Takterkira dalam silam masa, Museum Konperensi
Asia Afrika saya datangi, sehubungan gedung ini akan selenggarakan perhelatan
untuk perayaan kemerdekaan, semacam upaya penguatan kembali ingatan pada
peristiwa proklamasi kemerdekaan. Rasanya masih aktual, dan bukankah gedung ini
dinamakan gedung merdeka, yang pada saatnya nanti akan embuskan angin sejuk
kedamaian, jua kobarkan api perjuangan dalam upaya memerdekakan siapapun,
apapun, tanah, air, segala hal yang sedang dalam genggaman penjajah.
Semoga Anda setuju, saya hendak mengatakan
bahwasanya semangat perlawanan terhadap penjajah, kiranya masih tepat dan
aktual. Jika saja kita mau membaca realitas hari ini, format baru kolonialisme
telah lama dimulai, hanya saja kita takmenyadarinya. Barangkali mereka telah
membius kita, dengan perkara-perkara yang bisa lumpuhkan gerakjuang manusia
Indonesia, terlebih seluruh umat yang ada di muka bumi ini, yang diam-diam kena
bius penjajahan, jangan-jangan, sebentar lagi tergerus zaman. Mudah-mudahan
kita segera memahami kondisi tersebut, lalu bergerak selaras dengan peran dan
kapasitas masing-masing.
Ada pemikiran yang sangat menggugah, tersurat
pada tulisan Yudi Latif dalam bukunya “Menyemai Karakter Bangsa: Budaya
kebangkitan berbasis Kesastraan” (2009), inilah nukilannya: Gerakan kebudayaan
merupakan jantung dari reformasi sosial. Pada dekade tahun 1960-an, Herbert
Marcuse menekankan dimensi estetika dari gerakan sosial. Pada masa itu, dengan
menegaskan bahwa dalam seni, musik, dan sastra-lah gerakan-gerakan sosial
mengingat dan menyimpan tradisi kritik dan perlawanan.
Museum sebagai laboraturium sosial budaya
menemukan fungsinya yang tepat untuk sama-sama semaikan bibit-bibit kecintaan
pada aktivitas belajar, terutama berkaitan dengan masalalu, sejarah, yang
diharapkan menjadi cerminan kita semua untuk melangkah, menata masa depan.
Lebih jauh dari itu, museum diproyeksikan menjadi titik awal pemberangkatan
gerakan kebudayaan suatu bangsa. Dari tempat inilah, setidak-tidaknya, kita
bisa menggali etos dan jiwa kebudayaan suatu bangsa, terutama jatidiri bangsa
kita: Indonesia.
Sebut saja, di Museum KAA, terdapat foto, patung,
artefak lainnya yang menandakan bahwa peristiwa Konperensi Bandung telah
berlansung pada tahun 1955, dari salah satu tempat itu saja kita dapat
mendapatkan penjelasan tentang Republik Indonesia yang baru saja berusia 10
tahun, sudah sanggup mengundang bangsa-bangsa terjajah dan yang sedang berusaha
lepas dari cengkeraman kolonialisme, dan negeri ini di kala itu mampu memberi
semangat dan dorongan untuk seluruh bangsa kulit berwarna, agar bersatu,
bekerjsama, memperbaiki nasib masing-masing, dan tetap menjunjung tinggi
persaudaraan, kesetaraan, dan semangat perjuangan yang takboleh padam.
Belum lagi, dari museum-museum lainnya, yang
tentu saja diharapakan dapat menyampaikan pengetahuan dan sosialisasi
nilai-nilai budaya dan kebangsaan bagi sebesar-besar kepentingan masyarakat.
Dengan kata lain, Museum menjadi ruang publik yang paling asyik untuk belajar
mengenal sejarah dan jatidiri bangsa, yang kini sudah mulai samar dan takjelas
arah pijakannya. Hal ini bisa saja berlebihan, mengharapkan semuanya pada pihak
museum, lebih jauh andil Pemerintah (political will), akan tetapi yang takkalah
penting juga adalah itikad individu (individual will), tiap diri dari kita,
untuk menyisihkan waktu, meneguhkan tekad, dalam rangka mewujudkan masyarakat
Indonesia yang utuh dan bersatu.
Sampai bagian ini, kehadiran Museum, paling
tidak, diusahakan mampu berperanserta aktif dalam membentuk karakter bangsa,
membantu melahirkan kader penerus bangsa yang memiliki integritas berkualitas.
Agak muluk memang, tapi kalau saja kita memiliki komitmen bersama untuk
mati-matian membangun peradaban bangsa, maka pilihan pembangunan watak bangsa
berdasar nila-nilai luhur budaya bangsa, menjadi sebuah kemestian, agar tetap
dalam kendali dan memiliki kekhasan sebagai warga masyarakat yang berharkat dan
martabat yang layak lagi mulia.
Museum sebagai salah satu ruang publik, bolehlah
kiranya dihampiri oleh segenap komunitas, kelompok sosial, dan organisasi hobi
lainnya dengan membawa pisau analisis dan latarbelakang minat yang
beranekaragam untuk sama-sama membangun karakter bangsa yang khas, Indonesia.
Inilah yang saya sebut gerakan sosial (social will), seperti terpapar
sebelumnya dari pemikiran Herbert Marcuse, yang dikutip Yudi Latif dalam salah
satu eseinya, bahwasanya gerakan sosial menjadi sarana yang ampuh untuk lakukan
kritik tertahap apapun yang merusak, sampai lakukan perlawanan yang elegant,
berdasar aspek estetika yang paling indah. Pada seni, musik, bahasa dan sastra,
penyampaian nilai pembangun karakter bangsa ini diharapkan hadir, mengalir, dan
terus bergulir. Walhasil peran individu, dalam hal ini, seniman, sastrawan,
penyuka seni, apresiator, pada gilirannya nanti dapat menularkan nilai dan sikap
hidup yang mumpuni, agar terciptalah karakateristik budaya bangsa yang
bersahaja sekaligus penuh karya nyata.
Moga kita semua masih memercayai para pejabat,
politikus, penggiat partai, siapapun yang punya itikad baik dalam mewujudkan
masyarakat Indonesia seutuhnya melalu program dan misinya masing-masing, dan
pada sisi lain, gerakan kebudayaan yang belum, sedang dan akan terus
menggelinding dinantikan kiprah-kaprahnya. Takterkecuali, kini yang sedang
menggeliat di Museum KAA, perihal segala unsur kebudayaan coba diguar kembali,
demi kejayaan Nusantara. Melalui seni lukis, rupa, tari, atau lewat nyanyian
dan musik yang bisa menggugah jiwa lara merana, untuk segera bangkit, atau
melalui studi bahasa, puisi, cerpen, esei, novel, apapun ranah sastra lainnya,
untuk sama-sama memberikan sumbangsih berarti dalam ide pemikiran, biar
masyarakat pun mengetahui dan merasakan gerangan apa yang terjadi di negeri
ini, jangan sampai larut dalam hal-hal remeh sensasional, yang merugikan
perkembangan kemasyarakatan kita.
Detik ini, kita telah kehilangan kejujuran untuk
mengenal diri kita masing-masing, waktu pun cepat berlalu, hingga kita terlupa
untuk merenung sejenak saja. Sebagai misal mendatangi Museum, menziarahi
masalalu, mereguk bekal ilmu pengetahuan selaku penerang di tengah kegelapan
zaman, dan membaca amal perbuatan masing-masing tentang aktualisasi diri kita
yang sesungguhnya, seperti lakukan persembahan terbaik dengan amal karya kita
guna keberlanjutan kisah Indonesia ini.
Akhirnya, saya haturkan selamat memaknai usia,
bilkhusus untuk komunitas Asian African Reading Club, salah satu klub di Museum
KAA, yang telah memasuki usia ke-3 bergulat dalam upaya mencerdaskan kehidupan
bangsa. Konon, klub ini menjadi ujung tombak penyampaian nilai dan pandangan
hidup berdasarkan kemanusiaan yang adil dan beradab, dalam kerangka memajukan
dan memelihara perdamaian dunia. Mari bergerak, berderak dan menghentak dengan
sesuatu yang apik jua baik. Tetap peka dan merdeka, agar nusantara digdaya
adanya.
Bandung, September 2012
Adew Habtsa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar