Stempel pangedulan alias bermalas-malasan telah tertera di kepala ini.
Semenjak saya duduk di bangku sekolah dasar, sampai bereslah kuliah,
memperlakukan buku hanya sekedar memenuhi tugas guru di sekolah atau di kampus,
itupun kalau sempat, jika tidak, melihat kawan hasil kerja kawan (baca:
mencontek) adalah jalan pintas yang paling menegangkan dan mencengangkan.
Jikalau hari ini saya berkacamata tebal, itu bukan pertanda mutlak orang yang
rajin membaca buku, meski hampir para penggila buku itu berkacamata minus,
sebab kacamata adalah indikator seseorang rusak matanya lantaran banyak faktor,
sebagai misal, kurang makan vitamin A atau menonton film dan main game yang kelewat batas, seperti yang
sering saya lakukan di masa lampau.
Sudahlah, itu fragmen
kanak-kanak saya, dan semua orang remaja dan dewasa hari ini, pasti mengalami fase
itu, ada yang rajin belajar siang dan malam, ada juga anak-anak yang malas
taktertolongkan lagi, hingga kenakalanlah yang tertampakkan selalu. Bila
menjenguk episode masalalu, boro-boro memahami bagaimana manfaat sebuah
buku dan pentingnya belajar yang tekun, rayuan untuk bermain dan bermain lagi
dan terus bermain-main dengan aneka permainan, berkumpul dengan bocah-bocah
satu angkatan, lebih kuat mendesak diri ini, sampai lepaslah tekad belajar
seperti yang sering diujarkan oleh guru-guru di sekolah dan kedua orang tua
beserta saudara-saudara yang hirau lainnya. Memang saya memilliki cita-cita,
itu pun ingin menjadi pemain sepak bola, sampai-sampai jika petang datang,
bergegaslah menuju lapangan sepakbola, seadanya perlengkapan, masih berseragam
sekolah, sesukanya mengisi waktu, dengan rasakan keseruan juga keasyikan yang
sulit digambarkan bersama kawan lainnya.
Walau memang orang tua,
yakni ayah saya adalah sosok pendidik pada sebuah sekolah dasar yang tiap
sepekan sekali, selalu membawa buku, majalah dan koran, yang barangkali didapat
dengan memotong gaji bulanannya, lalu dengan agak memaksa, bahwa tiap sekolah
hendaknya berlangganan media itu, tapi ambil sisi positifnya saja, dari buku,
majalah dan koran-koran itu, saya sudah mulai melihat-melihat judul buku dan
desain jilidnya yang menarik, membolak-balikan koran, membaca cerita lucu dan
juga gambar-gambar karikatur yang terpampang di majalah itu. Lumayan. Hanya
bisa sampai itu saja. Setelah itu, bergegas lagi menuju keramaian, keceriaan permainan,
kembali bermain-bermain di lapangan itu, di sawah itu, di kolam itu, di sungai
itu, berburu capung, belalang, ikan-ikan, dan bermain bola lagi.
Masa berganti. Waktu
berubah. Teman-teman pun bertambah. Satu per satu membawa tabiat yang unik dan
menarik. Lingkaran pertemanan pun memengaruhi saya untuk mulai memahami konsep
diri dalam percaturan lingkungan masyarakat terdekat, sekampung, lebih jauh
sebangsa dan senegara. Tiba-tiba saya merasa bahwa saya harus berguna, kendati
cita-cita jadi pemain sepakbola kandas juga. Mungkin saya tidak konsisten, atau
takserius untuk menapaki jalur itu,
padahal dari sepakbola bisa memperbaiki nasib diri sekaligus memperbaiki nasib
bangsa di mata dunia internasional dengan prestasi yang baik, tentu saja.
Bebas dari perkuliahan,
satu komunitas menulis saya jejaki, tiba-tiba saja saya ingin jadi Penulis, bukan
karena, susahnya mencari lapangan pekerjaan, apalagi persaingan angkatan kerja
taksebanding dengan lapangan pekerjaan itu sendiri, barangkali ada yang keliru,
kita malah tercipta untuk bekerja pada satu departemen sesuai dengan jurusan
yang kita geluti, sebagai contoh, alumni Fakultas Pertanian, harus bekerja di
Departemen Pertanian, dan seterusnya. Padahal taksemestinya selalu begitu,
bukan? Walau kadang-kadang saya juga
mengirimkan surat lamaran pekerjaan pada satu lembaga dan instansi tertentu,
tapi taksemuanya berjalan mulus dan diterima dengan baik. Beberapa jenis
pekerjaan pernah dilakukan, dari Sales Kompor Gas, Surveyor, sampai menjadi
Guru sebuah sekolah swasta yang sangat bersahaja. Asyik dan menyenangkan,
melelahkan raga, namanya juga bekerja.
Entahlah mungkin saya
melihat dan mendengar, kisah para penulis yang sukses, mendapatkan keuntungan
financial yang luarbiasa besarnya, tertegun melihat mereka bisa membuat novel,
cerpen dan puisi, pastinya terampil sekali dalam mengembangkan tema yang menarik dan sangat menginspirasi
khalayak banyak. Takusah saya sebut para penulis yang mengilhami itu, takut
mereka jadi sombong dan merasa diri hebat. Biarkan saja mengalir, apa adanya.
Pilihan memasuki Komunitas kepenulisan Forum Lingkar Pena (FLP), di kota
kelahiran saya, FLP Bandung, bermarkas di Kompleks Masjid Salman ITB,
taktertahankan lagi.
Dari tempat dan komunitas ini saya mempelajari
banyak hal, terutama dari hembusan semangat para Pengurus yang selalu
mengobarkan betapa membaca menjadi langkah awal untuk memasuki dunia
kepenulisan. Mulailah buku-buku saya baca, sedikit demi sedikit,
berangur-angsur, taksekaligus, ternyata belum kuat staminanya. Mulailah beragam
bacaan dicerna, dari buku-buku kesusasteraan: cerpen, puisi, esei hingga kajian
filsafat dan keagamaan terus dibaca, perlahan-lahan, sembari terus belajar
menulis puisi dan atau yang seperti puisi. Bagaimana saya tidak akan membaca
buku, atau menghindar dari buku, yang
jelas itu bukan penyelesaian yang baik, setiap kali pertemuan, selalu ditanya
tentang buku yang sedang dan sudah dibaca, ditulis pada setiap lembaran daftar
hadir. Atau dalam pertemuan khusus, sesekali diminta para pementor untuk menceritakan
buku yang sedang baca, malu jadinya, tiba-tiba muncul rasa gengsi, bila takmampu
menceritakan isi buku itu. Dengan terkondisikan seperti ini, mau takmau
haruslah membaca, minimal satu buku besar seminggu sekali, terserah topik
bukunya seperti apa.
Komunitas FLP,
khususnya yang berada di Bandung, merupakan kumpulan orang-orang yang
bersiteguh untuk belajar menulis dan nyaman untuk beraktivitas di luar medan
kepenulisan, hingga keinginan saya untuk membuat lirik lagu pun dapat
terakomodasi dengan baik. Diam-diam saya pun mencoba memusikalisasi puisi dari
beberapa penyair yang sudah tersohor karya-karyanya, yang saya baca dari buku
antologi puisi mereka, yang saya beli atau pinjam dari kawan. Tentang proses
kreatif saya dalam bermusik dan menggubah puisi menjadi komposisi lagu, ini
butuh ruang khusus. Intinya, hasrat belajar dan keingintahuan yang
meletup-letup coba dijaga, meski nanti pelan-pelan, dibuat tenang dan
menyenangkan segalanya.
Lantas ada kebutuhan
lain rupa-rupanya, ingin menambah jaringan pertemanan, butuh penghargaan dari
yang lain juga atas karya tulis sastra yang dibuat, berharap wawasan pengetahuan
bertambah dengan berguru pada sastrawan yang lebih menggelegar semangat
hidupnya beserta pengalaman estetikanya yang membanggakan, sehingga karya-karya
kita pun dapat membahana, tidak hanya dikenal di komunitas itu-itu saja. Saya
dan beberapa teman satu minat tentunya, mulai mendatangi ruang-ruang publik
yang menghadirkan diskusi-diskusi menarik, kajian-kajian pemikiran, seperti
kuliah umum, terbuka untuk siapa saja, dan pastinya mencari yang gratis, untuk
sama-sama hadir, mengikuti rangkaian acara, terutama pemaparan yang disampaikan
para ahli, berkenaaan sastra dan apapun yang melingkupinya.
Salah satu tempat
publik yang kerap saya datangi adalah Gedung Indonesia Menggugat (GIM), seperti diketahui, asal tempat itu
merupakan gedung pengadilan zaman Hindia Belanda, satu tempat tatkala Soekarno
muda beserta kawan-kawan seperjuangannya lancarkan pledoi untuk menjelaskan
bahwa kolonialisme layak digugat, karena telah menyengsarakan semesta raya
nusantara. Dari tempat itu pula saya bertemu dengan komunitas Majelis Sastra
Bandung (MSB), yang juga fokus pada pengembangan ruang sastra, dan semangat
saya untuk membaca yang kadang-kadang redup, bisa bangkit lagi. Di dalam
program MSB ada kegiatan rutin yang tentu saja mendatangkan pembahas atau
pemateri yang berkualitas, hal ini menandakan bahwa mereka, para pembahas yang
membuat betah adalah pembaca yang baik, pelahap segala ilmu pengetahuan,
bertutur dengan runut, wajar kalau pemparannya sangat enak dan memuaskan.
Dan kini saya memasuki
Museum Konperensi Asia Afrika (MKAA), sang Saudagar Buku dari Bojongkoneng (DeRa)
mengajak saya untuk berkecimpung pada kegiatan di dalamnya. Sampai tercetuslah
ide untuk membuat sebuah klub buku, keren terdengar, keinggris-inggrisan, maklum
berada di museum berkelas internasional, Asian African Reading Club namanya,
singkat saja AARC. Bermula dari lingkaran kecil, yang hadir terhitung jari,
berasal dari pusparagam latar-belakang sosial. Ada benarnya kata seorang sahabat, bahwa para
pembaca adalah kaum minoritas, sedikit sekali jumlah para pembaca.
Barangkali kita juga pernah mendengar
berkaitan dengan kondisi buruk daya baca satu masyarakat kita, ditambah juga
menurunnya daya beli terhadap aneka bacaan, termasuk buku, bila dibandingkan
dengan negara tetangga lainnya, masih jauh tertinggal. Apatah lagi menanyakan
jumlah buku yang diproduksi satu tahun oleh satu negara, teramat miris. Hasrat
membaca juga sudah megap-megap, apalagi nanti bila akan membidik gairah
menulis, yang kembang-kempis itu. Terkalahkan segalanya oleh animo yang kuat
untuk membeli televisi, gadget, dan media elektronika lainnya dengan segala
produk canggihnya, keluaran masa kini. Hal ini membuktikan kecenderungan
masyarakat kita yang lebih gandrung pada tontonan, termasuk saya yang acap
tergoda pada keindahan visual, akan tetapi terus mulai merangkak untuk tapaki buku-buku dan
sumber ilmu lainnya.
Anehnya, pada saat saya
bersama-sama mereka para pecinta ilmu, para penerang segala gelap, para
penyuluh segala lusuh, saya merasa baik-baik saja, dan merasa tersemangati
untuk teras berbuat sesuatu, meski kecil, bagi peradaban dunia yang lebih baik,
tapi terkadang setelah pulang ke habitat masing-masing, ke rumah sendiri,
tiba-tiba melempem lagi semangat itu.
Setidak-tidaknya dari berkomunitas itu kita mendapat manfaat yang nyata jua
efek yang bagus untuk berkarya dan kreatif minimal bagi diri sendiri, jangan
sampai terbodohi lagi, tertipu lagi atau dikhianati bangsanya sendiri, dan kita
malah merasa tenang-tenang saja, karena belum terbuka akal pikiran tentang
kenyataan faktual saat ini, lantaran masih tumpul nalar kita untuk mengkritisi
kondisi riil negeri ini, oleh sebab belum terbiasanya kita dengan iklim
intelektual, seperti para cerdik pandai itu, untuk membaca dan selalu membaca.
Wah, saya merasa
menjadi kutu buku, jika bersama mereka.
Bandung, Februari 2013
Adew
Habtsa. Penyair, Pemusik. Tinggal di Bandung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar