Di Satu Masjid, hari jumat, seorang ustad berceramah begitu
menggebu-gebu, ia tengah memaparkan tafsir dari surat al-Alaq ayat pertama
sampai lima, yaitu ayat yang pertama kali diturunkan Tuhan kepada Muhammad SAW
di Gua Hira melalui malaikat Jibril. Jamaah masjid sudah pasti sepakat terhadap
apa yang dikatakan ustadz, terutama soal membaca sebagai kunci sukses
kebangkitan ummat. Ustadz mengulang-ngulang soal itu, soal membaca adalah kunci
sukses hidup di dunia dan akhirat.
Katanya, peradaban Islam yang dibangun Muhammad adalah peradaban membaca, lihat saja dengan membaca ummat Islam mampu sampai pada fase kebudayaan yang paling tinggi. Antara abad ke-7 sampai ke-12 Masehi, kala itu tak ada satu kebudayaan pun dari bangsa-bangsa yang hidup di muka bumi ini mampu menggapai capaian-capaian seperti apa yang dicapai ummat Islam (karena ketaatannya pada perintah “iqra bismirobbikalladzi kholaq”).
Ustadz itu namanya Oing, ia masih warga kampung Pamucatan. Perannya sebagai ustad kampung, persis seperti peran yang dulu dilakoni Abu Bakar di masa Rasul masih hidup. Yaitu sebagai Imam pengganti Rasul SAW di masjid jika Rasul SAW sedang berhalangan hadir. Abu Bakar adalah orang kedua setelah Rasul SAW, pun Oing adalah orang kedua setelah Ustadz Sepuh Atik.
Ustadz Atik sudah tua, badannya sudah renta, ia mungkin sudah merasa
fisiknya kurang memadai buat jadi penyambung lidah Tuhan kepada ummat. Sebagai
distributor dari firman-firman Tuhan, Ustadz Atik agaknya sudah ogah-ogahan melakoni
peran itu karena alasan fisik tadi. Ustadz Oing kerapkali ditunjuk
menggantikannya, dan ia dengan senang hati melakoni tugas itu, terlihat dari
gayanya yang menggebu-gebu di atas mimbar jumat.
Setelah sang Ustadz memaparkan faedah-faedah dari membaca, dan
perannya mencerdaskan ummat, sampailah ia pada satu kritik yang sudah lumrah. Yaitu
kritik terhadap budaya menonton, budaya menonton memposisikan umat sekedar
penonton pasif saja/konsumen taat, dan itu merusak, kilah ustadz. Maksud budaya
menonton di sini adalah menonton televisi. Si Ustadz dalam hal ini
mengkonfrontir kebudayaan menonton dengan kebudayaan membaca. Ia punya asumsi, jika umat Islam Indonesia ingin cerdas, mereka
harus mengubah kebiasaannya menonton tipi ke kebiasaan membaca, artinya
menggeser satu kebudayaan yang telah berurat berakar yaitu budaya menonton ke
kebudayaan membaca. Namun ini tidak diartikan menghapuskan kebiasaan menonton melainkan
lebih pada meminimalisir waktu yang dihabiskan buat menonton tipi, dan memberi
porsi waktu lebih besar buat kebiasaan membaca. Sebab membaca adalah kunci
sukses, bila ummat ingin maju.
Cepong yang saat itu mendengarkan khutbah Ustadz Oing tentu saja ia
tidak sepakat. Masih ingat dengan ajaran-ajaran yang dipaparkan Colay tempo
hari, yaitu basis mengkondisikan
suprastruktur (kesadaran). Gumam Cepong dalam hati, “Ustadz itu belum tahu,
di dekat Kampung ini ada Kampung bernama Kampung Gunung Bentang sebagian besar
warganya bekerja di perusahaan pembuat cobek dari batu. Pegawainya ada anak-anak
di bawah umur, tidak sedikit, pun wanita, sudah tentu ada pria dewasa.
Kebanyakan anak-anak yang bekerja di situ sudah tahu arti penting membaca, oleh
karenanya mereka ingin sekali sekolah, namun apa daya mereka mesti bekerja,
sebab hanya dengan bekerja mereka bisa makan.”
Bisa dibayangkan, selesai bekerja mereka lelah dan oleh karenanya
butuh hiburan sebagai bagian dari istirahat tubuh dan mental, dan tipi agaknya
objek yang cukup memadai buat dijadikan target pemuasan kebutuhannya akan
hiburan. Bayangkan, dari sekian juta warga Indonesia sebagian besarnya adalah
masyarakat kelas menengah ke bawah yang waktunya lebih banyak dipakai buat
bekerja di perusahaan-perusahaan besar. Wajar jika yang terbentuk adalah
kebudayaan menonton.
Gumamaman batin Cepong makin bergemuruh menanggapi pendapat sang
ustadz. Berangkat dari ketidaksepakatannya terhadap kritik ustadz yang
cenderung idealistic, dan mengabaikan kritik
terhadap basis produksi yang ada, padahal darinyalah suatu kesadaran/kebudayaan
lahir.
Maka dari itu Cepong berpendapat, jika ingin melahirkan satu
kesadaran/kebudayaan yang cerdas dan mencerdaskan, orang mula-mula mesti
menyediakan menggalakan munculnya basis produksi penunjang, tidak cukup hanya
dengan berkoar-koar di mimbar, berharap mampu merubah kesadaran ummat dengan
hanya ceramah. Kaitannya dengan memasifkan tradisi membaca, langkah paling
kecil yang bisa dilakukan misalnya, dengan cara membuka akses sebesar-besarnya
terhadap buku, Koran, alat tulis dan lain-lain untuk kaum pekerja di
perkampungan. Yang melakukan hal ini tentu saja adalah agen yang terorganisir
(kelompok kecil yang ngotot) yang beriman pada ide revolusi. Sekali lagi Cepong
tegaskan, revolusi di sini jangan diartikan sebagai “self revolution”.
Bagi Cepong, mengabaikan basis sama artinya dengan tidak menghendaki
perubahan. Saat itu, saat gumamannya sekedar gumaman ia sepertinya ingin
berteriak pada ustadz menunjukan bahwasannya konon katanya Muhammad SAW sukses
membangun masyarakat madani setelah ia berpindah ke Yatsrib. Di sana, bersama
kelompoknya yang kecil dan ngotot seraya beriman pada gagasan revolusi, mula-mula
yang ia bangun adalah masjid (sebagai tempat berkumpul mengorganisir diri) dan
pasar (basis produksi/ekonomi).
oleh Yoga ZaraAndritra
Tidak ada komentar:
Posting Komentar