oleh: Yoga ZaraAndritra 1
Ketertarikan saya pada Marxisme sama besarnya dengan ketertarikan saya
pada Eksistensialisme Sartre. Keduanya tidak lantas saya pertentangkan seolah
antara keduanya saling menegasi, seperti kebanyakan orang berpendapat.
Eksistensialisme Sartre saya posisikan sebagai ajaran moral yang membebaskan
sedangkan Marxisme sebagai metode berpikir sekaligus bertindak sehingga
revolusi sosial jadi jelas referennya, tidak gegabah (reaktif, spontan/ tidak
terorganisir sehingga mudah dipatahkan) dan tidak pula tak berpijak. Oleh
karenanya menjadi jelas pula, moral revolusi yang digadang-gadang Sartre melalui
sastera dalam la literature engagee2
seharusnya bermuara ke suatu revolusi sosial yang darinya masyarakat
tanpa kelas terwujud, bukan ke arah revolusi sunyi sendirian itu.
Namun, ketertarikan saya terhadap pemikiran Marx tidak lantas membuat
saya alpa membaca Sukarno. Sebab rupanya Marxisme sudah inheren dalam ajaran
Sukarno, seperti bisa kita lihat dalam artikelnya berjudul “Memperingati 50 Tahun Wafatnya Karl Marx”
yang dimuat di koran Pikiran Rakyat tahun 1933 dan dihimpun dalam bukunya
berjudul di Bawah Bendera Revolusi
jilid pertama. Pun tulisan ini adalah ikhtiar penulis memahami pokok-pokok
pikiran Sukarno dalam 5 artikel korannya yang dihimpun ke dalam bukunya “di Bawah Bendera Revolusi (disingkat DBR)”.
5 artikel itu diantaranya adalah:
- Jawab Saya pada Saudara Hatta (DBR Jilid I, hlm. 207)
- Sekali lagi: Bukan “Jangan Banyak Bicara, Bekerjalah!”, Tetapi “Banyak Bicara, Banyak Bekerjalah!” (DBR Jilid I, hlm. 215)
- Memperingati 50 Tahun Wafatnya Karl Marx (DBR Jilid I, hlm. 219)
- Reform Actie dan Doels Actie (DBR Jilid I, hlm. 223)
- Bolehkah Syarikat Sekerja Berpolitik? (DBR Jilid I, hlm. 227)
Terutama pokok pikiran yang ia eksplisitkan dalam artikelnya berjudul “Jawab Saya pada Saudara Hatta”. Di
artikel ini menjadi jelaslah posisi politik Sukarno vis a vis Belanda, yaitu nasionalist
non-cooperator. Sebagaimana ia
kemukakakan sendiri “Perkara non-koperasi bukanlah perkara perdjoangan sahadja,
perkara non-koperasi adalah perkara azas perdjoangan. Azas perdjoangan inilah
yang harus kita pegang teguh sebisa-bisanja. Azas perdjoangan inilah yang tidak
mengizinkan seorang nationalist non cooperator pergi ke Den Hag”3.
Dalam pandangan Sukarno keterwakilan Hindia Belanda di parlemen
Belanda (di Den Hag) bisa dibilang adalah suatu kemunduran perdjoangan. Sebab
dengan begitu, artinya kita tengah mengafirmasi kelemahan bangsa sendiri dan
kealpaan untuk menyusun kekuatan (membangun Gedong Kemerdekaan). Dan apa yang
dilakukan Hatta hal serupa itu. Meski Sukarno sendiri tidak sampai menyebut
Hatta sebagai telah menyimpang dari posisi politik yang nasionalist non cooperator. Sukarno menyebut Hatta sebagai nasionalist non cooperator yang sudah
tidak 100 % lagi atau nationalist non
cooperator yang sudah tidak prinsipil lagi. Karena apa yang akan dilakukan
Hatta memilih jalur perdjoangan parlementer di Den Hag bukanlah taktik yang
terpaksa dilakukan karena situasi “kepepet” atau situasi mandek yang membuat
perdjoangan tidak akan lanjut jika tak memilih jalur itu. Ketidak-kepepet-an
situasi itulah yang menjadi dasar Sukarno menyebut Hatta sebagai nationalist non cooperator yang sudah
tidak prisipil lagi. Sebab taktik macam itu hanya boleh dilakukan dalam suasana
“kepepet”.
Artinya pada titik ini, Soekarno hendak bilang, ada hal yang lebih
penting dari taktik yang hendak dipilih Hatta. Yaitu membangun kekuatan diri
sendiri (bangsa sendiri)/menyusun gedung kemerdekaan secara jasmani maupun
rohani. Dan non koperasi itu dijalankan terutama sekali untuk menyusun
rohaninya gedung kemerdekaan kita, untuk revolutionaire
lading masyarakat kita. Begitulah agaknya, dalam pandangan Sukarno,
sendi-sendi perdjoangan itu mesti didahului dengan menyusun kekuatan sendiri
secara mantap.
Perdjoangan itu Menuntut Bukan
Meminta-minta bak Pengemis
Posisi radikal Sukarno tidak hanya tersirat dalam artikel yang
ditulisnya merespon Hatta, melainkan juga tersirat dalam artikelnya merespon
argumentasi tuan S yang menolak partisipasi kaum buruh di ranah politik,
“Perkumpulan sekerdja harus terlepas dari politik. Pun ini ada perlunja supaja
permintaan perobahan nasib pada kaum madjikan tidak lantas kena tjap “politik”,
sehingga onderhandelingen tertutup.
Perlawanan yang sehat sekalipun, akan kurang harganja djikalau ada alasan bisa
dikenakan tuduhan politik jang mendjadi dasar”4.
Asumsi yang mencita-citakan harmoni antara kaum modal dengan kaum
buruh adalah ideologi yang dilesatkan oleh kaum borjuis kepada kaum buruh. Agar
kaum buruh tidak melakukan apa-apa dan membiarkan dirinya dieksploitasi
habis-habisan oleh kaum modal demi kesejahteraan kaum modal yang segelintir.
Tak heran jika pemikiran yang lahir adalah pemikiran anti politik. Yang pada
gilirannya menumbuhkembangkan mentalitas pengemis. Bahwa biarlah politik
dipegang oleh kaum modal saja tidak oleh kaum buruh. Konsekuensi dari
dipegangnya kendali politik oleh kaum modal adalah kaum buruh akan tetap
terpuruk di sudut-sudut kamarb kerja mereka, dan satu-satunya kerja membebaskan
adalah berdoa seraya berharap doanya dikabulkan oleh majikan.
Wajar jika kaum buruh tak punya posisi tawar di mata majikan, meski
secara jumlah kaum buruh lebih banyak dari kaum modal. Karena kekuatan kaum
buruh diisolir dalam rantai ideologi palsu yang termanifestasi dalam ajaran
tentang harmoni antara kaum modal dengan kaum buruh, ajaran tentang
“berpolitik” akan mematahkan ikhtiar doa kaum buruh kepada kaum modal dikabul.
Oleh karena itu segera buang jauh-jauh ajaran yang menipu itu. Sukarno bilang
ganti ajaran yang salah itu dengan ajaran
akal dialektik. Di mana antara modal dan kerja selalu ada tabrakan
kebutuhan. Dan kaum buruh mestinya mengambil peranan yang revolusioner.
Kaum buruh mesti mengorganisir diri secara mantap, masuk ke berbagai
ranah perdjoangan, tak terkecuali politik, seperti yang tertera dalam keputusan
kongres buruh di Surabaya tanggal 4-7 Mei 1933: “Mempertahankan dan memperbaiki
nasib kaum Buruh Indonesia di segala lapangan (baik sosial, ekonomi, maupun
politik)”5. Dengan masuknya
kaum buruh ke ranah perdjoangan politik kesempatan mewujudkan keputusan penting
lainnya yang dihasilkan kongres yaitu “Menuntut
cara menghasilkan barang-barang secara sosialistis (menggunakan modus produksi
yang sosialistis)”6 menjadi terbuka lebar besar-besar.
Menjadi teranglah bahwa perdjoangan kaum buruh itu bukan meminta-minta
/mengemis-ngemis pada kaum modal yang bila dikabul syukur dan bila tidak diam
saja, perdjoangan itu mesti menuntut, yang bila disepakati berarti serikat
buruh amatlah kuat vis a vis kaum
modal dan bila tidak disepakati berarti kaum buruh masih kalah kuat berhadapan
dengan powernya kaum majikan, maka kaum buruh mesti berbenah diri bukan malah
diam saja. Dan pemikiran anti politik adalah pemikiran yang menyamarkan
perdjoangan menuntut hak kaum buruh, mestilah dienyahkan dari akal budi kaum
buruh.
Berdjoang untuk Masa Kini dan
Masa Depan
Ada dua golongan pergerakan di Indonesia yang disindir oleh Soekarno
dalam artikelnya berjudul Reform Actie
dan Doels Actie. Reform Actie, tipe gerakan macam ini menurut Soekarno
adalah tipe gerakan yang beraksi untuk kepentingan saat ini saja (jangka
pendek), seperti aksi menuntut turunnya pajak dan tambahnya sekolahan. Turunnya
pajak untuk turunnya pajak semata dan tambahnya sekolah untuk tambahnya sekolah
semata. Tidak mau mementingkan aksi maksud tertinggi seperti aksi Indonesia
Merdeka dan tumbangnya tatanan dunia yang Kapitalistik. Yang kedua, Doels
Actie, adalah pergerakan yang hanya mementingkan aksi besar yaitu Indonesia
Merdeka dan tumbangnya tatanan dunia yang Kapitalistik seraya tidak mau tau
aksi kecil-kecilan seperti yang dikerjakan kaum reformis.
Tentang Doels Actie yang disindir Sukarno sebagai gerakan yang maunya
lompat saja pada situasi ketumbangan imperialisme-kapitalisme tanpa hirau pada
pentingnya upaya kecil-kecilan mendarahdagingkan kesadaran perlawanan tanpa
kenal damai pada massa, rupanya senada dengan sub judul dalam bukunya Martin
Suryajaya “Materialisme Dialektis” berjudul Moral Revolusi dan Komunisme
Surgawi.
Bahwa gerakan yang bercorak Doels
Actie (dalam bahasa Martin, Kaum
Otonomis) biasanya gerakan yang sukanya mengisolir diri di tempat yang jauh
dari riuh rendah, dan carut marutnya tatanan sosial, ekonomi dan politik.
Mereka mengambil posisi aman di tempat terjauh yang tidak ada orang mau
mengusik keasikannya bergumul dengan cita-cita adiluhung yang mereka yakini.
Sebut saja mereka terobsesi pada cita-cita murni tanpa mau menapaki langkah demi
langkah perdjoangan kecil-kecilan masuk ke gelanggang perdjoangan politik dan
ekonomi yang ada di sekeliling mereka.
Di gelanggang politik, mereka adalah sekelompok orang yang sukanya
menutup mata saja pada situasi realpolitik
yang ada. Karena bagi mereka,
perdjoangan politik adalah sebentuk kompromi dengan kaum borjuis yang menguasai
negara. Total distrust pada politik adalah satu-satunya ideologi politik yang
benar buat mereka. Seperti kata Martin, Marx menyebut mereka sedang
mengoprasikan satu mode indiferentisme
politik: “Demikian telah jelas bahwa tendensi kaum otonomis kontemporer
untuk mereduksi ekonomi ke politik pada akhirnya justru bermuara pada
indiferentisme politik, pada sikap apolitis.
Sebabnya jelas : begitu ekonomi dibaca secara politis tanpa melihat
materialitas yang mendasarinya namun sekaligus politik riil ditolak karena
penuh representasi, maka kesimpulannya tak lain adalah sembunyi ke dalam
imajinasi politik yang akan berakhir dalam politik imajinasi, dalam politik
sebagai hobi dan kenalakalan remaja”7.
Dalam konteks mewujudkan perdjoangan masyarakat yang tanpa kelas, misalnya
di ranah gagasan mereka telah mendistorsi ajaran Marx tentang diktator
proletariat. Negri berargumen, dengan menapaki jalan sosialisme sesungguhnya
kita sedang mengafirmasi kapitalisme juga, kapitalisme monopoli-negara. Oleh
karenanya revolusi sosialis dan diktator proletariat mesti dilompati saja dan
kita langsung membentuk komunisme. Caranya dengan memplesetkan ajaran Marx
tentang pembebesan kerja jadi pembebasan
dari kerja. Karena kerja pula dianggap representasi dari kapitalisme.
Karena banyak menolak riil situasi akhirnya mereka tak melakukan apa-apa untuk
mengupayakan emansipasi secara material, emansipasi bagi mereka hanya sebatas
afirmasi diri.
Mengenai Reform Doels, saya akan kutipkan kalimat Sukarno di akhir
artikelnya ini: “Dan politik reformisme harus kita enyahkan ke dalam kabutnya
ketiadaan, kita usir ke dalam liang kuburnya kematian melalui kumidi bodor
ketawaan rakyat”8.
Selanjutnya, apa-apa yang belum dikemukakan di tulisan saya ini mari
kita diskusikan sama-sama di tadarusan ini.
Yoga ZaraAndritra, Penulis adalah mahasiswa Aqidah Filsafat
yang baru menyelesaikan KKM-nya di Sukabumi sambil malas-malasan. Bergiat di Asian African Reading Club. Juga sibuk menulis buat blognya (www.blogoga.blogspot.com)
Catatan Kaki:
- Artikel singkat ini disampaikan pada Tadarus buku di Bawah Bendera Revolusi sesi 8, bertempat di Museum KAA, yang diselenggarakan oleh Asian African Reading Club.
- la literature engagee adalah karya tulis Jean-Paul Sartre yang memuat gagasan tentang sastera yang mesti mendorong pada perubahan sosial atau memiliki tanggung jawab sosial. Ulasan tentang ini penulis peroleh dari salah satu makalah (yang termuat dalam buku berjudul Filsafat Eksistensialisme Jean-Paul Sartre (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2011)) yang ditulis oleh J. Supriono “La Literature Engagee : Menggagas Sastera yang Membebaskan”.
- DBR jilid I hlm. 213
- DBR jilid I hlm. 228
- DBR jilid I hlm. 227
- DBR jilid I hlm. 227
- Martin Suryajaya, Materialisme Dialektis. Kajian Tentang Marxisme dan Filsafat Kontemporer (Yogyakarta: Resist Book, 2012), hlm. 303-304.
- 8. DBR jilid I hlm. 226
Tidak ada komentar:
Posting Komentar