Bermusik itu
mengasyikkan, apalagi menulis lirik-puisi, selalu menegangkan, bahkan acap
berakhir dramatis berbaur haru, tapi
setelah dijalani dan bereslah salah satu puisi akan terasa kepuasan yang tiada
tara. Begitupun pada pembuatan album musik “Hidup dan Membiarkan Hidup” (HMH)
terasa campur aduk perasaan, nalar juga perut lapar, mengingat penggarapan
album musik HMH ini dilangsungkan
menyeberangi bulan puasa juga, sebagai muslim yang coba baik, takmungkin
menghindari kewajiban ini. Yang jelas, bermusik memang menyenangkan, ditambah
lagi delapan tahun terakhir ini saya mulai mengakrabi musik lagi, setelah lama
asyik-masyuk dengan teks, diktat kuliah dan akhirnya tugas skripsi tuntas sudah
dikerjakan, meski memakan waktu yang sungguh panjang dan berliku.
Jika
memang semua berawal dari puisi, dari kecintaan saya pada sastra, itu takbisa
dipungkiri, ada kenikmatan yang teramat nikmat, jika rasa suntuk menghadang
dada, lantas menghibur diri dengan membaca karya sastra. Bila kegelisahan yang
menggumpal di kepala, kemudian saya coba tuliskan, semacam kanalisasi atas
penyumbatan pemberontakan rasa di jiwa, maka dari itu semua menjadi sejenis
obat bius yang sanggup terbangkan diri ke alam mayapada.
Pada silam masa, saya juga pernah bermain musik, barangkali diawali dari pembelajaran bermain gitar, semenjak kelas 2 SMP, yang kali pertama diajar sepupu saya bernama Hagar Rukmana (Aa Gah), hingga selepas sekolah tingkat atas, bersama saudara dekat (keponakan-sepupu) sekeluarga (Yayan, Didit, Syarif, Dani, dan Memet) membuat satu grup band beraliran punk rock, di era pertengahan tahun 90-an. Barangkali bermain musik sudah menjamur bagi kalangan anak muda saat itu, sebagai identitas bergengsi bahwa mereka adalah seorang pemusik, meskipun takmemiliki peralatan yang memadai dan tiap pekan mesti sewa studio latihan dengan rereongan udunan antar personil.
Entahlah, bisa jadi waktu itu terstimulus juga
oleh aktivis band lainnya atau teman sebaya, kelompok sepergaulan di tempat
saya tinggal, untuk bermusik, eksis ekpresikan jiwa. Padahal sebelumnya, saya
begitu kurang percaya diri kalau tampil di depan umum. Namun, karena gerakan
jiwa di diri ini yang terus meronta-ronta, juga didorong oleh kawan satu band
ketika itu, maka menyembullah semangat
berkesenian, mencurahkan jiwa raga lewat lagu, musik dan lirik yang
alakadarnya. Akan tetapi itu takberlangsung lama, mungkin kesibukan lain telah
menyita saya, pun kawan saudara satu band juga malah memiliki obesi lain yang
lebih menjanjikan, sehingga bubar sudah kelompok band yang telah saya bentuk
dan hanya kuat bertahan sampai umur 4 tahun. Lumayan. Untuk sebuah media
aktualisasi diri, main band barangkali menjadi alat yang tepat untuk menggiring
emosi yang meluap-luap ke arah nada yang juga menghentak dada.
Sehabis
masa perkuliahan tuntas, bermusik kembali saya geluti, dan saya sedang tidak mengatakan
bahwa bangku kuliah telah mengganggu dan menghentikan saya berkreasi dalam
musik, tidak sedangkal itu. Ada sedikit
kelonggaran pada fase ini, saya pun sedikit lebih fokus pada minat saya, sambil terus menulis puisi-lirik lagu,
sembari juga menulis surat lamaran pekerjaan ke beberapa instansi yang mungkin
menerima saya dan kelak berdaya secara ekonomi. Baru pada pertengahan tahun
2004 kembali menggeliat gairah bermusik ini, beberapa pertunjukan coba
ditampilkan bersama kawan-kawan, tepatnya saudara yang lebih muda, masih dari daerah tempat saya tinggal−Ledeng−, diantaranya ada
Riksa Al Hasil, Herdy F, Yusup SE dan
masih banyak lagi lainnya dengan mencoba menampilkan warna musik balada yang
lebih puitis dan cenderung teatrikal, berawal dari kumpulan remaja Mesjid
(Genererasi Muda Al Amanah-RW 04 Ledeng).
