Tersebutlah sajak yang sangat menggugah,
bagaimana seorang seniman- penyair bersikap dalam konteks hidup bermasyarakat
dan berbangsa:
PERSETUJUAN
DENGAN BUNG KARNO
Ayo! Bung Karno kasi tangan
kita bikin janji
Aku sudah cukup lama dengar
bicaramu, dipanggang
atas apimu,
digarami oleh lautmu
Dari mulai tgl. 17 Agustus
1945
Atas melangkah ke depan
berada rapat di sisimu
Aku sekarang api aku
sekarang laut
Bung Karno! Kau dan aku satu
zat satu urat
Di zatmu di zatku
kapal-kapal kita berlayar
Di uratmu di uratku
kapal-kapal kita bertolak &
berlabuh
Seniman termaksud taklagi berasyik-masyuk
dengan topik individualis-eksistensialis
yang cenderung liar, namun setelah membaca sajak ‘Persetujuan Dengan Bung
Karno’, ia sudah mendekatkan dirinya pada realitas sosial-politik yang
berkembang ketika itu. Terkait sajak di awal tulisan ini, penyair CH bukan
sedang berpolitik praktis, berafiliasi secara membabibuata, namun ia sedang
memberikan dukungan moral dan spiritual untuk sama-sama bergerak dan lakukan
revolusi.
Dari sajian sajak itu, penyair CH coba
membuktikan dirinya untuk menjadi bagian integral dari kenyataan masyarakat
dalam mempertahankan kemerdekaannya. Kepekaan yang kuat dengan obyek persoalan
menjadi kata kunci kekaryaan CH, khususnya pada sajak termaksud itu. Saya tidak
tahu, apakah CH mengenal secara pribadi
dan lebih dekat dengan Bung Karno, Sang Proklamator? Entahlah. Asumsi
saya bahwa seorang penyair adalah pembaca yang bagus, selain membaca teks, ia
pun pengamat yang cekatan lagi jeli pada konteks tertentu yang bermunculan di
masyarakat.
Hal menarik yang dilambungkan Penyair Senior
Sapardi Djoko Damono berkenaan dengan sajak di atas bahwa dari sajak itu telah
melahirkan banyak tafsiran, apatah lagi pada tahun 1960-an terjadi polemik
kebudayaan dan menjadi ajang pertaruhan politik praktis. Satu hal yang
mencengangkan pada tahun 1965, terjadi. Komisaris Dewan Mahasiswa Fakultas Sastra juga
pimpinan Fakultas yang bersangkutan bahwasanya gagasan kepanyairan CH
bertentangan dengan faham Sosialisme Indonesia dan Amanat Berdikari yang sudah
dicanangkan Bung Karno, bahkan terjadi penolakan tanggal 28 April− hari
kematian CH− sebagai Hari Sastra. Lantas Lembaga Kebudayaan Rakyat yang berada
di bawah Partai Komunis Indonesia pun menyatakan hal yang sama dan bersikap
tidak mengakui gagasan penyair besar Indonesia itu. Mengenai polemik ini, tokoh
politikus saat itu Dr. Roeslan Abdulgani
menyampaikan gagasannya dalam sebuah esei berjudul ‘Chairil Anwar Juga Milik
Seluruh Bangsa Indonesia’. Betapa nasib penyair CH bak binatang jalang yang
terombang-ambing di depan kacamata politik. Begitulah sinisme politik,
sentiment, kecenderungan, dan kecurigaan kerap menyoroti dunia kesenian.
Lepas dari soal itu semua, masihlah
kepanyairan CH patut diperhitungkan dan menjadi penyair penting Indonesia,
salah satu pelopor puisi modern di negeri ini, yang berkarakter kuat dalam
semangat hidup, jua idealisme yang kokoh
pada arti kepahlawanan. Andaikata ada yang mengatakan bahwa para penyair
hendaknya menjadi juru bicara bagi zamanya, maka saya bersepekat dengan hal
itu. Ia akan membicarakan tentang apa yang terjadi di negerinya, mengisahkan
kegetiran hidup ataupun tentang kesetiaan pada pemimpin, agar dapat melangkah
lebih baik dari sebelumnya.
Dengan melihat satu karya, sepertinya kita
bisa merasakan sebuah tenaga yang luar biasa, bila kita mau meresapi karya itu,
terserah apa karya seni itu lukisan, musik, drama, film, bahkan puisi
sekalipun. Seperti yang pernah dituturkan Budayawan Putu Wijaya dalam sebuah
Buku ‘Ngeh’: Kumpulan Esei(1997) bahwa setiap karya seni yang luarbiasa
dianggap memiliki ‘tenaga dalam’ sehingga mampu menggebrak orang-orang yang
kebetulan membaca, menikmati dan mengapresiasi karya itu untuk bangkit. Melalui
puisi yang tertulis di atas, Penyair CH berusaha menghadirkan komitmen moral
untuk peduli pada kepentingan sosial.
Sungguh puisi di atas, puisi yang bertenaga,
membuat saya ingin mengetahui lebih dalam tentang apa yang tersurat dan
tersirat, terutama tentang sosok Bung Karno yang menurut penyair CH telah ‘satu
zat satu urat’.
Bandung,
Februari 2013
Adew Habtsa. Sekretaris
Jenderal Asian African Reading Club. Penyair, Pemusk, tinggal di Bandung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar