12 Angry Men (1957): Manusia dan Rasa Keadilan



        
Jika kamu harus memilih, kira-kira kemana kamu harus menyerahkan keadilan: Ke tangan hakim dengan panduan kitab undang-undang, atau ke dua belas orang awam yang tidak mengerti apapun soal hukum? Sekilas mungkin kita akan memilih yang pertama dengan pertimbangan bahwa hakim dan undang-undangnya sepertinya akan mampu menggiring kita pada keadilan. Namun kenyataannya, sistem peradilan di Amerika Serikat misalnya, menyerahkan keadilan pada dua belas orang awam yang merupakan warga negara yang dipilih secara acak. Pertimbangannya? Karena rasa keadilan sebenarnya universal. Ada pada diri setiap orang dan tidak perlu khusus bagi mereka yang belajar ilmu hukum. 

            Demikian kira-kira ilustrasi singkat mengenai apa yang kita bisa ketahui dari film 12 Angry Men yang disutradarai oleh Sydney Lumet. Ini adalah film yang bercerita tentang dua belas orang juri yang berselisih pendapat apakah seorang anak yang diduga membunuh bapaknya itu bersalah atau tidak. Dari dua belas orang tersebut, semuanya menyatakan anak itu bersalah secara aklamasi kecuali satu orang di nomor urut ke delapan yang merasa bahwa anak itu tidak bisa diputuskan bersalah terlalu cepat. Ia kemudian mengajak kesebelas juri lainnya untuk berdiskusi terlebih dahulu pelan-pelan. Dengan kemampuan bernalar yang tinggi, sang juri nomor delapan itu berhasil meyakinkan juri lainnya untuk merubah keputusan mereka.

Film ini menarik karena pertama, selama durasi hampir sembilan puluh menit, latarnya hanya satu yakni ruangan tempat juri berapat saja. Kedua, tidak ada satupun dari mereka yang menyebut nama seseorang. Juri-juri itu oleh sutradara seperti sengaja tidak diberi nama sehingga kita hanya akan menyebutnya “Juri nomor delapan”, “Juri nomor satu”, dan seterusnya. Baik tersangka, korban, maupun para saksi pun semuanya hanya diwakili dengan istilah, “si anak”, “bapaknya”, “laki-laki tua”, dan “perempuan di seberang jalan”. Meski demikian, film 12 Angry Men sama sekali tidak membosankan meski hanya bermodalkan percakapan di satu ruangan dengan orang-orang yang sama.

            Pada akhirnya, apa yang dinamakan konsep “keadilan” sebenarnya adalah sesuatu secara epistemologis tidak bisa terjangkau oleh manusia manapun tak terkecuali oleh para ahli-ahli hukum. Kita hanya bisa melakukan penelusuran secara logis saja berdasarkan keterangan tersangka, saksi, bukti, dan kronologi peristiwa. Kita hanya bisa berasumsi bahwa “saksi berkata benar”, “bukti tersebut adalah benar” dan “kronologi peristiwanya adalah benar”. Pada akhirnya, rasa keadilan benar-benar merupakan satu elemen yang harus diasah. Juri nomor delapan adalah satu contoh betapa ia tidak mau terjebak dengan pendapat umum ataupun logical fallacy tentang kesalahan-kesalahan tersangka. Ia mau pelan-pelan mendengarkan rasa keadilan yang bersuara di dalam nuraninya. Kata Sokrates, “Biarkan kebenaran sejati itu datang dari dalam.”

aarc

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Instagram