Berikutnya
pada tahun 2005, tatkala saya mulai bergabung dengan salah satu komunitas penulis
Forum Lingkar Pena (FLP) Bandung, tadinya saya berniat belajar menulis sastra
agar lebih baik, justru malah saya lebih terangsang lagi untuk menulis puisi-lirik
lagu, lebih jauh membuat musikalisasi puisi dari kawan-kawan yang tergabung di sana,
kemudian terbentuklah kelompok musikalisasi Kapak Ibrahim. Asal tahu saja nama
kelompok itu saya petik dari penggalan puisi berjudul ‘Indonesia’ karya Topik
Mulyana, seorang punggawa FLP yang mumpuni di bidang sastra. Lama kelamaan, diajak
pula kawan-kawan sebelumnya, personil dari Ledeng, dan kawan-kawan dari FLP,
diantaranya Lian Kagura, Hendra Purnama, Teny Indah S, kemudian ada Noel Saga
turut mewarnai kelompok musikalisasi puisi Kapak Ibrahim, sejak awal Agustus 2005 nyaris tiap pekan selalu
tampil, diundang oleh satu komunitas, kampus, sekolah tertentu, menawarkan
gagasan yang sebenarnya tidak baru untuk konsep musikalisasi puisi. Karena pada
saat itu, sudah cukup ramai orang-orang tampilkan musikalisasi puisi, tentu
saja dengan beragam latar musik dan variasinya.
Setelah melewati beberapa panggung, pertunjukan, forum dan pentas-pentas lokal, saya masih dihantui kebodohan diri dan selalu saja merasa takmemiliki apa-apa, baik dalam bermusik maupun membuat syair, kendati memang niat dan semangat takboleh mati begitu saja. Pada lain waktu terus mengapreasiasi, belajar dari para pemusik yang lebih senior, sebut saja Mukti-Mukti, Ferry Curtis, Ganjar Noor, Ary Juliant, Egi Fedly, Ary Piul Tretura dan masih banyak lagi musisi atau grup musik lainnya, mencoba menyimak penampilan mereka, juga kembali lagi mendengar lagu-lagu karya masterpiece dari zaman dulu hingga sekarang. Sebagaimana penulis yang baik adalah juga pembaca yang baik, begitu pun pemusik yang baik niscaya adalah pendengar musik yang luarbiasa, tentu saja segala yang singgah di kuping itu dijadikan sebagai referensi seseorang dalam berkarya.
Selanjutnya
Museum Konperensi Asia Afrika (MKAA) saya satroni dengan malu-malu sekaligus
memalukan, pada medio tahun 2009, atas undangan Deni Rachman (Saudagar Buku
dari Bojongkoneng) untuk sama-sama membuat gempita perhelatan Festival
Kemerdekaan Republik Indonesia yang sudah diagendakan jauh-jauh hari. Pertemuan
demi pertemuan dilalui dengan malu-malu, lambat laun program-progam yang
kemudian digulirkan satu komunitas terpenting di MKAA yakni Asian African
Reading Club (AARC) saya jalani dengan khusyu dan sungguh-sungguh, walau pada
akhirnya saya pun membuat kebisingan di sana, diantaranya bermain musik dan
yang seperti dengan ekpresi musik, sebagai misal pembacaan puisi, sehingga
orang-orang termalukan karenanya, atau mungkin merasa risih, mengingat museum
yang konon tempat menyimpan benda purbakala, pusaka dan direka untuk menjadi
hening, karena seolah waktu telah terhenti dan terkubur di sini, tiba-tiba saja
lengkingan suara yang jauh dari indah, juga petikan gitar beserta perkusi yang
masih jauh dari apa yang disebut estetika paling mantap, malah terus membahana
hampir tiap pekan di salah satu ruangan MKAA. Kenyataan ini membuat efek yang
mungkin diterima beragam oleh kawan-kawan jemaat Al Asia Afrikaiyah (Sebutan
penggiat AARC).
Sialnya,
dari Tadarusan buku AARC ( Diskusi buku ala AARC), malah membawa dampak paling kuat bagi saya untuk merefleksikan
kembali naskah yang kini menjadi klasik, sebut saja salah satu diantaranya Buku
The Bandung Connection (Karya Dr. Roeslan Abdulgani-1980). Betapa tidak dari
buku tersebut, saya harus mengatakan bahwa Bandung dan Indonesia pada umumnya
pantas kita banggakan, karena telah mampu menggelar Konperensi yang paling
berpengaruh sampai detik ini, terutama bagi perkembangan politik luar negeri
dalam upaya memelihara perdamaian dunia, berdasar pada kemerdekaan dan
ketertiban yang sejati, sampai-sampai Indonesia menjadi salah satu negeri yang
disegani dan menjati patron perjuangan bangsa-bangsa kulit berwarna untuk
melepaskan diri dari belenggu penjajahan. Salah satu bentuk refleksi atas teks
yang telah dibacakan dan kemudian diperbincangkan sampai berbulan-bulan pada
Tadarusan AARC, karena begitu tebal dan alot pembahasan tapi sebenarnya
menggairahkan, lahirlah teks lain yaitu
puisi atau semacam impresi atas kebodohan saya dalam memuliakan
orang-orang yang yang telah begitu berjasa demi kejayaan ibu pertiwi, atau
semacam syair atas ketidakpedulian saya pada peristiwa silam waktu yang
semestinya jadi pelajaran terpenting bagi generasi terkini sampai masa
mendatang.
Pada
agenda Milangkala AARC ke-2, 15 Agustus 2011, lahir sudah album musik
“Merayakan Perdamaian” (MP) Adew Habtsa & Kapak Ibrahim, direkam secara
digital di B3ST Music Studio Bandung, proses penggarapan album ini dikerjakan
kurang lebih 3 bulan, dengan tema minamalis, murni akustik, tentu saja semua
lagu terinspirasi dari teks dan peristiwa Konperensi Bandung, juga dilengkapi
pidato Bung Karno dan Pembacaan Puisi. Nah, barulah pada awal tahun 2012,
perjumpaan saya yang intens dengan R Ario Stevano (Gitaris-Caturpilar), juga
Irwan Aditya (Drummer-Caturpilar), yang ternyata sama-sama memiliki komitmen untuk
menggarap lagu-lagu saya supaya lebih serius dan membawa konsep musik berband,
sebagaimana obsesi saya terdahulu, yang sempat menggemuruh saat itu, namun
karena satu dan lain hal, tercekat di tengah jalan.
Ya, obsesi lama nge-Band yang kini muncrat bak letusaan gunung berapi, setelah lama
terpendam, yang sebelumnya juga digoda dengan merdu merayu oleh Gunawan Suryana
(Kawan FLP Bandung) untuk main musik dengan
konsep yang lebih ‘anakmuda kekinian’, juga Trisno Yuwono, Jante Arkidam
(Komunitas Balada Bandung) sempat beberapa saat lamanya bergumul dalam musik
dan penampilan pada beberapa panggung bersama saya. Awalnya memang kurang
percaya diri, sempat terlintas keraguan kalaulah tampil dengan konsep Band,
mengingat begitu banyak pertimbangan dan lain sebagianya. Namun, setelah dicoba
tampil dengan kerangka Band seperti itu, dengan bantuan Ario dan Adit, akhirnya
saya seperti menemukan masa lalu saya yang mungkin saja penuh gejolak, tapi
taksempat terpenuhi semuanya. Apa memang roda nasib terus berputar, atau memang
pepatah lama menyebut: sejarah akan kembali terulang. Entahlah. Sekali lagi,
saya ingin mengatakan bahwa bermusik nyata memudakan jiwa dan menyegarkan
spirit kita.
Kemudian saya pun mengajak kawan lainnya, yang
memang sudah lama berkecimpung di dunia musik untuk mewujudkan karya album Adew
Habtsa ‘HMH’, diantaranya Riksa Al Hasil (Bandung Inikami Orkescha) pada biola,
Herdy Ferdiana (Closehead) berkontribusi pada vocal latar, Hendra Purnama sumbangkan suara
harmonika, Desmond SA (Staf MKAA) susupkan suara orasi Bung Karno, lantas Ario
pun mengajak Ana (Caturpilar) bantu vocal dalam salah satu lagu, lalu R Prayugo
Wicaksono (Glory of Love) turut perkuat
formasi musik ini agar lebih energik dan masakini, takketinggalan Igo
(Panggilan R. Prayugo Wicaksono) mengundang Aldy Ramadhan (Danger Ranger) untuk
sama-sama semarakan proyek album ini, yang kemudian hari tercetuslah nama yang
barangkali unik, aneh, lain dari yang lain: ADEW HABTSA & REKAN, berdasar
usulan R Ario Stevano, dan semua personil mengamini predikat itu.
Kurang
lebih dua bulan lamanya penggarapan album ini dibuat secara berjamaah, dengan Imam
musik di bawah komando R Ario Stevano, dimulai awal Juli 2012 sampai akhir
bulan Agustus 2012, masih di B3ST Music Studio, di Jalan Ancol Timur XIII No.
17, direkam secara digital, full band. Pada album Adew Habtsa & Rekan
“HMH”, terdiri dari 10 karya lagu, semua lirik dan lagu ditulis Adew Habtsa, 4
lagu sebelumnya pernah ada di album Adew Habtsa “MP”(Damai, Bandung, Egaliter, Pojok
Museum), kemudian diaransemen ulang dengan warna musik yang lebih berbeda dan
khas. Lagu terbaru di album ini adalah ‘Lagu Penyelundup’, ‘Lagu Hidup’, dan ‘Lagu
Tulus’. Adapun 3 komposisi lagu yang lain, diadaptasi dari karya puisi berjudul
‘Gentong Kosong’(Wiji Thukul 1997), Meriang (M Aan Mansyur-2004) dan puisi
karya Remy Sylado berjudul ‘Papi Mewanti Anak’ (1974). Pada bagian lain,
diantara lagu di album “HMH” ini disisipkan pula pembacaan petikan pidato Bung
Karno pada tahun 1955 yang dibacakan dengan ekspresif, lantang dan berani oleh
sahabat sekaligus guru saya yakni Desmond SA, nukilan pidato ini sesungguhnya
berbahasa Inggris namun sudah diterjemahkan, saat Bung Karno membuka Konperensi
Asia Afrika, yang intinya bertekad lahirkan Asia dan Afrika baru yang lebih
maju, bersatu, berdaulat, menguatkan diri bersatu melawan segala bentuk
kolonialisme-imperialisme.
Berkaitan
dengan puisi-lirik lagu yang saya tulis pada album “HMH” ini, input terbesar,
saya akui terpantik dari buku The Bandung Connection (1980) karya Dr. Roeslan
Abdulgani, semoga Tuhan yang Mahaindah mengaruniakan balasan yang terbaik juga
yang terindah pada beliau di alam sana, yang telah menuliskan satu moment
terpenting dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia, dan kini mampu
menginspirasi orang paling pilon, seperti saya, untuk tergerak, belajar dan
mencintai nusantara ini semampu yang
saya bisa, coba kembali suarakan
semangat juang para Guru Bangsa, meski memang masih jauh dari apa yang
diharapkan. Setidaknya, saya dan rekan-rekan sedang berikhtiar memperbaiki
nasib diri, lebih jauh dari itu berharap menghidangkan karya musik yang
sekiranya dapat menghibur, menyegarkan, mencerdaskan sekaligus menggerakkan
masyarakat banyak ke arah peradaban yang lebih baik. Semoga.
Adapun
tentang penamaan judul album “Hidup dan membiarkan hidup”, saya peroleh dari
pemikiran Bung Karno yang menyebut bahwa Bangsa Indonesia adalah bangsa yang
besar, dengan segala kemacamragaman suku bangsa, keanekaragaman budaya dan
agama, serta kepelbagaian citarasa hidup, sehingga dalam kondisi yang
berbhinneka tersebut, prinsip ‘hidup dan membiarkan hidup’ merupakan satu
keniscayaan dan mesti tertanam di hati sanubari rakyat Indonesia dimanapun dan
kapanpun mereka berada. Dengan satu keyakinan penuh bahwa kita semua adalah
satu rumpun, satu saudara sekaligus satu bangsa yang siap dengan rupa-rupa
perbedaan yang ada. Bila saja pernyataan hidup berbangsa dan bermasyarakat:
hidup dan membiarkan hidup, sudah terpateri, maka potensi konflik dan
perseteruan diantara sesama warga, akan mudah terhindari. Inilah toleransi
hidup yang seyogianya menjadi prioritas utama dalam keberlangsungan hidup. Harapan
besarnya kira-kira seperti itu.
Akhirnya, ucapan terimakasih takterhingga,
bagi siapapun yang telah memudahkan dan melancarkan album musik Adew Habtsa
& Rekan “Hidup dan Membiarkan Hidup” ini lahir dan bergulir, terutama bagi
para pemusik, para apresiator musik Indonesia, rekan-rekan seperjuangan di
Museum Konperensi Asia Afrika (Sahabat Museum Konperensi Asia Afrika-SMKAA),
rekan-rekan sebangsa setanah air, kiranya cukuplah Tuhan Yang Mahabaik,
membalas segala kebaikan. Bismillah, God
Speed!
Bandung, awal Oktober 2012
Adew Habtsa, Sekretaris
Jenderal Asian African Reading Club.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar