Dalam
sebuah karya lagu, kadang butuh intro, sejenis upaya dramatisasi suasana lagu,
atau memberi sedikit atmosfer perihal lagu apa yang hendak disampaikan, lebih
jauh ditampilkan baik secara langsung maupun rekaman. Apatah lagi dalam
perbincangan sebuah buku, dalam hal ini diskusi buku, yang terkadang sepi dan
jauh dari kesan hiruk pikuk keramaian manusia. Tentu saja berbeda dengan
pertunjukkan musik, yang sudah memiliki pangsa pasar tersendiri, penggemar
tersendiri, bahkan sikap hidup dan ideologi tersendiri, termasuk di dalamnya
fashion atau asesoris dan gaya pakaian yang erat menyertainya. Bukan untuk
membanding-bandingkan, di kota ini (Bandung) ataupun di beberapa tempat
lainnya, kalaulah ada survey yang disebarluaskan kepada khalayak umum: apakah
yang akan Anda datangi pada saat luangwaktu, pertunjukan musik atau diskusi
buku? Wah, bukan bermaksud merendahkan, saya hanya bisa membuat prakiraan
bahwa pertunjukkan musik dengan segala alirannya akan dipadati orang-orang dari seantero
negeri. Miris sekali memang, dan sudah
menjadi nasib dari buku dan para penikmat beserta aktivitas diskusi buku yang
kini malah menjadi segolongan minoritas, dari lautan manusia yang membuih
sesaki tiap tempat di bumi ini.
Berdasar
gerundelan di atas, ada sebuah tantangan tersendiri untuk mengemas sebuah
diskusi buku agar mampu menarik peminat dari berbagai kalangan, syukur-syukur
menandingi pertunjukan musik yang selalu gegap gempita itu. Bukankah stereotipe
orang kebanyakan bahwasanya diskusi buku dan buku itu sendiri identik dengan kesunyian,
kebekuan,kekakuan, atau hal-hal yang sifatnya lamban, kurang dinamis, monoton
dan kecenderungan utama adalah membosankan. Mari kita coba petakan
gejala-gejala umum yang menjadi kendala, dan kita perlu strategi yang tepat
supaya tujuan kita untuk mengedukasi masyarakat dapat tercapai. Dengan demikian
diskusi buku atau apapun namanya seyogianya menjadi salah satu sarana yang
ampuh untuk mengabarkan dan menanamkan nilai-nilai, sikap hidup dan atau
keterampilan kepada publik, sehingga mereka tercerahkan oleh khazanah ilmu
pengetahuan, tersegarkan oleh apapun yang bisa menginspirasi mereka untuk
bekerja lebih apik lagi.
Takpelak,
Museum Konperensi Asia Afrika (MKAA) bersama Asian African Reading Club (AARC)
berikhtiar sekuat tenaga untuk menghadirkan sebuah diskusi buku yang menarik
dan membuat siapapun yang hadir dalam acara tersebut dapat termotivasi untuk
terus belajar dan belajar. Sebentuk upaya telah dirancang bersama, dimulai dari
konsep diskusi,tujuan,pemateri, publikasi sampai tataletak kursi selama acara
berlangsung. Takketinggalan kudapan yang sehat dan segar serta pengisi tampilan
seni, biar acara mengalir penuh variasi, harapannya begitu. Durasi waktu yang
panjang dalam diskusi dimulai dari pukul 5 sore sampai jam 8 malam butuh
dirancang semantap mungkin, oleh karenanya diusahakan setiap bagian dari
susunan acara tertampilkan maksimal.
Guliran
pertama diskusi buku Tonggak-Tonggak di Perjalanankku karya Mr. Ali
Sastroamidjojo dimulai, hari itu rabu 15 Februari 2012, di Ruang Audiovisual
Museum KAA, setelah ruangan ditata sedemikian rupa, hal-hal yang berkaitan
dengan administrasi alias daftar hadir sudah disiapkan, pun dengan publikasi
serta undangan, peserta diskusi dari pelbagai komunitas, perguruan tinggi dan
tentu saja Sahabat Museum KAA (SMKAA) yang sudah rutin bergiat di segala
program MKAA turut hadir sejak pukul 4 sore. Menyadari bahwa pembukaan diskusi
harus tersaji seatraktif mungkin, maka intro diskusi ini juga harus menarik,
sebagaimana sebuah lagu, sebuah puisi, atau sebuah novel yang memiliki awalan
bagus di kalimat pembuka, atau paragraf pertama, yang selanjutnya diharapkan
membuat penasaran setiap penikmat karya itu, takterkecuali pada diskusi buku.
