oleh: Thomas Ward
Persimpangan itu, jalan aspal dan
baja melintang yang menyambung kota ini dengan banyak kota di pulau Jawa. Dua
sarana, produk manusia yang memaksa sebuah kesunyian dan keterasingan tersisih.
Bangunan tua yang disebut orang tua itu dulunya sebuah toko buku, toko buku
masa pendudukan Belanda: Landmark! Bersebelahan dengan bank dan area
khusus kaum jetset menikmati kemewahan dan hal yang tidak terjangkau oleh
orang-orang yang duduk, tiduran, menjulurkan tangan, mempersiapkan tanda
kemiskinan dari kaleng, wadah usang dari bahan plastik. Palsu atau tidak, itu
sebuah ironi, sebut saja begitu. Sore itu, tempat itu, sekitar Landmark,
dua bank yang berseberangan, tempat spa, biliar, restoran, toko sepatu dan
lain-lain yang tidak bisa disebut karena ingatan ini terbatas sekali meski
tempat itu sangat sering dilewati sepulang bekerja.
Kembali pada persimpangan, rel
kereta api dan jalan aspal yang saling bersilangan di tempat itu. Hal yang
baru, (setidaknya bagi penulis) pada masanya tempat itu merupakan bagian yang
tidak dapat dilupakan. Zona damai dua pihak yang bertikai, penandanya masih
berdiri. Sebuah pos jaga kereta api tua, jadi pertanyaan kapan kira-kira
bangunan rel kereta api plus pos jaga itu berdiri. Pada masanya, berapa banyak
petugas pos jaga yang menjadi korban sebelum tempat itu berubah menjadi zona damai?
Pertanyaan itu baru terpikir pada saat tulisan ini berproses. Barangkali
jawabannya bisa diterangkan sang penunjuk arah suatu hari kelak jika benar
manusia akan mengenal teknologi lipat ruang atau mesin tembus waktu.
Demi sebuah jalan yang harus menjadi
sarana penghubung ketika sungai tidak lagi menjadi salah satunya. Para petugas
itu, siapapun mereka. Mereka ada jasa, serupa mereka yang membuatnya terwujud
menjadi ruas jalan, rel kereta api, lintasan kapal laut, pesawat terbang
mungkin suatu hari nanti menjadi sebuah terminal wisata tembus waktu atau
menuju galaksi lain, dimensi lain wallahu alam. Dari sebuah jalan
setapak berlumpur kala hujan menjadi perlintasan modern yang dilalui
mesin-mesin yang mengepulkan kotoran berupa asap. Dari jalan setapak ke lapis
demi lapis aspal yang lambat laun terkikis air itu semua berawal (semoga ini
tidak berkesan sedang membanggakan salah satu tempat bernaung untuk mencari
sesuap mercy dari pencipta). Dan kita sementara terpukau pada
bangunan-bangunan lain, sebagian lain mencari ke jalinan sejarah, kedamaian itu
ditelusuri pada liku-liku jalan. Jalan itu disimbolisasikan sampai pada sebuah
ujung berupa tusuk sate yang gagangnya menjulang menantang ketinggian menyambut
halilintar. Bangunan-bangunan buatan manusia yang terlupakan, rusak dan kita
hanya bisa mengukur menakar kapan akhir usia ujudnya dan melepasnya kala usang
mengganti ujud baru.
Pesan yang hendak ditetapkan adalah
di manapun kita berada dan tujuan kita kemana. Jalan dibangun untuk sebuah
penanda: Landmark. Penanda awal yang diisyaratkan kepada manusia. Mau
kemana dan apa bekal yang akan menguatkan perjalanannya. Semoga tidak lantas
berhenti pada satu tujuan. Tujuan yang utama bukan berpijak pada satu atau dua
pemberhentian yang menyenangkan dan membuat terlena. Bangunan-bangunan yang
mempesona, perwajahan, tubuh atau kecantikan salah satu penanda bukan akhir
segalanya karena semua tahu langit, arsy akhir absolut.
Simbol tempat berpulang dan sarana
menuju ke sana. Sama halnya dengan sebuah prinsip, konsep. Prinsip atau konsep
yang menjadi bagian acuan Asian African Reading Club. Konsep Peaceful
Co-existence merupakan sebuah jalan pula. Sebuah sarana bagi perintisnya
untuk menuju tempat yang semua mendambakannya. Tadarus sore kemarin merupakan
pembacaan yang berbeda, bukan halaman demi halaman yang di baca. Di rintik
hujan yang bersahabat, yang dibaca adalah ruas demi ruas jalan beserta isi yang
beragam, dengung membising penuh irama dan tampilannya yang berwarna-warni.
Seperti isi dunia, dengungnya yang merdu merayu dan gemerlap warna penuh cahaya
tampak di mata. Penuh perbedaan yang memaksa sebuah keberpihakan yang
timbangannya miring untuk ditakar, model grafik dialektika. Tetapkan tujuan
pada konsep itu, untuk sebuah perjalanan penuh hikmah.
Siapa yang berniat menjadi penerus
yang memberanikan diri untuk ruang pikir terbuka menelusuri liku-liku pedestrian
dunia. Menuju puncak tusuk sate yang tidak saja memberi kenyang. Tapi
sebagai simbol akhir perjalanan. Seperti saat makan dan bepergian tanpa
dukungan kendaraan, totalitas tergantung pada kepuasan dan keringat. Penerus
konsep yang diusung para perintis. Senjata untuk open mind attitude dalam
memandang segala hal. Di mana perbedaan akan menjadi bagian dari konflik dan
kita akan tersapu atau tetap berdiri tegak tergantung sikap kita.
Para perintis berusaha menciptakan
zona damai dengan jalan konsep dan pemikiran hidup damai secara berdampingan
itu. Siapa penerus? Kita? Mereka? Satu orang? Dua, tiga empat? Siapa? Tujuan
berkumpul di AARC yang menjadikan kekhasan, peaceful co-existence semoga
tetap begitu adanya. Bukan membuat sebuah anggapan kita sedang menjadi penerus
tapi aktualisasinya yang lebih perlu diutamakan. Mencari jalan dan memberanikan
diri melaluinya. Betapapun kesulitan yang akan kita hadapi. Di sanalah tempat
berlabuh, arsy.
Berusaha mengimajinasikan segala hal
dengan berbagai cara dan menggunakan sarana apapun. Dengan musik, puisi,
lukisan untuk sebuah pola pikir. Di Asian African Reading Club
melakukannya dengan cita rasa dan komedi. Napak tilas menelusup lorong-lorong
dan hiruk pikuk bacaan. Mencari akhir mutlak yang menyenangkan, sesederhana
atau sesulit apapun di sanalah tempat ditambatkan harapan yang menjadi hak
semua orang dan berlapang dadalah yang memberanikan diri menerima
ketidaksempurnaannya.[]
Kamis, 20 Desember 2012
keep on walkin' keep on readin'
Tidak ada komentar:
Posting Komentar