Ber-Tadarus Bersama Mao Ze Dong di Museum KAA


Bandung, 14 Maret 2018

“Ber-Tadarus Bersama Mao Ze Dong di Museum KAA”



Tadarus kali ini sungguh spesial dengan hadirnya tokoh budayawan Tionghoa yang memiliki pengaruh kuat dalam kesusastraan Indonesia, ialah Soeria Disastra. 
Siapa yang tak mengenal beliau selaku budayawan yang peduli dan mampu memadukan dua akar budaya; Indonesia dan Tionghoa. Di dunia kesusastraan beliau sangat mahir dalam kepenulisan baik tulisan-tulisan yang telah dia terjemahkan dari bahasa Mandarin ke bahasa Indonesia, dan juga sumbangsihnya dalam kesusastraan bahasa Sunda.

Rebo-an kali ini kami bertadarus buku Kumpulan Sajak-sajak Mao Ze Dong. Setelah sebelumnya kami meng-khatam-kan buku Salju & Nyanyian Bunga Mei karya Mao Ze Dong dengan penerjemahnya Soeria Disastra sendiri, dan beliau-lah yang akan membahas kedua buku tersebut.
Berbicara puisi, berbicara kemanusiaan”, itulah kata pertama yang beliau lontarkan ketika membuka pembahasannya. 

Memang, dalam karya sebuah puisi tentunya memiliki nilai kemanusiaan yang tak dapat dipisahkan. Puisi bagi Soeria adalah sebuah dunia khayali yang diciptakan oleh penyair. Di dalam dunia khayali ciptaan penyair itu terdapat imaji/citraan dan alam artistik dengan suasana puitis. Soeria pun menegaskan bahwa, “Puisi adalah alam artistik penyair”.

Dalam pembahasan buku karya Mao Ze Dong beliau mengatakan bahwa, “Sosok Mao Ze Dong sangat mahir dalam menguasai puisi klasik, dan sangat baik dalam penguasaan nilai sastranya. Sehingga ketika dia membuat puisi, terkadang dia menyadur beberapa atau bahkan hanya satu kata dari puisi klasik. Malahan dalam pidatonya dia selalu mengutip beberapa kata-kata dari penyair-penyair hebat Tiongkok. Dapat dikatakan dia menguasai puisi-puisi klasik di dalam kepalanya. Dengan menggunakan gaya puisi yang ketat-terikat. Mao Ze Dong juga gemar membaca buku filsafat disamping dia membaca puisi klasik. Mao Ze Dong itu meskipun dia menggunakan macam puisi yang sangat ketat-terikat, tetapi dia dianggap oleh sastrawan Tiongkok sebagai sosok pembaharuan, karena walaupun dia menciptakan puisi gaya lama, tetapi dia membuatnya dengan gaya baru.”

Puncak kebudayaan kesusastraan puisi Tiongkok ada pada dinasti Tang dan Sung, karena hingga kini dapat dikatakan sukar melampaui prestasi atau kemampuan menulis puisi oleh generasi sekarang. Banyak sastrawan yang memahami aturan baku dan gaya kepenulisaan puisi klasik Tiongkok, tetapi tidak bisa melampauinya. Dapat dikatakan bahwa Mao Ze Dong memiliki ide dan pikiran yang mampu melampaui prestasi tersebut. Itu mengapa kita sependapat bahwa Mao Ze Dong merupakan seorang yang jenius.

Dalam pembahasan buku terjemahan Kumpulan Sajak-sajak Mao Ze Dong  ini, Soeria Disastra membahas 5 judul puisi, diantaranya: Salju, Nyanyian Bunga Mei, Menjawab Li Shu Yi, Perpisahan, Atas Bantal dan Nyanyian Kodok

Dalam pembahasannya beliau mengutarakan, “Membaca sebuah karya puisi berarti kita memasuki dunia khayali itu, menghayati citraan yang bermakna dan mengandung rasa atau emosi itu; bersamaan dengan itu kita perlu tenang, dengan hati yang terbuka membaca, mengikuti, merasakan, menyelami dan mencoba menghayati apa-apa yang tertulis dan terhidang dalam karya puisi. Kita harus berusaha menjelma menjadi si penyair yang tengah berada dalam dunia khayali yang diciptakannya itu.”

Dunia khayali ciptaan penyair itu biasanya tidak gamblang maknanya dalam artian tidak segalanya jelas diceritakan apa sebenarnya yang mau disampaikannya. Karena itu bukan tugas atau misi sebuah puisi. Puisi yang menggambarkan segala-galanya dengan gamblang, akan membuatnya kehilangan daya tariknya, kehilangan daya sihirnya.

Hal tersebut sebenarnya dapat mejawab sisi teknis kesusastraan pada polemik yang terjadi pada isu puisi esai, pro-kontra, yang sedang menjadi ”kopi hangat” dikalangan sastrawan dan akademisi, maupun pemerhati yang melihat hal tersebut sebagai fenomena yang sangat jijik-menarik untuk diperbincangkan. Memang bagaimanapun jika dari sisi teknis saja dapat dijawab, tidak pada ranah “skandal”, “proyek”, puisi esai itu sendiri. Sehingga menimbulkan pertanyaan, apakah perlu catatan kaki pada teks puisi?

Kembali pada pengertian bahwa; Puisi yang gamblang dan terus terang adalah tugas prosa, prosa yang ilmiah dapat dikatakan sebuah esai. Pada tahap pengertian tersebut berarti pembacalah yang harus berusaha dengan kekuatan indra dan kekuatan rasanya, imajinasinya untuk mengeksplorasi “alam artistik” itu, berusaha menghayati dan menikmatinya seraya mendapat pencerahan tentang keindahan dan nilai-nilai kemanusiaan. 

Namun jika usaha pembaca untuk menyelami dan menghayati ”alam artistik” itu tidak selalu, malah sering tidak tercapai, tetapi itulah daya magis puisi, keremang-remangan dunia puisi adalah daya tarik dan keindahan puisi, seperti kita melihat keindahan alam di balik kabut tipis. Itulah maqam dan martabat sebuah puisi. Karena hal tersebut, pembaca dipaksa, dibujuk untuk menaikkan taraf pemikirannya pada derajat martabat sebuah puisi itu sendiri, walau bagaimanapun karya puisi sering multi interpretasi, tergantung kepada pembaca yang berbeda-beda dalam kemampuan, latar-belakang pendidikan, kebudayaan, pengalaman artistik dan lain-lain.

Seperti yang dikatakan oleh Soeria Disastra, “Membaca puisi kita berusaha memasuki dunia penyair. Pikiran kita diajak menjelajahi sebuah sejarah yang dituliskan penyair, yang diramu oleh realita. Karena puisi yang bagus adalah puisi yang memberi kejutan, memberi ketakjuban, memberi rasa indah yang membatin dan menancap dalam ingatan, baik karena dunia khayali yang mempesona dan majis, atau arena jiwa, rasa atau pikiran yang dialirkan dan disalurkan begitu memberi pencerahan.”

Dari pernyataan beliau dapat dikatakan, dalam menulis puisi, penyair mencoba menciptakan sebuah suasana, sebuah alam artistik, sebuah citraan dunia khayali yang unik, dunia yang diciptakan oleh sang penyair dengan curahan jiwa, rasa dan pikiran serta dengan gaya imajinasi yang khas milik penyair. Tantangannya adalah berhasilkah, atau seberapa jauhkah puisi ciptaannya itu mengekspresikan atau menyampaikan maksud jiwa, rasa dan pikirannya tersebut dapat diterka oleh pembaca.

