Remaja, konon pelajar, kebanggaan
orangtuanya, berkelahi, sehabis sekolah, dan korban pun jatuh. Pemuda, katanya
mahasiswa, penerus cita-cita bangsa, adu jotos, setelah materi kuliah dilahap
habis, hingga korban bergelimpangan. Anakmuda, lepas sekolah, berdagang,
kemasukan ideology tertentu dengan sistematis, berniat tegakkan kebenaran, tapi
gunakan metode yang teramat keliru, bom meledak, akhirnya korban pun
taktertahankan lagi.
Pada pemandangan yang berbeda,
lantaran sepak bola, penyuka klub tertentu, karena kalah, amarah menambah,
antar satu pendukung dengan pendukung lainnya, saling menyerang, sehingga
korban lagi-lagi terkulai takberdaya. Sekelompok massa beringas, serbu
rumah ibadat, terpicu beda keyakinan asasi, lalu adu senjata, sudah bisa dipastikan,
kembali meminta korban.
Berita kematian menghiasi setiap
lembaran media, baik cetak maupun elektronika, dari satu kisah ke kisah
lainnya. Dari setiap sudut nafas manusia yang terhembus, ke nafas yang lain,
acap terjadi pelenyapan nafas itu, dan nyawa pun melayang sia-sia. Bermacam
kematian mengenaskan tersiar, buah dari keteledoran, kecerobohan, perkara
remeh, hingga angkara membara, yang terus-menerus bercokol di kepala.
Takterkendali gerak masyarakat,
mungkin karena tontonan,atau bacaan, sekaligus juga godaan yang tiap hari
datang menggeranyangi manusia. Memang taksemestinya kita menyalahkan
lingkungan, atau benda-benda yang lumrah menemani kita, mengitari benak ini,
mengasongkan sensasi yang luar biasa. Takterarahkan laju masyarakat, sulit ditebak
karakter seseorang, penuh kejuatan, seperti misal, ada seseorang yang rapi,
baik, tenang, bahkan soleh, namun karena satu dan lain hal, bisa saja, jadi
pembunuh yang paling mengerikan. Sudah sering kita mendengar, barangkali, oleh
sebab orang tersebut memiliki kedudukan jabatan yang empuk, maka aliran uang
begitu deras membasahi tubuhnya, takdisangkal lagi, pengerukan uang rakyat
berlangsung lagi. Bukankah tindakan bejat tersebut, termasuk kategori
pembunuhan jiwa rakya seluas-luasnya, karena telah mengambil hak yang
semestinya diserahkan kepada kesejahteran rakyat.
Pada lanskap yang berbeda, gunung,
bukit, dan lembah berubah wajah, menjelma pemukiman, restoran, sampai jadi juga
tempat pelacuran, lalu tanah, sawah, rumputan, hewan-hewan, hingga pohonan tergusur,
lenyap sudah. Kemudian zaman industry menerobos waktu, pabrik berdiri, sumber
air pun terancam, tercemar, matilah segala habitat di air, di tanah, di udara,
pantaslah bila seluruh penghuni komunitas sawah, sungai, pantai, hingga
padangrumput, taktersisa, kecuali bangkai busuk. Dan hawa busuk pun menyergap,
tiba juga di tulisan, di media, di puisi atau di novel, tapi lama-kelamaan,
orang-orang kian takpeduli, meski kebusukan merasuk,namun takdihiraukan, maka
matilah kembali segala penghuni semesta raya. Makin takpeduli kita, terus
meludah, melukai tanah, dengan melempar kotoran, sampah, apapun, apasaja,
tampaklah kini ekosistem jauh dari keseimbangan, sebentar lagi kita mendekati
jurang kehancuran.
Sampai kapan hal ini akan berakhir, entahlah, jika kita ingin mempercepat guncangan sosial. kiamat peradaban,dan kehancuran kebudayaan, bukankah mematikan segenap potensi yang ada di alam, termasuk manusianya, yang acap dibalut hawanafsu dan keinginan saling membunuh, adalah salah satu jalan yang menyakitkan? Jangan-jangan memang peradaban manusia yang dibangun hari ini dilandasi dengan penguasaan manusia atas manusia lainnya? Apakah memang saling sikut diantara diri ini, hingga benjut, itukah yang menjadi kerangka orang-orang untuk menyampai tujuannya, takpeduli lingkungan sekitar, yang penting kenyang dan menang?
Ada yang hilang dalam identitas
kebangsaan kita, dalam perikehidupan bermasyarakat kita, sebagai sebuah bangsa
yang besar: nusantara, ada baiknya mengaca literatur yang kini dianggap usang,
sebagaimana pernah terpapar dengan lantang dan berani oleh Presiden pertama
RI-Ir.Soekarno pada sebuah pidatonya yang terkenal itu (1955), yang menyatakan
bahwa Indonesia adalah suatu negeri dengan keberbagaian keyakinan, terdapat
kemacamragaman sukubangsa, namun Indonesia memiliki pancasila sebagai pandangan
hidup yang ajarkan toleransi antar satu individu dengan individu lainnya, dan
selalu mengamalkan prinsip hidup dan membiarkan hidup, bahkan semenjak dulu
selalu meyakini bahwa kita semua adalah satu bangsa.
Bukan tidak mungkin, masih ada
diantara kita untuk memenuhi hajatnya, harus menghalalkan segala cara, jika
perlu dengan membunuh kawan seiring, teman sepermainan, kolega seperjuangan,
tanpa mengindahkan lagi etika moral yang biasanya terjunjung tinggi. Untuk
hadapi kenyataan itu saya harus bergegas menerabas kebodohan diri, dan
lalu mengatakan: Hidup dan biarkanlah hidup.
Perihal keberingasan massa, geramnya
pelajar dan mahasiswa, buasnya kepalan tangan dan senjata yang dibawa mereka,
agar juga takmuncul lagi kesedihan yang keberlanjutan, padahal begitu banyak
aktivitas kreatif yang sehat dan menyegarkan daripada berulah yang merugikan,
maka untuk sikapi realitas seperti itu saya mesti bersikukuh teguhkan diri,
lalu berteriak: Hidup dan biarkanlah hidup, seutuh-utuhnya manusia
Berkaitan dengan koruptor yang telah
merampok uang rakyat, hingga masyarakat melarat, morat-marit ekonomi, ayah ibu
kelimpungan mengusahakan kebahagiaan hidupnya, sisanya malah bunuh diri,
tidakkah para koruptor tergolong pembunuh sadis tingkat tinggi, alangkah indah
dan beraninya kita,bila kita berseru: Hidup dan biarkanlah hidup, seluruh
rakyat Indonesia
Ihwal lingkungan hidup yang
takperawan lagi, gunung dan bukit menjadi gundul, pengisi hutan pun entah
berlarian ke arah mana, sungai tertindih limbah, takada resapan air yang
pantas, air minum juga taklayak konsumsi, hingga terdengar nyanyian alam yang
terus-terusan merana, maka saya harus bersiteguh, sembari mengencangkan ikat
pinggang lantas berteriak: Hidup dan biarkanlah hidup, segenap alamraya beserta
pengisinya.
Sehubungan dengan mereka yang
gunakan model perjuangan penegakan kebenaran hakiki, dengan gunakan bom,
sehingga malah datangkan korban yang memilukan,juga bagi siapapun yang begitu
percaya diri meyakini keyakinannya masing-masing, sehingga tampilkan arogansi
merasa diri dekat dengan Tuhan lalu serta merta ingin membasmi siapasaja yang
berseberangan dengan mereka, maka saya akan mengatakan: Hidup dan biarkanlah
hidup, wahai para perindu syahid.
Selebihnya, teruslah kita bicarakan
tema ini, rajin diperbincangkan, dan jangan bosan untuk dikemukakan dimanapun,
dengan siapapun, pada saat apapun, untuk nyatakan: Hidup dan biarkanlah hidup,
bagi sebesar-besar umat manusia dan makhluk Tuhan lainnya di alam mayapada ini.
Bandung, awal Oktober 2012
Adew Habtsa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar