oleh: Yudha P. Sunandar
Seperti sore-sore di musim kemarau yang kering pada umumnya, sore ini pun
Kota Bandung terbuat dari antrian kendaraan yang mengular di setiap sudut
jalanan. Memadati udara kota dataran tinggi itu dengan debu polusi dari knalpot
mobil dan motor.
Di sini, di sudut Gedung Merdeka, sebuah ruangan berjuluk Audio-Visual dan
berukuran 3/4 lapangan bulu tangkis, padat dengan manusia. Ada sekitar 60 kursi
yang disusun berbentuk huruf “U” berlapis tiga. Perlahan tapi pasti, setiap
kursi mulai terisi manusia.
Semakin petang, jumlah manusia semakin bertambah. Saking padatnya, beberapa
orang memilih berlalu lalang di lorong depan ruangan. Mengusir suntuk mungkin.
Namun, sebagian besar orang-orang di dalam ruangan memilih untuk bertahan.
Setiap kepala tertunduk khusyu. Di tangan sebagian mereka, terpatri sebuah
buku setebal 666 halaman. Semuanya sepakat membuka halaman 640. Salah seorang
di antaranya, membaca kata demi kata dengan lantang. Tak selalu lantang memang,
tetapi dia berusaha agar suaranya terdengar hingga ke seantero ruangan.
Sedangkan hadirin lainnya menyimak dengan khusyu.
Kekhusyuan ini bukanlah baru pertama kali dilakukan oleh sebagian dari
mereka. Sejak Februari lalu, sekelompok pemuda mulai menapaki huruf demi huruf
biografi Ali Sastroamidjojo ini. Mereka menamai dirinya Asia-Africa Reading
Club (AARC). Sedangkan buku yang tengah mereka baca berjudul Tonggak-Tonggak di
Perjalananku yang ditulis sendiri oleh Ali Sastroamidjojo.
Setiap Rabu, sekitar 10 hingga 15 orang rutin berkumpul dan membaca
bersama-sama. Mereka menyebutnya sebagai “tadarusan”. Aktivitas ini memang
lumrah dilakukan untuk membaca Alquran secara berkelompok. Namun, masih jarang
sekelompok orang mempraktikannya untuk membaca buku beraksara latin dengan
Bahasa Indonesia.
Halaman demi halaman mereka santap setiap pekannya. Tak cukup sampai di
situ, mereka pun menghadirkan pengkaji sejarah dan budaya ke dalam aktivitas
pekanan AARC. Beberapa yang pernah menorehkan namanya dalam aktivitas
tadarusan, antara lain: Acep Iwan Saidi, Alfathri Adlin, Dina Y Sulaeman, dan
Hawe Setiawan. Mereka menorehkan kesan mendalam di kenangan dan pikiran para
punggawa AARC.
***
Plh Museum Konferensi Asia-Afrika (MKAA) Elly Nugraha (tengah) menerima
tanda terima kasih dari keluarga besar Ali Sastroamidjojo yang diwakili oleh
Tarida Sastroamidjojo (kiri). (Foto: Yudha PS)
Plh Museum Konferensi
Asia-Afrika (MKAA)
Elly Nugraha (tengah)
menerima tanda
terima kasih dari
keluarga besar
Ali Sastroamidjojo
yang diwakili
oleh Tarida
Sastroamidjojo (kiri). (Foto: Yudha PS)
|
Adzan Maghrib sayup-sayup berkumandang di masjid-masjid sekitar jalan Braga
dan jalan Asia-Afrika Bandung. Aktivitas hiruk-pikuk kehidupan Bandung
lambat-laun mereda, seiring petang yang mulai berganti malam. Namun tidak di
Ruang Audio-Visual Gedung Merdeka.
Di ruangan yang semakin sesak, keriuhan hadirin semakin bergema. Kini,
lembaran yang terbuka di buku biografi Ali Sastroamidjojo menunjukan halaman
656. Tinggal 3 paragraf lagi, dan usailah sudah perjuangan 8 bulan melahap
sebuah buku secara berjamaah. Sedangkan 10 halaman lagi sisanya, hanyalah
daftar indeks dan catatan pelengkap buku lainnya. Tidak masuk hitungan untuk
dibaca juga.
Uniknya, dia yang sedang membaca bentuk fisiknya jelas sangat berbeda
dengan hadirin kebanyakan. Hitam dan berambut pendek-keriting. Bahasa
Indonesianya pun sangat terbata-bata. Wajar saja, pembacanya adalah seorang
Uganda yang mulai bisa Bahasa Indonesia, meskipun masih sedikit. Meskipun
begitu, keadaan tersebut tidak menyurutkannya untuk menyelesaikan satu paragraf
teks dari buku Tonggak-Tonggak di Perjalananku.
Musa Muwaga namanya. Modal membaca napak tilas Ali Sastroamidjojo hanya
hasil dari interaksinya selama berkuliah di Universitas Padjadjaran Bandung.
Sisanya, dia percayakan sepenuhnya pada teks-teks latin berbahasa Indonesia,
yang berusaha ia baca. Warga Asia-Afrika lainnya yang kebetulan hadir di acara
ini adalah Yagura Roichi, seorang warga Jepang yang tengah melakukan penelitian
di Museum Konferensi Asia-Afrika. Dia pun turut membaca bait-bait kenangan Ali
Sastroamidjojo dengan sangat terbata-bata. Tekad keduanya untuk membaca pun
mampu menuai pujian dan tepuk tangan hadirin lainnya.
***
Tepat jam 18:05 WIB, kalimat terakhir dalam paragraf terakhir buku biografi
Ali Sastroamidjojo pun usai dikumandangkan. Ritual tadarusan ini ditutup oleh
pemaparan riwayat singkat Ali Sastroamidjojo yang dibacakan oleh kang Desmond
Satria Andrian, sosok tinggi-besar yang sampai saat ini selalu menginsipirasi
Sahabat MKAA untuk berkegiatan di Gedung Merdeka.
Ali Sastroamidjojo sendiri merupakan salah satu Bapak Bangsa Indonesia.
Kiprahnya untuk memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia sangat
besar. Di masa-masa awal pemerintahan Indonesia berdiri, beliau ditunjuk
sebagai menteri pendidikan dan kebudayaan. Dia juga duta besar pertama
Indonesia untuk Amerika yang mengawali membuka perwakilan Indonesia di negeri
Paman Sam.
Salah satu puncak karir Ali Sastroamidjojo yang paling diingat oleh banyak
orang adalah jabatannya sebagai Perdana Menteri Republik Indonesia. Di titik
ini, “Ali merupakan sosok pejuang diplomasi, dengan jiwa internasionalisasi
yang konsisten, khususnya konsisten terhadap semangat Bandung,” nilai Elly
Nugraha, plh Kepala Museum Konferensi Asia-Afrika Bandung, dalam sambutan pada
syukuran Khataman Tadarusan buku Tonggak-Tonggak di Perjalananku.
Plh Museum Konferensi
Asia-Afrika (MKAA)
Elly Nugraha tengah
memotong tumpeng
tanda berakhirnya
tadarusan
buku biografi Ali
Sastroamidjojo. (Foto: Yudha PS)
|
Elly berharap, melalui bukunya ini, sosok Ali bisa masuk ke relung-relung
pemuda yang merupakan generasi penerus Bangsa.
Plh Museum Konferensi Asia-Afrika (MKAA) Elly Nugraha tengah memotong
tumpeng tanda berakhirnya tadarusan buku biografi Ali Sastroamidjojo. (Foto:
Yudha PS)
Dalam kesempatan ini, hadir juga Tarida Sastroamidjojo, cucu dari Ali
Sastroamidjojo yang hadir mewakili keluarga besar Ali Sastroamidjojo. Tarida
menghaturkan penghargaan kepada pengelola MKAA. “Saya merasa haru dan bangga
bahwa pihak Museum Konferensi Asia-Afrika Bandung memberikan perhatian pada
karya beliau. Bahkan mencetak dan menerbitkannya, termasuk menyebarkan (buku
Ali Sastroamidjojo) ke khalayak luas,” ungkapnya di depan hadirin dengan penuh
haru. “Semoga isi pesan beliau bisa membuka cakrawala pengetahuan bagi generasi
muda,” tutupnya.
***
Ali Sastroamidjojo adalah inspirasi. Itulah kesimpulan dari peserta
Khataman Tadarusan Tonggak-Tonggak di Perjalananku. Seperti yang dikemukakan
oleh Norma, anggota Asia-Africa Reading Club (AARC). Selama membaca buku
biografi Ali Sastroamidjojo, ibu satu anak ini mengaku mendapatkan banyak ide
untuk menggelorakan semangat “Bandung Ibu Kota Asia-Afrika”.
Contohnya saja, Norma terinspirasi untuk menggelar lomba baca dan malam
keakraban pemuda Asia-Afrika. Meskipun banyak kendala, tetapi Norma yakin
semangat Bandung bisa mendobrak segala keterbatasan yang ia dan teman-temannya
miliki. “Seperti (pemerintah) Indonesia dengan keterbatasan ekonominya mampu
mewujudkan KAA 1955,” tandasnya.
Semangat senada dirasakan oleh Aryo, anggota AARC. Gitaris serta desainer
asal Bandung ini terinspirasi untuk menggaungkan Bandung Ibu Kota Asia-Afrika
ke seantero Bandung. Untuk mengejawantahkan semangatnya ini, Aryo memulainya
dengan merancang kaos dengan pesan “Bandung Ibu Kota Asia-Afrika”.
***
Karya terakhir Ali Sastroamidjojo ini mampu menghadirkan tokoh-tokoh
sejarah dengan sangat manusiawi. Itulah penilaian Desmond, dalam pengantar
Khataman Tadarusan buku Tonggak-Tonggak di Perjalananku. “Karena ditulis dalam
bahasa tutur yang baik,” ungkapnya. Alumnus Sastra Perancis UNPAD ini juga
mengungkapkan bahwa Ali merupakan sosok yang memiliki pandangan Indonesianisme
dan Panasianisme yang kuat.
Peran Ali Sastroamidjojo dalam percaturan diplomasi Indonesia tampak sekali
dalam drama Konferensi Asia-Afrika (KAA) 1955. Ali sebagai sutradara besar
konferensi, berhasil meyakinkan 4 perdana menteri lainnya pada konferensi
Kolombo untuk menyelenggarakan KAA 1955. “Tanpa Colombo Plan, tidak ada KAA,”
tandas Desmond.
Kebesaran Ali semakin tampak ketika KAA 1955 terselenggara di Bandung.
Kecanggihan diplomasinya mampu mengakomodir berbagai latar belakang ideologi
untuk bersatu dalam forum internasional kulit berwarna pertama di dunia itu.
Hal ini salah satunya tampak pada hari kelima penyelenggaraan KAA 1955.
Pada pertemuan politik yang dihadiri seluruh perdana menteri, Chou En Lai,
Perdana Menteri China, berkonflik dengan John Kotawala, Perdana Menteri
Chevlon. Hampir-hampir, KAA 1955 gagal. Namun, berkat campur tangan Ali, konflik
tersebut mampu diredam dan KAA 1955 mampu menghasilkan Dasa Sila Bandung di
malam penutupannya.
Sebagai penutup, Desmond menandaskan bahwa sisi internasionalisme Ali
Sastroamidjojo tampak di halaman-halaman akhir biografinya. Ali masih sempat
mendoakan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk lebih baik lagi. “Sesuatu
(pemikiran) yang patut kita apresiasi tentunya,” tutup Desmond yang disambut
tepuk-tangan dari hadirin.
Semoga, tepuk-tangan tanda terinspirasi untuk menggelorakan semangat
Bandung, untuk sebuah Indonesia dan dunia yang lebih baik lagi.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar