BERJAMAAH MEMBACA BUKU COBA BEBASKAN DIRI DARI SIKSAAN DAN SELANJUTNYA MEMANG KITA TAKPERLU MENYIKSA SEMESTA RAYA BESERTA PENGISINYA



Sesi Khataman Tadarussan Buku Biografi PM Ali Sastroamidjojo,
Rabu, 24 Oktober 2012, Pkl. 08.07 WIB
di Ruang Audiovisual Museum KAA.
Tampak rekan-rekan Himpunan Mahasiswa
Hubungan Internasional Universitas Pasundan
sedang berfoto bersama Ibu Tarida Ali Sastroamidjojo
Seandainya semua orang senang membaca, barangkali takakan ada orang yang tersiksa dan menyiksa sesamanya, baik secara jasmani maupun rohani. Membaca apapun, apasaja, baik yang tersirat maupun yang tersurat, yang nampak ataupun yang tersembunyi. Dari apa yang terbaca, kemudian mengendap dalam batin masing-masing, suatu saat nanti, yakinlah, akan menjelma petir yang menggelegar, menjadi bunyi alam yang paling merdu, atau merupa lukisan semesta paling mengejutkan, bahkan menjadi api perlawanan terhadap apapun yang mendera lahir batin kita, sehingga kita tidak mungkin akan menganiaya orang lain atau semesta raya.



Tinggal bagaimana memperlakukan obyek yang kita baca itu, seperti juga yang rutin kami baca tiap rabu sore di  Museum Konperensi Asia Afrika, pada guliran Tadarusan buku “Tonggak-Tonggak di Perjalananku” karya Ali Sastroamidjojo, seseorang yang pernah menjabat sebagai Perdana Menteri dalam salah satu kabinet masa Bung Karno, seorang diplomat ulung di beberapa Negara asing, dan pernah menjabat sebagai ketua Konperensi Bandung tahun 1955. Entah sudah pertemuan ke berapa, pembahas demi pembahas bergantian, pun para mudaris ( peserta tadarusan) datang dan pergi, fokus pembicaraan berpindah dari satu ranah ke ranah lain, tema kajian begitu beragam. Buku termaksud jelas menjadi perangsang siapapun yang kebetulan hadir, untuk coba mengembangkan daya nalar dan alam pikirannya, bergegas hendak pergi ke masa lalu, pada satu masa pergolakan bangsa Indonesia yang semuanya berawal dari imaji besar untuk membangun sebuah bangsa yang berdaulat, kemudian merebut imaji kemerdekaan yang sudah lama diidamkan, lalu setelah itu mempertahankan imaji itu, hingga sekarang sampai masa yang entah sampai kapan, yang terang  semuanya berharap dapat mewujudkan impian besar satu negeri yang juga besar dengan cara dan langkah-langkah yang teramat sederhana, bahkan sungguh mengharukan.

Buku karya sang pejuang tangguh ini, menampilkan kisah perjalanan satu bangsa yang takmau terus-terusan tersiksa dan mustahil melakukan penyiksaan pada yang lainnya. Tersiksa oleh penyiksa, dari ujung rambut sampai telapak kaki, tersiksa di gerak nafas,langkah kaki, sampai arah pandang pun dibuat taknyaman, belum lagi tersiksa lidah, mulut, hingga suara rakyat tersiksa, terdengar erang sakit, yang taktahu siapa akan mengobatinya, kecuali diri kita ini, untuk terus mau membaca dan melepaskan diri tiap siksaan itu. Mereka memang taksegan-segan untuk terus-menerus menyiksa, begitu banyak motif, tujuan, dan misi yang terbawa, hingga kita pun menjadi korban penyiksaan, dari dulu, dan pasti saat ini pun takjauh beda. Disadari atau tidak, siksaan yang paling lembut dan kasar, bersatu di dalamnya, menghampiri kita, lewat bacaan, tontonan, juga makanan, minuman, lebih parah lagi, udara dan air pun seperti menyiksa, pada sebagian tempat, ulah dari penyiksa gila, berkedok kemajuan zaman.

 Pada sisi yang lain, teman dan kerabat di lingkungan kita terus menyiksa, dengan sikap dan tingkahlaku yang mirip dengan penjajah pongah, mirip penguasa berbusa, mirip pemimpin rezim lalim, tiba-tiba mereka meniru sikap hidup seperti itu, mentang-mentang berada pada kedudukan yang empuk dan berada di menara pengawas, serta merta siksaan ditujukan pada kita, bertubi-tubi, takingat bahwa kita berasal dari tanah yang sama, bumi yang sama, hidup di bawah sinar matahari yang sama. Tetapi perilaku penyiksaan terus saja takbisa dihentikan, takada yang mengingatkan, sedikit orang saja yang mau mengerti, padahal tampak sudah kerusakan, bukit dan lembah menyerah, isi bumi paling menguntungkan tertawan di kerling mata mereka, pohonan kena tekanan, air tersingkir menjauh, udara panas membara, bebunyian merdu malah tersedu-sedu, bising knalpot di jalan raya, tuturbahasa yang jauh dari sikap manusiawi menganggap yang lainnya takjauh beda dengan binatang, harta kekayaan negara dirampok lara dan masih banyak lagi bentuk siksaan lainnya. Itu semua terjadi berdasar asumsi saya ialah buah dari pembacaan yang buruk pada masalalu,  hasil dari pembacaan yang tidakbaik pada sejarah bangsa, dan boleh jadi para penyiksa itu telah mencampakkan jatidirinya sebagai bangsa, sebagai keluarga, sebagai pribadi yang semestinya cerlang cemerlang membawa bintang yang sinari kegelapan diri, menggotong pelangi yang indahkan masa depan atau menyodorkan hujan yang suburkan harapan.

Sampai kapan siksaan ini akan berakhir,sementara kami hanya duduk melingkar, tiap rabu sore, di salah sudut ruangan di Museum KAA yang konon telah mengharamkan siksaan kolonialisme dengan segala format dan variasi terkininya, lantas  bersama-sama menumbuhkan gairah membaca buku dan teks lainnya, coba saling kuatkan niat untuk lebih berarti dan sampaikan arti yang semestinya diartikan dengan benar dengan segala keterbatasan yang ada. Sedangkan sebagian masyarakat malah takmerasa tersiksa, berasyik-asyik dengan kesenangan hidup, toh masyarakat pada umumnya berharap solusi yang aplikatif atas kenyataan hidup yang takbosan-bosan menyiksa. Segala macam upaya dikerahkan, ikhtiar lain yang mungkin berguna, dengan kembali menumbuhkan semangat belajar, yakni membaca kembali wawasan dari silam waktu secara berjaamah, siapa tahu kalaulah berbarengan akan lebih enteng segala beban, dan semua diharapkan menjadi amunisi dan peluru yang tembakkan kecerobohan, yang letuskan kesombongan, dan yang akan ledakkan keserakahan diri.

Salah satu diantaranya, dari buku Tonggak-Tonggak di Perjalananku (1974),  buah pikir Ali Sastroamidjojo, siapa tahu ada peristiwa, paragraf, kalimat, frase atau bahkan kata yang termuat pada setiap lembaran buku tersebut,  yang membuat kita makin menyadari kedudukan  kita selaku anak bangsa yang hari ini seperti kehilangan patron yang paling top, seolah kehilangan figur negarawan agung untuk bersikap, seakan terbingungkan oleh realitas politik yang takjelas arah juntrungannya berkenaan dengan arah juang pembangunan bangsa ini dan setelah itu kita pun berhasrat lepaskan diri dari siksaan politik-ekonomi-sosial-budaya, syukur-syukur kita dapat pemahaman yang utuh, dan lalu bertekad nyata, misal: mustahil kita pun akan menyiksa alam raya dan seluruh penghuninya.

Bandung, Oktober 2012                                                                                                        

Adew Habtsa, tinggal di Bandung, Penyelundup di Asian African Reading Club-Sahabat Museum KAA           

aarc

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Instagram