Karena pada dua buku karya Mao Ze Dong disertai dengan catatan kaki, itupun bukan bagian dari sebuah puisi aslinya. Karena pada kedua puisi terjemahan tersebut, disertai dengan catatan kaki yang bermaksud untuk menjelaskan megenai latar-belakang, puisi, dan tokoh yang terdapat pada teks puisi yang ditujukan pada kita sebagai awam agar mampu menangkap suasana puisi tersebut tanpa menghilangkan gambarannya, maknanya, oleh sebab itu penerjemah mencoba mendorong pembaca agar masuk ke dalam alam artistik penyair. Bagaimanapun “Catatan kaki adalah sebuah keterpaksaan”, menurut Soeria Disastra.

Dalam buku tersebut Mao Ze Dong menghidupkan legenda-legenda, mitologi, dan sejarah bangsanya, yang diramu dengan begitu apiknya menjadi sebuah karya yang luar biasa, dimana dia memadukan romantisme pribadi dan romantisme sejarah bangsanya, yang menjadikan realisme tersebut berpadu pada puisinya. Dalam pembahasan buku puisi terjemahan Kumpulan Sajak-sajak Mao Ze Dong  ini, Soeria Disastra membahas 5 judul puisi, diantaranya:

1. Salju

Pada puisi ini Mao mula-mula hanya menggambarkan pemandangannya. Dimana dia mengajak kita memasuki dunia imajinya yang diceritakan bahwa negeri Tiongkok itu sangat luas dan pemandangannya indah. Dengan semangat dia menggambarkan dia adalah jiwa yang besar, seolah-olah dia mampu menandingi kedahsyatan citraan gunung-gunung, dan dia menantang langit beradu tinggi sambil berseru. Bagaimana dia mampu menggambarkan realis-realita yang dipadu dengan gambaran imajinya, sehingga dia berhasil menimbulkan kesan bahwa Tiongkok adalah negeri yang begitu indah. 

Dia melihat negeri Tiogkok adalah dirinya, tumpah darahnya, tanah airnya yag begitu indah dan megah. Dia juga merasakan bahwa zaman dirinya, zaman modern ini rakyatnya, bangsanya itu sedang bangkit dan dalam perjuangannya itu adalah perjuangan yang sangat luar biasa, sehingga dia merespon bahwa dia dan bangsanya yang sekarang adalah bangsa yang besar. Maka dia ingin mengubah nasib bangsanya. 

Dia merasa bahwa generasinya adalah generasi yang sedang berjuang dan besar. Sehingga pikirannya masuk ke dalam sejarah. Dia mengatakan bahwa dulu ada kaisar-kaisar yang sangat luar biasa, diantaranya kaisar Qai Shi dan Han Wu meraka adalah pembentuk kaisar, dan dia beranggapan bahwa mereka itu adalah orang yang kurang berudaya. Disebutkan juga kaisar Tang dan Song juga masih kurang berbakat bersusastra. Tak luput putra kesayangan langit Gengkishan yang serang pahlawan yang memimpin bangsa utara untuk menyerang bangsa Tiogkok selatan, Asia, dan hinggga ke Eropa, tetapi dalam biji mata Mao, Gengkishan hanya mampu menarik busur memanah angsa saja, menggambarkan kesombongan dan keangkuhan Mao. 

Dia mengatakan bahwa semua itu telah berlalu. Memperlihatkan Kepercayaan diri dan merasa bangsanya besar. Tergambar sosok patriotisme dan cinta tanah air untuk membangun bangsanya. Dalam puisi ini pembaca diajak kedalam suatu dunia khayalan dan diramu dengan realita.

……..

Salju
Dalam dendang qi yuan chun

Pemadangan negeri utara,
ribuan mil berselimut es beku,
puluhan ribu mil beterbangan salju.
memandang ke utara dan ke selatan Benteng Tiongkok,
hanya bentangan luas tidak bertepi;
di hulu di hilir sungai besar
mendadak sontak gelora ombak terhenti.
Gunung-gunung bagai ular putih meliuk menari,
dataran tinggi bagai gajah lilin putih berlari,
ingin bertanding tinggi dengan langit.
begitu lagit cerah,
lihatlah itu gaun merah dan jubah putih,
alangkah indah alangkah megah.

sungai dan gunung tumpah darah begitu indah,
menambat hati banyak kesatria hormat bersoja.
sayangkan kaisar Qin Shi dan HanWu,
masih kurang berbudaya;
kaisar Tang dan Song masih kurang bakat bersusastra.
putra kesayangan langit pada jamannya,
Gengkishan,
cuma bisa menarik busur memanah angsa.
semua itu telah berlalu,
yang terhitung manusia utama sejati,
tatap sajalah masa kini.

Februari, 1936


2. Nyanyian Bunga Mei.

Bunga Mei adalah nama bunga, bunga Mei. Puisi adalah suatu simbolik yang mencerminkan suatu sifat kemanusiaan yang baik, yang rendah hati, dan egaliter. Puisi ini mengajarkan kita untuk menjadi pribadi yang rendah hati, yang berjiwa damai. Bagaimana puisi ini mampu meresap ketubuh alam artistik pembaca. Dapat dikatakan sisi manusiawi Mao sangat muncul dari teks puisi ini.

……..

Nyanyian Bunga Mei
dalam dendang bu shuan zi

hujan dan angin mengantar musim semi pulang
tebaran salju menyambut musim semi datang.
tebing tinggi telah terbungkus es beku,
masih ada disana setangkai buga ayu.
meski ayu idak ia berebut berlomba,
cuma membawa warta musim semi sudah tiba.
sewaku kembang-kembang gunung mekar semarak,
senyumlah dia di tengah rumpun bebunga.

Desember, 1961


3. Menjawab Li Shu Yi

Li Shu Yi adalah istri dari teman seperjuangan Mao. Temannya ini gugur dalam revolusi. Puisi ini merupakan sebuah puisi cinta, puisi yang sangat romantis, dan puisi ini adalah balasan untuk Li Shu Yi, yang mengirimkan puisi yang telah berpuluh tahun ditulisnya untuk mengenang suamiya, dan puisi itu diberikan kepada Mao. Mao pun membalas puisi tersebut melaui puisi berjudul “Menjawab Li Shu Yi”. 

Di dalam teks puisi ini Mao menghidupkan legenda-legenda bangsanya dipadukan dengan sejarah bangsanya yang menaklukan musuh-musuhnya. Ini merupakan karya imajinasi Mao yang memanfaatkan mitologi untuk menggambarkan kesedihan yang merindukan kekasihnya. Mao mampu menjalin romantisme pribadi dengan romantisme bangsanya.

……..

Menjawab Li Shu Yi
dalam dendang die lian hua

aku kehilangan yang kebanggaanku dan kau kehilangan liu*
yang liu berayun ringan terbang ke langit lapis Sembilan.
menyapa Wu Gang dan bertanya apa yang dia punya,
Wu Gang pun meghidangkan arak bunga gui*

Chang E* yang kesepian merentang gaun panjang,
menari di angkasa raya untuk arwah-arwah setia.
tiba-tiba terbetik warta di bumi manusia harimau telah ditaklukan,
curah airmata pun mendadak menjadi tumpahan hujan.

11 Mei, 1957


4. Perpisahan

Puisi ini menggambarkan perpisahan, kesedihan, kesepian. Tetapi ketetapan hatinya, tekadnya sangat kuat yang digambarkan seperti gunung Kunlun yang membelah tebing. Juga menggambarkan sisi romantisme Mao.

……..

Perpisahan
dalam dendang he xin lang

melambai tangan berangkat pergi.
berhadapan lebih perih tak terperi,
curahkan lagi pedih hati.
mata dan alis bagai memendam dendam,
air mata panas jatuh terbendung masih.
tahu salah paham dalam surat-surat lalu.
mega bergelora lewat depan mata,
kau dan aku kawan sehati di bumi manusia.
manusia sakit, tahukah langit?

pagi ini es tebal menutupi jalan pintu kota timur,
bulan sabit tengah langit berkelana sebatang kara.
putuskanlah tali rasa rindu dendam.
kuatkan hati seperti Gunung Kunlun membelah tebing,
juga seperti badai menyapu jagat.*
kembali berpasangan mengepak sayap,
bersama mega terbang melesat.

Desember, 1923


5. Atas Bantal

Menceritakan keresahan Mao yang sedang rindu kekasihnya.yang telah meninggal. Puisi ini sangat realistis-realismenya.

……..

Atas Bantal
dalam dendang yu mei ren

rindu hati bertubi atas bantal begitu rupa,
bagai sungai dan segera bergelora.
malam panjang tak kunjung terang,
menyampai baju duduk berdiri menghitung dingin bintang.

fajar tiba seribu gundah hilang sirna,
tinggal bayangan kekasih terpisah.
bulan sabit beringsut ke sebelah barat,
di saat begini tidak kuasa tercurah air mata.

1921


6. Nyanyian Kodok

Dengan gaya personifikasi, fabel. Menceritakan bahwa Mao remaja yang merupakan anak seorang petani pergi bersekolah.  Walaupun dia tinggal di kampung dia melahap banyak buku hingga habis. Mao pergi bersekolah dengan pakaian yang tak layak diantara teman-teman kotanya, yang membuat pada awalya dia merasa inferior. Tetapi karena dia penuh tekad dan percaya diri sehubung dengan ilmu pengetahuannya yang didapat dari membaca buku-buku, menjadikannya sosok pemimpin yang disegani diantara teman-temannya. Mao mempunya cita-cita dan tekad mengubah nasib bangsanya. Walaupun dalam situasi dia berada dikalangan bawah. Tergambar jelas kepercayaan diri Mao serta keangkuhannya dalam puisi ini.

……..

Nyanyian Kodok*
(dalam bentuk qi gu)

duduk sendiri di kolam bagai harimau bertahta,
semedi di bawah teduh pohon hijau.
musim semi tiba aku tidak dulu berkata,
dan binatang mana berani-berani buka suara.

1905


……..


Lalu Soeria Disastra menutup pembahasan ini dengan berkata;


“Imajinasi dalam menciptakan imaji-imaji dan alam artistik yang kaya dan bervariasi, kadang-kadang mendatangkan kejutan tak disangka-sangka, bebas dan berani, dan malah liar dengan menggunakan teknik dan gaya seperti personifikasi, perumpamaan, perbandingan, hiperbola dan memanfaatkan mitologi, fabel, legenda, sejarah, dan lain-lain. Akan tetapi bagaimanapun bebas, berani dan liarnya imajinasi penyair, haruslah mengikuti logika umum, dan ada keterkaitan dengan kehidupan manusia yang lumrah. Empati dan simpati kepada jiwa manusia, nasib manusia, empati dan simpati kepada masyarakat manusia, bangsa dan negara.

Keduanya merupakan syarat mutlak keuniversalan karya puisi, sifat kemasyarakatan puisi yang membuatnya diterima oleh masyarakat dan sejarah. Itulah nilai dan keindahan yang membuat hidup langgengnya puisi dan karya puisi”


.........


Tadarusan rutin buku Asian-African Reading Club masih akan kembali bergulir dengan buku yang sama, “Kumpulan Sajak-sajak Mao Ze Dong”, pada hari Rabu, 21 Maret 2018 di Ruang Sekretariat Museum KAA,  dengan Hawe Setiawan sebagai pembahasnya, Insyaallah.
Adapun beberapa dokumentasi pada tadarus AARC yang berhasil diabadikan. Karena ada slogan “Tidak ada dalam foto, tidak ada dalam sejarah”.
Terimakasih. Bismillah. GodSpeed!



Galih Permana



Narahubung:

E-mail : asianafrican8@gmail.com
Instagram : @asian_african_reading_club
Facebook : Asian African Reading Club














aarc

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Instagram