Mari
mundur sejenak ke Uni Soviet ketika mereka baru saja selesai Revolusi Bolshevik
pada tahun 1917. Gedung konser musik pada saat itu diambil alih oleh partai
komunis dan dijadikan tempat rapat petinggi-petinggi sarikat buruh. Mereka
mengatakan bahwa tidak penting itu musik klasik dan segala tetek bengek hasil
karya komponis Rusia masa lampau. Itu adalah kebudayaan borjuis yang harus
dibersihkan. Vladimir Lenin sebagai pemimpin angkat bicara dan mengungkapkan
isi pikirannya. Katanya, “Kita tidak punya kebudayaan sekarang. Nol besar. Maka
itu kita harus mengambil kebudayaan dari masa lalu. Kita tidak usah merubah
karya-karya mereka karena yang kita ubah adalah tujuannya.” Konon, ucapan Lenin
tersebut adalah cikal bakal aliran Realisme Sosialis yang terkenal dari Rusia.
Bahwa segala karya seni harus punya tujuan, harus punya unsur propaganda demi
kebaikan ideologi komunisme itu sendiri.
Jika kita punya pengetahuan sedikit
saja tentang Realisme Sosialis, maka kita bisa langsung menebak kemana arah
dari film Battleship Potemkin karya
Sergei Eisenstein sejak permulaan. Pertama, film ini membukanya dengan kutipan
ucipan Lenin di tahun 1905 tentang keluhuran derajat sebuah revolusi. Kemudian
di bagian pertama film yang berjudul Man
and The Maggots, diceritakan tentang bagaimana para awak kapal memberontak
terhadap para atasannya karena kondisi makanan yang tidak layak. Meski tidak
langsung bicara tentang komunisme, tapi sudah jelas bahwa pemberontakan
tersebut menyimbolkan revolusi kaum proletar pada kaum borjuis. Kemudian film
berdurasi 75 menit tersebut menampilkan kekejaman tentara Tsar lewat adegan
yang terkenal di tangga Odessa. Di tangga tersebut, rakyat ditembaki secara
membabi buta padahal mereka hanya bersimpati pada kematian awak kapal bernama Vakulinchuk.
Jika kamu menganggap bahwa sebuah
karya seni harus dilepaskan dari tujuan-tujuan politik, tentu saja kamu tidak
akan menyukai film Battleship Potemkin
ini. Film tersebut sungguh terasa ingin mengarahkan penonton agar berpihak pada
satu ideologi dan membenci ideologi lainnya. Namun jangan salah, jikapun kamu
ingin mendapatkan suatu keindahan, film ini juga sesungguhnya punya hal
tersebut. Eisenstein, di jamannya yang sudah barang tentu belum punya berbagai kecanggihan
teknologi sinematografi, bisa melakukan montage
dan mise en scene (dua teknik film
yang paling dasar) dengan sempurna. Saking tingginya teknik dari film ini, ia
seringkali disebut-sebut sebagai film terbaik sepanjang sejarah. Suatu pesan
bisa kita petik dari warisan besar Eisenstein tersebut: Jika hendak mengarahkan
logika, terlebih dahulu perhatikan aspek estetika. Jangan-jangan keindahan
sudah merupakan suatu kebenaran yang tidak bisa diganggu-gugat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar