Di
jagad Twitter, ada seseorang dengan nama akun @hafidz_ary yang barangkali bisa
menjadi representasi xenophobia[2]
kontemporer. Ia menganggap orang di luar dirinya semisal orang non-muslim,
orang Barat, orang sekuler, orang liberal, hingga orang yang bukan dari partai
PKS, sebagai “orang asing”. Sebagaimana modus seorang xenophobic sejak ribuan tahun silam, ia berusaha rasional dalam
melandasi setiap kebenciannya pada yang liyan.
Namun dalam diri seorang xenophobic
terang saja kerap ada cara berpikir yang sesungguhnya “melompat terlalu jauh”.
Misalnya, sebuah kasus korupsi yang melanda partai non-PKS ia anggap sebagai
“kegagalan kaum sekuler dalam mengurus negeri”, runtuhnya Presiden Mursi di
Mesir ia anggap sebagai “Perang Agama”, dan perjuangan pahlawan Nusantara dalam
melawan Belanda ia sebut sebagai “Islam vs Kristen”.
Rasisme
sering dianggap sebagai bagian dari xenophobia
tapi dalam konteks yang lebih spesifik yakni ras. Namun apa yang dimaksud
sebagai “ras” ini juga pada akhirnya tidak terlalu jelas. Ras tidak bisa hanya
kita identikkan dengan ciri-ciri fisik, melainkan juga teritori kebudayaan,
bahasa, agama, geografis, serta afiliasi sosial. Dikotomi ras ini tidak selalu
terberi melainkan ada juga yang dikelompokkan oleh kekuasaan. Berdasarkan
definisi yang sedemikian luas cakupannya tersebut, barangkali dalam diri kita
juga terdapat potensi rasisme, potensi xenophobic,
dan potensi menjadi seorang @hafidz_ary. Sebagai contoh, dalam institusi yang
dianggap rasional semisal kampus, tidak jarang mereka ingin mengidentifikasi
sebagai yang superior dengan cara membedakan dirinya dengan orang di luar
kampus. Caranya misal dengan melakukan dikotomi bahasa. Bahasa kampus selalu
berbeda, eksklusif, dan menegaskan ada suatu perbedaan dengan yang liyan.
Rasisme bisa jadi merupakan potensi alamiah setiap manusia, tapi juga potensi tersebut dibesar-besarkan oleh argumen rasional yang secara paradoks malah menunjukkan suatu kemalasan berfikir. Dalam buku berjudul Rasisme: Sejarah Singkat karya George M. Frederickson, sejarah rasisme dapat ditarik mula-mula ke antisemitisme di Abad Pertengahan. Pada masa wabah penyakit besar di Eropa, ribuan orang Yahudi dibantai oleh penguasa Kristen karena ada isu yang menghembus bahwa wabah terjadi karena mereka telah meracuni mata air. Diperkuat dengan dimensi keriligiusan bahwa orang-orang Yahudi ini menolak status Yesus sebagai raja mereka, maka rasisme seolah menjadi hal yang dibenarkan. Kemalasan berfikir terletak pada kenyataan bahwa pembantaian tersebut tidak berdasarkan suatu bukti sahih kecuali lewat desas desus belaka dan fakta sosial bahwa orang-orang Kristen memang tidak suka pada orang-orang Yahudi karena profesi mereka yang sebagian besar adalah tengkulak.
Rasisme
terhadap orang kulit hitam seringkali dikategorikan sebagai “rasisme modern”
karena legitimasinya dimulai sejak para ilmuwan Abad Pertengahan mulai
melakukan klasifikasi terhadap manusia. Johann Friedrich Blumenbach pada abad
ke-16 menyebutkan bahwa ras Kaukasoid adalah ras manusia pertama yang darinya
ras-ras lain mengalami penyimpangan atau kemerosotan –yang lain ini adalah
Mongolia, Etiopia, Amerika dan Melayu-. Georges-Louis de Buffon beranggapan
bahwa orang-orang Eropa secara intelektual lebih unggul daripada orang-orang
Afrika. Ia mengasalkan kecerdikan orang-orang Eropa dari kenyataan bahwa mereka
berhasil bertahan hidup di lahan yang tandus. Sedangkan orang Afrika, yang dipermudah
oleh lingkungan, malah tumbuh menjadi ras yang sederhana dan bodoh.
Berawal
dari prasangka-prasangka masyarakat, rasisme kemudian bergerak menjadi legal
dan terinstitusionalisasi. Di Amerika Serikat bagian Selatan, ada kebijakan Jim
Crow yang terbentang antara tahun 1876 hingga 1965. Isinya adalah pemisahan
tegas fasilitas publik untuk kulit putih dan kulit hitam mulai dari sekolah,
transportasi, kamar ganti, restoran, hingga air minum. Hal serupa juga terjadi
di Afrika Selatan yang belum genap dua puluh tahun lepas dari politik apartheid[3].