Takdinyana,
antusiasme menguat, tampak peserta diskusi jauh dari apa yang diperkirakan,
kurang lebih lima puluh orang lebih telah hadir memasuki ruang audiovisual.
Begitu sesak, sampai-sampai harus menambah kursi lagi. Tepat pukul 5 sore
lantunan lagu dari seorang musisi balada kebanggaan kota Bandung, Kang Agus
Omponk (Klopas Band) memecah hening suasana dengan menembangkan lagu-lagu
balada karya Iwan Fals, berteman gitar akustik, sembari duduk, lantang nyanyikan
lagu tentang Bung Karno dan sebuah lagu berjudul “Sumbang”.
Dalam ruangan itu, semua yang hadir sepertinya
harus berebut oksigen dan kesegaran lainnya. Perlu dikemukakan juga sehabis
tembang balada didendangkan, Kepala Museum KAA Isman Pasha turut hadir membuka
diskusi pembuka ini dengan memberi penekanan pada pentingnya penelaahan kembali
wacana pemikiran guru bangsa kita untuk dijadikan modal semangat berkiprah sekaligus
penguat jatidiri bangsa. Pada sisi lain, yang takkalah mengharukan dan
membanggakan tentu saja, pada saat kehadiran keluarga besar Bapak Ali
Sastroamidjojo, dalam hal ini diwakili oleh Cucu dari Bapak Ali yakni Ibu
Tarida Ali S beserta handai tolan lainnya, jauh-jauh dari Jakarta menyempatkan
hadir untuk mengikuti pembukaan diskusi buku yang sudah langka ini, sebuah buku
yang dicetak tahun 1974. Kemudian yang jadi algojo pembedah dan pembahas buku adalah
seorang Budayawan Hawe Setiawan telah dengan sigap untuk menelisik Buku
Autiobiografi yang konon ditulis langsung oleh Bapak Ali Sastroamidjojo,
beberapa tahun sebelum wafatnya beliau.
Seperti
yang pernah dilakukan komunitas lain, atau yang juga biasa dilarapkan semenjak
pendirian Asian African Reading Club pada medio tahun 2009, teknik pembelajaran
agar diskusi ini diharapkan bertaring dan nyaring adalah menggunakan metode
tadarusan, yaitu setiap peserta yang hadir membaca dua-tiga paragraf pada teks
yang akan dibahas, sementara yang lain duduk menyimak, sambil menunggu giliran
pembacaan, jadi semua orang yang berdiskusi akan mengetahui apa sesungguhnya
yang akan dibahas dalam buku tersebut, meski memang pembacaan dan pembahasan
diangsur sedikit demi sedikit. Bukankah kita sering melihat dan merasakan,
takkurang pada setiap diskusi buku yang jadi kejanggalan ialah para peserta
diskusi belum membaca buku yang akan didiskusikan, hal ini berakibat pada
kebuntuan dan kurang mekarnya proses pendiskusian. Apabila setiap orang membaca
teks yang akan dibahas, meski sedikit, bisa dipastikan alur diskusi akan cukup
terang dan terstimulus. Harapan besarnya begitu, setidaknya ini semua ialah
usaha untuk mengkrabkan teks pada peserta diskusi, menimbulkan persepsi dan
menjadi jalan berkembangnya wacana pembacaan buku dari berbagai macam sudut
pandang pemikiran. Metode tadarusan ini bukan hal baru, dalam khazanah
keislaman, terutama dalam dunia
pesantren, cara pembelajaran ini begitu lumrah dan biasa diterapkan di
kalangan santri.
Satu
per satu peserta diskusi membaca, yang lain mendengarkan, walau taksemuanya
membaca, mengingat keterbatasan buku yang belum dicetakulang lagi, sehingga
peserta diskusi mendapatkan fotokopi bab 1, tentang masa kecil Ali
Sastroamidjojo yang dilahirkan dari keluarga sederhana,priyayi biasa, dan
memiliki perhatian yang kuat pada pendidikan, masa kecilnya dilalui dengan
penuh makna dan kebersahajaan, layaknya anak kecil pada masanya, bermain,
berenang, membuat boneka, berkesenian, intinya berbaur dengan masyarakat
sekitar, bahkan mengenal cerita-cerita negara-negara di dunia lewat permainan
‘gambar implengan’. Takayal lagi, faktor empirisme menuntun masa kecil Ali
Sastroamidjojo untuk mau belajar membaca, menulis, hingga masuk sekolah Belanda,
dengan segala kekurangan yang menghadang, terutama masalah bahasa. Takhanya
itu, Ali kecil adalah sosok yang ulet untuk belajar terutama berkaitan dengan
bahasa Jawa dan pelajaran Mengaji-Agama Islam. Paling tidak itulah yang
menghentikan pengaruh asing dari Belanda yang lambatlaun merusak jatidirinya
sebagai pribumi “inlander”, oleh karena mereka acap bersikap diskriminatif
terhadap warga pribumi, sehingga harus berdaya upaya melepaskan rasa rendah
diri. Kendati demikian, cita-cita beliau begitu agung, hingga setelah lulus HIS
setingkat Sekolah Dasar untuk zaman sekarang, beliau ingin berlanjut ke tingkat
selanjutnya, dan bercita-cita untuk bisa sekolah di negeri Belanda mengikuti
sarang kakaknya Sastrowidjono. Luarbiasa.
Memasuki
sesi pembahasan, Hawe Setiawan menegaskan bahwa jarang sekali seorang negarawan
yang menulis, jikalaupun ada pada hari ini, itu taklepas dari kecurigaan massa
pada maksud penulisannya, apakah ia sedang membuat citra diri yang bagus, atau
sesungguhnya ada motif lain. Sangat disayangkan memang,tokoh dan politikus hari
ini lebih mementingkan pencitraan dan perwajahan pada kulit semata, melupakan
esensi jiwa yang terbuka yang semestinya harus dikedepankan. Hal lain yang
menarik dari sosok Mr. Ali Sastroamidjojo bahwa persoalan terbesar bangsa
Indonesia hari ini adalah persoalan ingatan, atau memori kolektif, yang kadang
tergerus oleh kealpaan dan kelalaian akan perkara-perkara remeh, dan sebagai
bangsa kita butuh penguat ingatan tentang agungnya ketulusan jiwa dan semangat
melakukan perubahan dengan terus disegarkan ingatan kita akan pentingnya
nilai-nilai kebangsaan itu. Melalui diskusi buku ini, minimal, kita selaku
individu dan anggota masyarakat mulai kembali melirik teks dan literatur
klasik, bercermin pada masa lalu, dari gagasan Ali Sastroamidjojo sang
nasionalis itu, yang juga Ketua Panitia Konperensi Bandung 1955. Selain itu
Hawe Setiawan menaruh harapan besar pada klub buku ini (AARC) untuk senantiasa
memaknai setiap semangat juang yang ditumbuhkembangkan lewat buku termaksud,
dengan agak berseloroh Hawe ‘memberi’ predikat AARC sebagai sekte bid’ah yang
mengkaji hal-hal usang, tetapi sesungguhnya akan merangsang gairah belajar kita
sekaligus menyebarluaskan kecintaan pada ilmu dan sejarah bangsa. Semoga.
Kang
Agus Omponk (Klopas) kembali bernyanyi hidupkan suasana diskusi dengan
tembang-tembang lawas dari Iwan Fals, berturut-turut lagukan “Bongkar” dan
“Siang, Pelataran SD sebuah Kampung”. Disamping itu pertanyaan-pertanyaan dari
peserta mulai berlesatan, gelisah pada negeri, pada bangsa, kecewa pada
pemimpin negeri, juga turut mempertanyakan kembali tujuan pendidikan hari ini,
yang sedang berlangsung, apakah memang akan terus mengobarkan semangat hidup
berbangsa dan mencari solusi atas setiap problematika sosial yang terjadi. Yang
jelas Hawe Setiawan kembali menandaskan tentang pentingnya kegiatan menulis
untuk melanggengkan ide kita, sebagaimana Mr. Ali Sastroamidjojo yang memiliki energi
luarbiasa untuk menuanggagaskan segala peristiwa yang terjadi di masa lampau,
lantaran dibekali penguasaan bahasa asing dan sastra dunia di atas rata-rata,
hal ini berimplikasi pada bentuk dan pola tutur penulisan autobiografinya yang
lancar dan padat, namun bernas dengan makna, teristimewa pengalaman beliau
tatkala berkontribusi untuk kemajuan Negara Republik Indonesia pada zamannya.
Dari buku tersebut sejatinya pembaca diajak untuk kukuhkan tekad bagi
pelestarian jejak tapak sejarah bangsa yang pada intinya begitu bermanfaat bagi
kelanjutan masa depan kita semua.
Sekadar
berupaya saja, menandingi pertunjukan musik yang gencar digandrungi segala
usia, berharap pembukaan diskusi buku tempo hari yang kemudian kita sering
menyebutnya Tadarusan Buku dapat menjadi intro yang menyenangkan dan wahana
yang membahana untuk aktualisasikan diri kita. Mudah-mudahan begitu.
Bandung,
April 2012
Adew
Habtsa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar