ISLAM, MAAF, DAN PKI


Akhmad Sahal
Akhmad Sahal
(Kolom TEMPO, 9 April 2000)

MENGAPA kalangan Islam menolak usul Gus Dur untuk mencabut Ketetapan MPRS XXV/66? Mengapa mereka menyesalkan usulan Gus Dur untuk minta maaf kepada PKI? Ketika komunisme sudah bangkrut di tingkat dunia, dan di dalam negeri PKI dan yang terkait dengannya betul-betul menjadi political outcast, mengapa kelompok Islam, baik modernis maupun tradisionalis, masih khawatir dan antikomunisme? Apakah ini mencerminkan sukses rezim Orde Baru menanamkan dan menyebarkan komunisto-fobia?

Kekhawatiran dan sikap anti yang cenderung eksesif terhadap komunisme pada umat Islam ini tidak hanya digerakkan oleh pengaruh luar semacam kampanye stigmatisasi komunisme oleh rezim Soeharto. Tentu saja itu juga ada pengaruhnya. Tapi sesungguhnya ada faktor lain yang secara genuine melekat dalam ingatan kolektif umat yang justru lebih berperan mengawetkan kekhawatiran dan antipati itu. Dua hal setidaknya bisa disebut di sini: kenangan terhadap situasi Demokrasi Terpimpin dan pandangan stereotip terhadap komunisme itu sendiri.

Kita tahu bahwa ketika PKI berkibar di era Demokrasi Terpimpin, kalangan Islam (juga Kristen, Katolik, dan nasionalis) gentar. Ini bukan saja karena PKI dibayangkan sebagai kekuatan politik yang solid dengan puluhan juta pendukung, melainkan juga karena politik saat itu memang mengarah pada pertarungan zero-sum game: "kita atau mereka". Maklum, suasana revolusioner yang ditiup kencang membikin politik benar-benar mengamalkan apa yang oleh Sukarno disebut machtsvorming danmachtsaanwending, penggalangan dan penggunaan kekuasaan, suatu politik massa.

Selain itu, kompetisi dan konfrontasi partai-partai tidak disalurkan lewat pemilu karena hampir semuanya bergantung dan memusat pada Sukarno. Akibatnya, ketidakpastian tentang bagaimana nanti kalau tidak ada Sukarno merayap ke seluruh negeri. Sementara itu, di desa-desa, adanya "land reform" sepihak dari PKI memicu konflik tajam, bukan dalam skema vertikal antara petani dan tuan tanah, melainkan horizontal antara petani santri yang NU dan petani abangan yang PKI. Dalam situasi semacam itulah kegentaran umat Islam melihat kejayaan PKI saat itu bisa dimaklumi.

Apalagi, di kalangan Islam, PKI mendapatkan stereotip sebagai kelompok yang berpolitik tanpa moralitas karena dasarnya adalah ateisme. Politik PKI dianggap identik dengan "tujuan menghalalkan cara": mereka bisa menyusup ke mana-mana dan memanfaatkan kemiskinan buruh dan tani untuk tujuan kekuasaan. Selagi belum berkuasa, mereka bisa saja menerima demokrasi. Tapi, begitu berkuasa, pasti akan totaliter.Begitu kira-kira stereotip terhadap PKI saat itu.

Kini sejarah telah berubah. Tapi kegentaran dan stereotip tetap, malah dibekukan. Argumen kalangan Islam bahwa sikap mereka melawan PKI adalah membela diri karena situasinya ketika itu adalah "dibunuh atau membunuh" mungkin berlaku di zaman Demokrasi Terpimpin.

Tapi, dalam prakteknya, pasca-G30S, intensi membela diri ini berlangsung kebablasen karena ternyata situasi" kita atau mereka" sebenarnya tidak ada lagi. Fakta bahwa PKI mudah sekali rontok menunjukkan bahwa kesolidan dan kebesaran PKI yang menggentarkan itu hanya mitos. Mereka hanya bergantung pada Sukarno dan, tidak seperti tentara, mereka tak bersenjata. Di samping itu, G30S itu sendiri masih diselimuti misteri. Kalaupun pelakunya memang PKI, apakah itu berarti semua anggota PKI boleh dihabisi?

Di sinilah letak kesalahan argumen "membela diri" dan "menghabisi sampai ke akar-akarnya" yang mendasari pembunuhan besar-besaran terhadap PKI. Kegentaran telah tergelincir menjadi kesewenang-wenangan. Keadilan ditutupi oleh kebencian. Apalagi kalau diingat bahwa saat itu Soeharto dan tentara ikut mendukung dan mengambil keuntungan dari pembunuhan tersebut.

Selain itu, melestarikan stereotip bahwa komunisme ateis dan niscaya berpolitik dengan "tujuan menghalalkan cara" adalah tindakan menyederhanakan. Dalam sejarah, kita mengenal Haji Misbach dari Surakarta dan Datuk Batuah dari Padang yang Islam sekaligus komunis. Pelajarilah marxisme, maka akan ketahuan bahwa concern utamanya bukanlah soal agama, melainkan soal pembelaan terhadap yang tertindas dalam kapitalisme. Soal "tujuan menghalalkan cara" adalah machiavelisme belaka yang tidak khas tabiat komunis, tapi juga bisa dilakukan oleh siapa pun.

Pada titik ini, permohonan maaf Gus Dur kepada PKI haruslah dilihat sebagai ikhtiar untuk keluar dari perangkap kekhawatiran yang dasarnya hanyalah masa lalu yang mandek dan stereotip yang menyederhanakan. Kesalahan masa lalu, yakni niat membela diri yang ternyata berbuah kesewenangan, harus tetap diingat dan dinyatakan agar tidak terulang lagi. Jangan dikira pengakuan salah semacam ini tanpa dibarengi rasa sakit.

Yang perlu ditegaskan di sini, permohonan maaf Gus Dur tidak dengan sendirinya menaruh PKI dalam posisi tidak salah. Menjadi korban tidak lantas menjadikannya suci. PKI juga mesti mengakui kesalahannya dalam memberi andil menciptakan situasi totalitarian era Demokrasi Terpimpin, situasi yang dalam istilah Lenin berarti "siapa yang tidak bersama kita berarti melawan kita." Dengan dalih revolusi, PKI mendukung saja ketika rezim Sukarno melarang sejumlah partai dan memenjarakan sejumlah nama. Andil semacam inilah yang menjadi bahan bakar antikomunisme.

Kalau setiap pihak mengakui kesalahan, bukan hanya rekonsiliasi yang tercapai, melainkan juga penyembuhan luka sejarah yang tertanam di bawah sadar bangsa ini. Dan setelah itu, bab baru kehidupan bangsa ini bisa dimulai dengan sikap adil, tanpa beban trauma sejarah yang ditekan atau dimanipulasi. Dalam kerangka sikap adil inilah hendaknya kita menempatkan usul penghapusan Tap MPRS XXV/66.

Ada baiknya kita menyimak anjuran Surah Al-Ma'idah ayat 8: "Janganlah kebencianmu pada satu kaum menjadikan kamu bersikap tidak adil (terhadap mereka)."

aarc

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Instagram