Jika kamu harus memilih, kira-kira kemana kamu harus menyerahkan keadilan: Ke tangan hakim dengan panduan kitab undang-undang, atau ke dua belas orang awam yang tidak mengerti apapun soal hukum? Sekilas mungkin kita akan memilih yang pertama dengan pertimbangan bahwa hakim dan undang-undangnya sepertinya akan mampu menggiring kita pada keadilan. Namun kenyataannya, sistem peradilan di Amerika Serikat misalnya, menyerahkan keadilan pada dua belas orang awam yang merupakan warga negara yang dipilih secara acak. Pertimbangannya? Karena rasa keadilan sebenarnya universal. Ada pada diri setiap orang dan tidak perlu khusus bagi mereka yang belajar ilmu hukum.
Demikian kira-kira ilustrasi singkat
mengenai apa yang kita bisa ketahui dari film 12 Angry Men yang disutradarai oleh Sydney Lumet. Ini adalah film
yang bercerita tentang dua belas orang juri yang berselisih pendapat apakah
seorang anak yang diduga membunuh bapaknya itu bersalah atau tidak. Dari dua
belas orang tersebut, semuanya menyatakan anak itu bersalah secara aklamasi
kecuali satu orang di nomor urut ke delapan yang merasa bahwa anak itu tidak
bisa diputuskan bersalah terlalu cepat. Ia kemudian mengajak kesebelas juri
lainnya untuk berdiskusi terlebih dahulu pelan-pelan. Dengan kemampuan bernalar
yang tinggi, sang juri nomor delapan itu berhasil meyakinkan juri lainnya untuk
merubah keputusan mereka.
Film ini menarik karena pertama,
selama durasi hampir sembilan puluh menit, latarnya hanya satu yakni ruangan
tempat juri berapat saja. Kedua, tidak ada satupun dari mereka yang menyebut
nama seseorang. Juri-juri itu oleh sutradara seperti sengaja tidak diberi nama
sehingga kita hanya akan menyebutnya “Juri nomor delapan”, “Juri nomor satu”,
dan seterusnya. Baik tersangka, korban, maupun para saksi pun semuanya hanya
diwakili dengan istilah, “si anak”, “bapaknya”, “laki-laki tua”, dan “perempuan
di seberang jalan”. Meski demikian, film 12
Angry Men sama sekali tidak membosankan meski hanya bermodalkan percakapan
di satu ruangan dengan orang-orang yang sama.
Pada
akhirnya, apa yang dinamakan konsep “keadilan” sebenarnya adalah sesuatu secara
epistemologis tidak bisa terjangkau oleh manusia manapun tak terkecuali oleh
para ahli-ahli hukum. Kita hanya bisa melakukan penelusuran secara logis saja
berdasarkan keterangan tersangka, saksi, bukti, dan kronologi peristiwa. Kita
hanya bisa berasumsi bahwa “saksi berkata benar”, “bukti tersebut adalah benar”
dan “kronologi peristiwanya adalah benar”. Pada akhirnya, rasa keadilan
benar-benar merupakan satu elemen yang harus diasah. Juri nomor delapan adalah
satu contoh betapa ia tidak mau terjebak dengan pendapat umum ataupun logical fallacy tentang
kesalahan-kesalahan tersangka. Ia mau pelan-pelan mendengarkan rasa keadilan
yang bersuara di dalam nuraninya. Kata Sokrates, “Biarkan kebenaran sejati itu
datang dari dalam.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar