SETELAH PERAYAAN ITU



Kekerasan sebenarnya sebentuk kebodohan juga, manusia yang cerdas dengan sendirinya tidak suka kekerasan, karena manusia yang suka kekerasan lebih dekat dengan dunia binatang buas daripada makhluk manusia yang bermartabat (Y.B Mangunwijaya,1998)



Belakangan kekerasan merebak kembali. Sebagaimana pertarungan yang abadi telah berlangsung semenjak masa lalu. Takmati perangai kekerasan, terus dihidupkan sekelompok orang. Malah menguat dan berbiak dengan segala bentuk dan manifestasinya. Di mulai dari kalangan bawah yang taksabar dengan himpitan hidup menindih kepala lalu taksegan merampas hak milik orang, remaja sekolah yang luapkan pukulan pada sesama pelajar lainnya sebagai  akibat eksistensi mereka terusik, mahasiswa yang konon pelanjut sejarah negeri ini pun terjebak dalam amuk kecewa yang meluap hingga meletuslah pertempuran terbodoh dan yang takkalah memalukan tentu saja dilakukan orang-orang yang semestinya jadi contoh kita bersikap, serombongan manusia atas nama ideologi tertentu ingin lenyapkan manusia lainnya, para pemimpin atau pemangku kekuasaan yang tampakkan polah paling payah dan lebih mengedapankan hawa nafsu dalam setiap pengambilan putusan. Tentu saja masih banyak lagi kisah kekerasan, ketika iklim ini telah mendekap setiap jiwa.

Pada panorama yang berbeda,di kota Bandung, terpaparlah angin segar, meski sedikit, tapi angin tersebut sanggup menepis kegerahan jiwa raga atas sesaknya persoalan kehidupan, termasuk laku lampah kekerasan manusia terhadap manusia lainnya, atau mungkin pada makhluk Tuhan yang lainnya. Pada medio April,18-24, meluncurlah angin yang berhembus lembut, hendak menyapa segala jasmani dan rohani. Tepatnya dari Gedung Merdeka hembusan angin mengencang, berharap segenap pemilik lahir dan batin makin tersegarkan oleh apapun yang diterbangkan angin. Ketahuilah, angin ini membawa kesegaran dan antusiasme, seperti yang telah terjadi 57 tahun yang lalu, bahwa bersatunya bangsa-bangsa kulit berwarna adalah sebuah kemestiaan yang takbisa ditawar-tawar lagi untuk sama-sama melawan kolonialisme, diskriminasi, rasisme dan peperangan yang sewaktu-waktu menyergap sejumlah kepala di seantero bumi.

Lantas angin inilah yang nanti melayangkan ilmu dan pengetahuan agar mantaplah ingatan kita, bukankah persoalan terbesar bangsa ini adalah penyakit lupa pada hal yang semestinya kita perjuangkan, yang kini jadinya menahun, sulit tersembuhkan, kecuali kita memiliki itikad yang hebat untuk senantiasa belajar.  Melalui proses belajar  tersebut kita kembali diajak mengunjungi masa lalu, menjejaki tapak-tapak paling menghentak otak, menziarah pemikiran para tokoh dan guru bangsa yang berdedikasi tinggi mengubah zaman kegelapan bangsa menuju cerahnya hidup berbangsa dan bermasyarakat. Sudah bisa dipastikan perayaan dan keramaian sulit untuk dipisahkan antara yang satu dengan yang lainnya. Konon, orang kebanyakan menganggap sebuah acara perayaan akan sukses, bila orang-orang berbondong-bondong, berhiruk pikuk, gegap gempita dalam keramaian yang paling hingar.
           
Namun bila kita coba telaah lebih dalam, bukankah kota Bandung ini sudah terbiasa dengan kegaduhan musik, glamournya sang artis pujaan, suasana pesta romantis membahana, perdagangan produk berlomba-lomba, makanan dan minuman yang melimpah, hingga percikan kembang api beserta sinar laser yang kuat menyala-nyala soroti angkasa. Akan tetapi, mari kita resapi lagi, jangan-jangan kita terjebak dalam perayaan yang sifatnya sensasional, tapi malah melupakan esensi atau hikmah yang termuat dalam setiap agenda perayaan itu. Lalu apa yang sedang kita rayakan ini, pada bulan April, sebagaimana Konperensi Bandung 1955 yang telah membawa dampak paling kentara sampai-sampai dunia beserta penghuninya ketika  itu menaruh harapan besar akan terjadi lompatan besar dalam peta perpolitikan dunia, yakni kebangkitan bangsa-bangsa Asia dan Afrika.

            Dari gedung megah, berarsitek mewah, angin bertiup, makin kuat, menerpa setiap wajah, membelai rambut, kibaskan panasnya amarah kita pada kenyataan zaman, kenyataan politik dan kenyataan sosial lainnya yang ternyata begitu menyakitkan.Itulah angin yang kemudian saya sebut semangat atau kebergairahan hidup, pada saat tindasan penjajahan gaya baru kuat mencengkeram. Saya takberharap angin ini hanya berputar-putar di dalam ataupun di sekitar gedung agung ini saja, setidak-tidaknya siapapun yang hadir, mengikuti segala program dan aktivitas yang sudah diagendakan sebelumnya, kiranya tersegarkan dan lebih jauh tercerahkan. Melalui pembacaan buku, pendiskusian topik tertentu, napak tilas sampai pada aktivitas gerak lainnya yang lebih kuatkan kebersamaan dan persaudaraan. Lebih lebar dari itu, siapapun yang terlibat dalam perayaan tersebut, memiliki kewajiban lain untuk menjadi penyegar, syukur-syukur pencerah terhadap kerunyaman jalan nasib manusia, minimal untuk diri sendiri, agar melangkah pada jalur yang akur dan teratur.

            Belum usai angin berhembus, belum habis tarikan nafas kita, tingkah kekerasan terus menyeruak, seperti melupakan jatidiri manusia yang sesungguhnya. Semangat Bandung adalah api suar, adalah air jernih, adalah tanah paling subur, adalah angin yang berhembus dari satu tempat ke tempat yang lain, mencoba memberikan kesegaran senyuman sekaligus tawa renyah, bahwasanya kekerasan dengan segala bentuk dan manifestasinya adalah musuh  yang nyata, yang mesti ditinggalkan, karena memang itu adalah cara kuno dan primitif, takselayaknya menjadi pegangan praktis orang-orang yang hendak mengusung kedamaian dan ketenteraman dalam rangka mewujudkan perabadan manusia yang lebih baik.

            Perayaan HUT Konperensi Asia Afrika (KAA) ke-57 telah berakhir, tetapi hal ini bukan berarti berakhirnya perayaan kita pada pemuliaan manusia, alam sekitar dan yang lebih utama tentu saja terhadap Sang Pencipta segalanya, Tugas lain sudah menanti, takjauh beda dengan angin, walau takterlihat, tapi terasa manfaatnya, yaitu menjadi penyeru dan pejuang kedamaian, kesetaraan, serta kegototong-royongan. Ayo, kita kerangkai segala aktivitas yang digulirkan dengan nilai-nilai luhur yang sudah dicanangkan para pendiri republik ini. Sudah saatnya berarti, memberikan isi, makna, jua jawaban atas setiap pertanyaan pelik ihwal kehidupan di zaman seperti sekarang ini.

            Bernyanyilah tak kenal bosan! Kekerasan pasti takluk pada kembang (D.Zawawi Imron, 1991)                                                                                        

Bandung,April 2012.Adew Habtsa.

aarc

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Instagram