Seandainya semua orang senang
membaca, barangkali takakan ada orang yang tersiksa dan menyiksa sesamanya,
baik secara jasmani maupun rohani. Membaca apapun, apasaja, baik yang tersirat
maupun yang tersurat, yang nampak ataupun yang tersembunyi. Dari apa yang terbaca,
kemudian mengendap dalam batin masing-masing, suatu saat nanti, yakinlah, akan
menjelma petir yang menggelegar, menjadi bunyi alam yang paling merdu, atau
merupa lukisan semesta paling mengejutkan, bahkan menjadi api perlawanan
terhadap apapun yang mendera lahir batin kita, sehingga kita tidak mungkin akan
menganiaya orang lain atau semesta raya.
Tinggal bagaimana memperlakukan obyek yang kita baca itu, seperti juga yang rutin kami baca tiap rabu sore di Museum Konperensi Asia Afrika, pada guliran Tadarusan buku “Tonggak-Tonggak di Perjalananku” karya Ali Sastroamidjojo, seseorang yang pernah menjabat sebagai Perdana Menteri dalam salah satu kabinet masa Bung Karno, seorang diplomat ulung di beberapa Negara asing, dan pernah menjabat sebagai ketua Konperensi Bandung tahun 1955. Entah sudah pertemuan ke berapa, pembahas demi pembahas bergantian, pun para mudaris ( peserta tadarusan) datang dan pergi, fokus pembicaraan berpindah dari satu ranah ke ranah lain, tema kajian begitu beragam. Buku termaksud jelas menjadi perangsang siapapun yang kebetulan hadir, untuk coba mengembangkan daya nalar dan alam pikirannya, bergegas hendak pergi ke masa lalu, pada satu masa pergolakan bangsa Indonesia yang semuanya berawal dari imaji besar untuk membangun sebuah bangsa yang berdaulat, kemudian merebut imaji kemerdekaan yang sudah lama diidamkan, lalu setelah itu mempertahankan imaji itu, hingga sekarang sampai masa yang entah sampai kapan, yang terang semuanya berharap dapat mewujudkan impian besar satu negeri yang juga besar dengan cara dan langkah-langkah yang teramat sederhana, bahkan sungguh mengharukan.
Buku
karya sang pejuang tangguh ini, menampilkan kisah perjalanan satu bangsa yang
takmau terus-terusan tersiksa dan mustahil melakukan penyiksaan pada yang
lainnya. Tersiksa oleh penyiksa, dari ujung rambut sampai telapak kaki,
tersiksa di gerak nafas,langkah kaki, sampai arah pandang pun dibuat taknyaman,
belum lagi tersiksa lidah, mulut, hingga suara rakyat tersiksa, terdengar erang
sakit, yang taktahu siapa akan mengobatinya, kecuali diri kita ini, untuk terus
mau membaca dan melepaskan diri tiap siksaan itu. Mereka memang taksegan-segan
untuk terus-menerus menyiksa, begitu banyak motif, tujuan, dan misi yang
terbawa, hingga kita pun menjadi korban penyiksaan, dari dulu, dan pasti saat
ini pun takjauh beda. Disadari atau tidak, siksaan yang paling lembut dan
kasar, bersatu di dalamnya, menghampiri kita, lewat bacaan, tontonan, juga
makanan, minuman, lebih parah lagi, udara dan air pun seperti menyiksa, pada
sebagian tempat, ulah dari penyiksa gila, berkedok kemajuan zaman.
Pada
sisi yang lain, teman dan kerabat di lingkungan kita terus menyiksa, dengan
sikap dan tingkahlaku yang mirip dengan penjajah pongah, mirip penguasa
berbusa, mirip pemimpin rezim lalim, tiba-tiba mereka meniru sikap hidup
seperti itu, mentang-mentang berada pada kedudukan yang empuk dan berada di
menara pengawas, serta merta siksaan ditujukan pada kita, bertubi-tubi,
takingat bahwa kita berasal dari tanah yang sama, bumi yang sama, hidup di
bawah sinar matahari yang sama. Tetapi perilaku penyiksaan terus saja takbisa
dihentikan, takada yang mengingatkan, sedikit orang saja yang mau mengerti,
padahal tampak sudah kerusakan, bukit dan lembah menyerah, isi bumi paling
menguntungkan tertawan di kerling mata mereka, pohonan kena tekanan, air
tersingkir menjauh, udara panas membara, bebunyian merdu malah tersedu-sedu,
bising knalpot di jalan raya, tuturbahasa yang jauh dari sikap manusiawi
menganggap yang lainnya takjauh beda dengan binatang, harta kekayaan negara
dirampok lara dan masih banyak lagi bentuk siksaan lainnya. Itu semua terjadi
berdasar asumsi saya ialah buah dari pembacaan yang buruk pada masalalu,
hasil dari pembacaan yang tidakbaik pada sejarah bangsa, dan boleh jadi para penyiksa
itu telah mencampakkan jatidirinya sebagai bangsa, sebagai keluarga, sebagai
pribadi yang semestinya cerlang cemerlang membawa bintang yang sinari kegelapan
diri, menggotong pelangi yang indahkan masa depan atau menyodorkan hujan yang
suburkan harapan.
Sampai
kapan siksaan ini akan berakhir,sementara kami hanya duduk melingkar, tiap rabu
sore, di salah sudut ruangan di Museum KAA yang konon telah mengharamkan
siksaan kolonialisme dengan segala format dan variasi terkininya, lantas
bersama-sama menumbuhkan gairah membaca buku dan teks lainnya, coba saling
kuatkan niat untuk lebih berarti dan sampaikan arti yang semestinya diartikan
dengan benar dengan segala keterbatasan yang ada. Sedangkan sebagian masyarakat
malah takmerasa tersiksa, berasyik-asyik dengan kesenangan hidup, toh
masyarakat pada umumnya berharap solusi yang aplikatif atas kenyataan hidup
yang takbosan-bosan menyiksa. Segala macam upaya dikerahkan, ikhtiar lain yang
mungkin berguna, dengan kembali menumbuhkan semangat belajar, yakni membaca kembali
wawasan dari silam waktu secara berjaamah, siapa tahu kalaulah berbarengan akan
lebih enteng segala beban, dan semua diharapkan menjadi amunisi dan peluru yang
tembakkan kecerobohan, yang letuskan kesombongan, dan yang akan ledakkan
keserakahan diri.
Salah
satu diantaranya, dari buku Tonggak-Tonggak di Perjalananku (1974), buah
pikir Ali Sastroamidjojo, siapa tahu ada peristiwa, paragraf, kalimat, frase
atau bahkan kata yang termuat pada setiap lembaran buku tersebut, yang
membuat kita makin menyadari kedudukan kita selaku anak bangsa yang hari
ini seperti kehilangan patron yang paling top, seolah kehilangan figur
negarawan agung untuk bersikap, seakan terbingungkan oleh realitas politik yang
takjelas arah juntrungannya berkenaan dengan arah juang pembangunan bangsa ini
dan setelah itu kita pun berhasrat lepaskan diri dari siksaan
politik-ekonomi-sosial-budaya, syukur-syukur kita dapat pemahaman yang utuh,
dan lalu bertekad nyata, misal: mustahil kita pun akan menyiksa alam raya dan
seluruh penghuninya.
Bandung,
Oktober
2012
Adew
Habtsa, tinggal di Bandung, Penyelundup di Asian African Reading Club-Sahabat
Museum KAA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar