perwakilan Indonesia di negeri Paman Sam.

Salah satu puncak karir Ali Sastroamidjojo yang paling diingat oleh banyak orang adalah jabatannya sebagai Perdana Menteri Republik Indonesia. Di titik ini, “Ali merupakan sosok pejuang diplomasi, dengan jiwa internasionalisasi yang konsisten, khususnya konsisten terhadap semangat Bandung,” nilai Elly Nugraha, plh Kepala Museum Konferensi Asia-Afrika Bandung, dalam sambutan pada syukuran Khataman Tadarusan buku Tonggak-Tonggak di Perjalananku.


Plh Museum Konferensi Asia-Afrika (MKAA)
Elly Nugraha tengah memotong tumpeng
tanda berakhirnya tadarusan
buku biografi Ali Sastroamidjojo. (Foto: Yudha PS)
Elly berharap, melalui bukunya ini, sosok Ali bisa masuk ke relung-relung pemuda yang merupakan generasi penerus Bangsa.

Plh Museum Konferensi Asia-Afrika (MKAA) Elly Nugraha tengah memotong tumpeng tanda berakhirnya tadarusan buku biografi Ali Sastroamidjojo. (Foto: Yudha PS)

Dalam kesempatan ini, hadir juga Tarida Sastroamidjojo, cucu dari Ali Sastroamidjojo yang hadir mewakili keluarga besar Ali Sastroamidjojo. Tarida menghaturkan penghargaan kepada pengelola MKAA. “Saya merasa haru dan bangga bahwa pihak Museum Konferensi Asia-Afrika Bandung memberikan perhatian pada karya beliau. Bahkan mencetak dan menerbitkannya, termasuk menyebarkan (buku Ali Sastroamidjojo) ke khalayak luas,” ungkapnya di depan hadirin dengan penuh haru. “Semoga isi pesan beliau bisa membuka cakrawala pengetahuan bagi generasi muda,” tutupnya.

***

Ali Sastroamidjojo adalah inspirasi. Itulah kesimpulan dari peserta Khataman Tadarusan Tonggak-Tonggak di Perjalananku. Seperti yang dikemukakan oleh Norma, anggota Asia-Africa Reading Club (AARC). Selama membaca buku biografi Ali Sastroamidjojo, ibu satu anak ini mengaku mendapatkan banyak ide untuk menggelorakan semangat “Bandung Ibu Kota Asia-Afrika”.

Contohnya saja, Norma terinspirasi untuk menggelar lomba baca dan malam keakraban pemuda Asia-Afrika. Meskipun banyak kendala, tetapi Norma yakin semangat Bandung bisa mendobrak segala keterbatasan yang ia dan teman-temannya miliki. “Seperti (pemerintah) Indonesia dengan keterbatasan ekonominya mampu mewujudkan KAA 1955,” tandasnya.

Semangat senada dirasakan oleh Aryo, anggota AARC. Gitaris serta desainer asal Bandung ini terinspirasi untuk menggaungkan Bandung Ibu Kota Asia-Afrika ke seantero Bandung. Untuk mengejawantahkan semangatnya ini, Aryo memulainya dengan merancang kaos dengan pesan “Bandung Ibu Kota Asia-Afrika”.

***

Karya terakhir Ali Sastroamidjojo ini mampu menghadirkan tokoh-tokoh sejarah dengan sangat manusiawi. Itulah penilaian Desmond, dalam pengantar Khataman Tadarusan buku Tonggak-Tonggak di Perjalananku. “Karena ditulis dalam bahasa tutur yang baik,” ungkapnya. Alumnus Sastra Perancis UNPAD ini juga mengungkapkan bahwa Ali merupakan sosok yang memiliki pandangan Indonesianisme dan Panasianisme yang kuat.

Peran Ali Sastroamidjojo dalam percaturan diplomasi Indonesia tampak sekali dalam drama Konferensi Asia-Afrika (KAA) 1955. Ali sebagai sutradara besar konferensi, berhasil meyakinkan 4 perdana menteri lainnya pada konferensi Kolombo untuk menyelenggarakan KAA 1955. “Tanpa Colombo Plan, tidak ada KAA,” tandas Desmond.

Kebesaran Ali semakin tampak ketika KAA 1955 terselenggara di Bandung. Kecanggihan diplomasinya mampu mengakomodir berbagai latar belakang ideologi untuk bersatu dalam forum internasional kulit berwarna pertama di dunia itu.

Hal ini salah satunya tampak pada hari kelima penyelenggaraan KAA 1955. Pada pertemuan politik yang dihadiri seluruh perdana menteri, Chou En Lai, Perdana Menteri China, berkonflik dengan John Kotawala, Perdana Menteri Chevlon. Hampir-hampir, KAA 1955 gagal. Namun, berkat campur tangan Ali, konflik tersebut mampu diredam dan KAA 1955 mampu menghasilkan Dasa Sila Bandung di malam penutupannya.

Sebagai penutup, Desmond menandaskan bahwa sisi internasionalisme Ali Sastroamidjojo tampak di halaman-halaman akhir biografinya. Ali masih sempat mendoakan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk lebih baik lagi. “Sesuatu (pemikiran) yang patut kita apresiasi tentunya,” tutup Desmond yang disambut tepuk-tangan dari hadirin.

Semoga, tepuk-tangan tanda terinspirasi untuk menggelorakan semangat Bandung, untuk sebuah Indonesia dan dunia yang lebih baik lagi.***


aarc

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Instagram