Sebelum
masuk membicarakan Nelson Mandela, menarik untuk terlebih dahulu melihat
perjuangan Malcolm X di Amerika Serikat. Malcolm X menolak diskriminasi justru
dengan mempertegas perbedaan. Meski kita tidak bisa mengabaikan kontribusi
Malcolm X dalam penghapusan segregasi rasial di AS, tapi ada kesamaan sikap
antara Malcolm X dan @hafidz_ary dalam menghadapi ketertindasan kaumnya. Mereka
memilih sikap untuk berperang dengan terlebih dahulu membangkitkan superioritas
kaumnya sendiri. Malcolm X dengan meneriakkan kredo bahwa “God is Black” dan “White
people are devils”, sedangkan @hafidz_ary dengan “Islam itu sendirian
benar, yang lain salah” dan “Orang-orang kafir dan salibis adalah penyebab
perang-perang besar di dunia”. Dengan demikian, kaumnya merasakan satu posisi
yang eksklusif dan berbeda dari yang lain. Malcolm X mengatakan bahwa jika
orang kulit putih boleh merasa eksklusif, kenapa kulit hitam tidak boleh?
@hafidz_ary mengatakan bahwa jika orang sekuler selalu diberi panggung dalam
sejarah, kenapa muslim tidak boleh?
Nelson Mandela tidak pernah bicara tentang supremasi ras. Perjuangannya untuk rakyat
murni datang dari kenyataan bahwa kebijakan politik dari National Party (NP)
sebagai kaum minoritas, tidak mencerminkan keinginan dari rakyat Afrika Selatan
yang didominasi oleh orang-orang kulit hitam. Berbekal literatur mengenai
komunisme, Mandela mempunyai kesamaan spirit dengan Marx meski berbeda konteks.
Marx melawan kapitalisme yang biasanya dikuasai oleh sedikit orang yang
berstatus sebagai pemilik modal. Marx mengatakan bahwa kapitalisme bisa
digulingkan oleh kaum buruh yang secara jumlah lebih banyak. Mandela melawan
kebijakan politik kaum Afrikaner[4]
yang jumlahnya justru minor di Afrika Selatan. Mandela juga percaya orang kulit
hitam bisa menang karena jumlahnya yang lebih banyak.Mandela juga tidak
tergerak oleh perasaan xenophobic
ataupun rasis seperti yang dilakukan oleh Malcolm X dan @hafidz_ary. Ia tidak
perlu melawan rasisme dengan rasisme. Mandela hanya ingin hidup berdampingan
dengan hak-hak yang sejalan.
Mari
berbicara sedikit tentang filsafat. Hegel pernah berkata bahwa sejarah
menyeimbangkan dirinya lewat dialektika tesis-antitesis-sintesis. Kekuasaan NP
dengan politik apartheid-nya di
Afrika Selatan sebagai tesis pada masa itu, mendapat antitesis dari Mandela
dengan African National Congress (ANC)-nya. Mandela dengan ANC-nya, meski sudah
dibungkam dengan berbagai cara, tetap mampu bersuara dalam sejarah karena
demikian menurut Hegel, “fitrah”-nya sejarah. Pembungkaman, pemenjaraan,
siksaan, pengasingan, tidak akan pernah mampu mencerabut suara-suara antitesis.
Pembungkaman oleh tesis-tesis besar seperti Stalin, Mao, Pinochet, ataupun Suharto
akan menciptakan bara dalam kekuasaannya sendiri. Kelak akan terjadi
keseimbangan, bagaimanapun dihabisinya berbagai macam oposisi.
Kembali
lagi, Mandela adalah contoh perjuangan yang revolusioner, konsisten, dan tidak
gegabah. Kata Acep Iwan Saidi, dunia hari ini sudah sulit sekali mencipta
revolusionaris tulen. Yang ada hari ini adalah sikap-sikap reaksioner semata
seperti Koin Prita, Angkot Day, Vickyisme, atau tagar twitter seperti
#IndonesiaTanpaJIL, #SaveKPK, #SaveRI atau #EgyptMassacre. Celakanya, para
reaksionaris itu sudah merasa menjadi seorang revolusionaris. Tidak ada satu keistiqamahan untuk berjuang
demi sebuah ideologi yang dianggap benar. Sulit mencari figur seperti Che,
Gandhi, atau Mandela yang tidak ingin terbuai dengan rayuan-rayuan gombal yang
meruntuhkan perjuangan seperti hari ini orang tunduk pada tabungan, asuransi,
iklan hape, dan segala tetek bengek simbol kemapanan.
*Syarif Maulana lahir di Bandung, 30 November
1985. Sehari-hari berkegiatan sebagai pengajar gitar klasik di sekolah musik
Allegria, dosen di Telkom University dan Universitas Padjajaran, menulis untuk
blog pribadinya, dan mengurusi kegiatan di garasi rumahnya sendiri di Garasi10.
Buku pertamanya yang berjudul Manusia dan Teknologi dalam 2001: A Space Odyssey
baru saja terbit.
www.syarifmaulana.blogspot.com
[1] Ditulis untuk acara Tadarusan
Buku tanggal 16 Oktober 2013 di Ruang Audiovisual MKAA.
Buku yang akan dibahas adalah Langkah
Kebebasan: Surat-Surat dari Bawah Tanah yang merupakan kumpulan tulisan
Nelson Mandela.
[2] Xenophobia berasal dari kata
Yunani yakni xenos yang berarti orang
asing dan phobia yang berarti
ketakutan.
[3]Dari bahasa Afrika yang berarti
negara yang dipilah-pilah.
[4]Afrikaner adalah ras kulit putih
di Afrika Selatan yang berasal dari keturunan kolonial Belanda atau Inggris.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar