PENYAIR SEBAGAI PROFESI PROSPEKTUS

Ada suatu masa, ketika saya senang menyendiri, menyuntuki televisi dan radio, film-film, jua musik, sesekali mengintimi buku, koran, majalah atau tabloid mingguan, sambil melihat bintang idola, artis selebritis di era 90-an, beserta gossip yang memang  makin digosok makin asyik saja.  Satu periode dalam hidup yang lebih menikmati kesendirian tapi sembari mencecap pula kenyataan sosial, dari dalam kamar, bagai seseorang yang melihat kejadian dari balik kaca jendela, menatap orang lalu lalang, pulang kerja, pergi ke kampus atau sekolah, menjual barang dagangan, atau menyaksikan seseorang berjalan dengan kejutan niat yang sangat mengejutkan, misalnya berniat untuk mencuri apapun yang lengah dari pemiliknya. Gawat mendadak. Di luar nyata garang tiba-tiba.


Masih dari balik kaca jendela kamar, melihat orang-orang pergi berkencan bersama kekasihnya sungguh perlente gayanya, terdengar pula dari sebelah rumah, seseorang bermain gitar nyanyikan kesedihan hati dengan nada dan suara yang pas tapi libas segala yang naas, mencium juga aroma masakan sepertinya lezat meski untuk esok hari entah akan makan apa. Teranglah kini bahwa semua orang bergerak menggapai tujuannya masing-masing dalam dinamika yang terus juga bergerak, kadang lamban, kadang pula menyerang pikiran dan indera penglihatan untuk taksabar menunggu apa yang terjadi selanjutnya.

Masa bergulir. Orang-orang hadir. Ada yang kuat menentang takdir, ada pula yang terkilir, takkuasa dirayu benda, peralatan hidup, perlengkapan keseharian, hingga kekuasaan yang terkadang menambah kadar nafsu terus menggebu-gebu. Dan saya takmungkin selamanya berada di dalam kamar, mencumbu setiap  guratan kata, mencandai  juga channel TV dan Radio, lantaran perubahan terus berderak, begitu takterduga. Ada baiknya saya harus mengatakan sepakat pada  buah nalar seorang tokoh cendekiawan yakni Jalaludin Rakhmat yang mengatakan bahwa  sebab-sebab terjadinya perubahan sosial diantaranya Pertama,  masyarakat berubah karena ide, pandangan hidup, dunia dan nilai-nilai. Kedua, Great individuals (Tokoh-Tokoh Besar)- Heroes (Para Pahlawan). dan yang ketiga, munculnya social movement (Gerakan sosial/LSM).

Berdasar asumsi di atas, kiranya ada salah satu peran sosial, dari individu yang bukan sembarang individu, sosok yang kerap membawa tema dan gagasan yang luar biasa pada setiap curahan penanya, berasal dari sensitivitas dan totalitas pada lingkungan dan alam raya, katakanlah profesi itu adalah  penyair, dalam hal ini penyair yang sedang bergulat pada konstelasi jagat perubahan sosial, setidaknya memiliki andil yang diharapkan besar, dari hanya sekadar menuliskan kata-kata, memilih diksi, menyusun kalimat, atau frase yang mungkin indah, yang dianggap mewakili gulana sang penyair termaksud, dari hanya sekadar mendapatkan honor sebagai akibat karya yang kemudian terpampang di salah satu koran ibukota. Ada tantangan sekaligus pengharapan yang besar tersemat pada pena penyair ataupun calon penyair, dirasakan atau tidak, perubahan sosial yang diharapkan melaju pada arah yang lebih baik, salah satunya diharapkan termuncratkan pada kiprah-kaprah para penyair. Dengan demikian penyair, tidak hanya berurusan dengan gaya bahasa, pola ucap, lebih jauh tentang estetika kepanyairan yang terbentang dari kekaryaan sang penyair, namun lebih dalam dari itu semua, ia pun sesungguhnnya dinantikan dalam proses perubahan sosial. Jadi, mustahil ia akan tercerabut dari masyrakatnya, dan sungguh konyol bila ia masih saja berdiam diri di kamar, hanya menerawang dari balik jendela, apalagi tertidur di atas ranjang yang terus menegang.

Bukankah masyarakat berubah? Berganti rupa, bersalin wujud. Lain dulu, lain pula sekarang. Berlainan fisik, berlainan penampilan. Bergantian atribut, berubah pula segala kebendaan. Pembangunan fisik material dimana-mana. Hingga masa depan pun menanti. Perubahan sosial ini tentu saja berdampak, entah positif bagi perkembangan kebudayaan, atau mungkin berefek negatif  bagi keberlanjutan hidup manusia. Jawaban penyikapan terhadap perubahan sosial yang tengah berkecamuk itu tergantung kita, jika merasa bagian dari masyarakat, dan senantiasa merasakan apa yang terjadi di masyarakat, maka pilihan perubahan ke arah yang lebih elok, pasti jadi dambaan. Adapun penyair, sebut saja, salah satu peran sosial yang berkembang di masyarakat, juga memiliki sejarah yang panjang, mengingat profesi ini adalah purba adanya, semenjak zaman keemasan para Nabi hingga sekarang ini, kontribusi  penyair sedikit banyak telah memengaruhi perubahan yang terjadi di masyarakat, di Indonesia saja, tersebutlah Amir Hamzah, Chairil Anwar, WS Rendra, Taufik Ismail, Emha Ainun Nadjib Wiji Thukul dan masih banyak lagi penyair lainnya yang fokus suarakan luka-luka kemanusiaan, yang telah menggerakkan orang-orang untuk melakukan satu perubahan yang bermakna di masyarakat.

Hari ini dan kelak di masa yang akan datang, peran sosial dari penyair sangat tepat, dan ditunggu-tunggu sepakterjangnya, bukan melulu soal penampilan, penghargaan, atau berapa banyak buku yang telah dibuat, akan tetapi sejauhmana peranserta para penyair dapat membawa ide, gagasan, pemikiran dan inspirasi baru bagi semesta raya Indonesia. Kalau saja komitmen penyair dalam memajukan kecerdasaan bangsa sekaligus membawa air yang jernih, angin yang segar, udara yang sejuk, taman yang nyaman, beserta jalan yang tenang dan takbecek, pada gilirannya nanti kehadiran penyair akan tetap menemukan aktualitasnya. Suatu saat, kelak, profesi penyair masih akan diperhitungkan di masa mendatang, sebagaimana kontribusi ide dari penyair terdahulu dalam gerakan kebudayaan yang sangat elegan. Semoga begitu. Tapi tentang hal ini, bukan tanpa catatan berarti, paling tidak, menjadi cambuk bagi saya, untuk senantiasa berdaya upaya memperkuat dan mengasah daya penglihatan, pendengaran, pengucapan, dan melatih daya gerak, agar dalam tataran ideal, para penyair menjadi nurani zaman atau sebutan lainnya menjadi juru bicara bagi zamannya.

Terkenang pada penyair dari India yaitu Muhammad Iqbal, begitu kuat sumbangsih pemikirannya, dalam melahirkan Negara Pakistan, sehingga akhirnya dapat berdaulat dan menentukan nasibnya sendiri sebaga bangsa.  Lalu kita, meski takdiperhitungkan, taklepas dari ketololan hidup, bukan siapa-siapa, atau barangkali ingin proklamasikan diri pertaruhkan minat untuk menjadi seseorang yang berjuang lewat kata, menyampaikan kesaksian atas apapun yang terjadi, memberi kabar bagi semesta raya, menumbuhkembangkan semangat hidup dan perikehidupan, layaknya membangun kemanusian dengan buah pikir sederhana, tetapi bersendikan pada kemajuan kebudayaan bangsa, maka segeralah lakukan perubahan itu. Toh kita pun bisa menuliskan pengalaman hidup kita masing-masing, membawa muatan yang penting pada setiap bait, paragraf, pada sejumlah karya kita, tanpa ada distorsi, tanpa gemuruh suara yang bising, tanpa dibebani kewajiban agar orang-orang mau berubah, yang utama adalah hanya tampilkan kejernihan ucapan, tulisan, tautan perasaan, luapan emosi yang teratur dan mengarah pada keajegan hidup. Mudah-mudahan begitu.

Fungsi sosial penyair terasa cerah, menyandang gairah, bersama-sama dengan masyarakat menyertakan pergerakan budaya dalam alunan puisi, dan suasana melodius yang serius, tapi tidak membius yang hanya lambankan pola juang. Semoga.



Bandung, Oktober 2012

Adew Habtsa, Penyelundup di Asian African Reading Club-Sahabat Museum Konperensi Asia Afrika.

aarc

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Instagram