Mungkin sulit bagimu untuk membayangkan bahwa ada
film yang tidak menggunakan aktor ataupun skenario di dalamnya. Bagaimanapun, kita
merasa dua faktor itulah yang menentukan apakah sebuah film menarik atau tidak.
Namun Dziga Vertov di tahun 1928, dalam filmnya yang berjudul The Man with a
Movie Camera, betul-betul melakukannya. Di awal film ia langsung membukanya
dengan kalimat bahwa ini film eksperimen, dilakukan tanpa aktor dan skenario.
Lantas, apa yang dilakukan oleh Vertov?
Dalam filmnya
tersebut, ia hanya melakukan montase antara satu kejadian dengan kejadian lain
yang berlangsung di tiga kota yaitu Moskow, Kiev, dan Odessa. Jika dipaksa
untuk mencari cerita dalam film tersebut, maka kita bisa menunjuk bagaimana
Vertov ingin menyajikan satu fakta tentang keseharian manusia dan interaksinya
dengan mesin-mesin. Jika dipaksa pula untuk mencari siapa tokoh dalam film bisu
itu, kita juga bisa menemukan seorang kameramen yang berjalan kesana kemari
untuk menyoroti satu fenomena demi fenomena.
Yang menjadi
menarik adalah bagaimana Vertov menggunakan sejumlah teknik yang pada masa itu
jarang sekali digunakan dalam satu film sekaligus seperti misalnya slow motion, fast motion, jump cuts, split screens, danstop motion animations. Tentu saja melakukan semua itu mudah jika
mengandalkan teknologi hari ini. Namun pada waktu itu Vertov membuatnya dengan
susah payah dan membutuhkan waktu tiga tahun untuk merampungkan film berdurasi
satu jam saja tersebut. Kerja kerasnya tidak sia-sia, The Man with a Movie Camera menjadi film yang avant garde, atau
berada di garda depan. Jikapun ia ditonton hari ini, film tersebut masih tetap
canggih karena meskipun tanpa cerita dan tanpa aktor, ia tetap mampu menarik
oleh sebab permainan sinematografi yang dahsyat.
Tentu saja akan
semakin menarik jika kita berbicara ideologi di baliknya. Sebagaimana halnya
Sergei Eisenstein yang sudah kita bahas sebelumnya, Vertov juga punya tujuan ke
arah Realisme Sosialis –seni harus punya tujuan dalam menyokong masyarakat
tanpa kelas-. Namun apa yang dilakukan oleh Vertov tidak melalui pesan-pesan
perjuangan kelas yang tersirat dalam film Eisenstein. Vertov, lewat The Man with a Movie Camera, ingin
menyadarkan bahwa film itu harusnya berbentuk dokumenter karena akan jauh lebih
punya arti bagi masyarakat. Ia menolak jenis film-film non-dokumenter yang
bebauan fiksinya terlalu kuat sehingga justru akan menjadi candu bagi
masyarakat.
Apa yang
dilakukan Vertov sebenarnya menjadi sindiran juga bagi kredo seni yang biasa
diusung di Eropa Barat dan Amerika yakni “seni untuk seni”. Katanya, seni itu
baru berhasil jika ia dilepaskan dari tujuan-tujuannya dan hanya fokus pada pencapaian
estetika semata. Oleh sebab itu, di Eropa Barat dan Amerika, kita menemukan
wilayah seni yang notabene “abstrak” dan tidak mengimitasi realita apapun dalam
masyarakat. Bagi orang seperti Vertov, gaya seni seperti itu adalah elitis.
Harusnya seni itu mencerminkan suatu kebenaran yang dapat dilihat oleh
masyarakat tanpa dipenuhi lapisan-lapisan yang multitafsir. Vertov, dalam
filmnya, ingin memperlihatkan suatu fakta tentang masyarakat dan kesehariannya.
Baginya, seni semacam itu adalah seni yang sejati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar