Joebaar Ajoeb : LEKRA Dan PKI
“Politik Adalah Panglima”
Petikan Dari Buku:
Sekitar Polemik Pramoedya-Lekra vs Manikebu
SALAH
satu pesan Pramoedya adalah bahwa dalam mengungkap soal yang jadi
persoalan polemik antara Lekra dan Manikebu perlu diingat sikon obyektif politik internasional. Yakni Perang Dingin. Perang antara 2 Blok: “Barat
vs Timur” atau “Kapitalis/Imperialis vs Sosialis/Komunis”. Dengan
perwujudannya dalam perjuangan politik internasional antara 2 “adikuasa”
yang masing-masing mewakili “Blok”nya: Amerika Serikat dan Uni Soviet.
Begitulah juga, menurut hemat saya, dalam soal peristiwa Kudeta Militer 1 Oktober 1965 teriring Teror Putih atau pementasan Tragedi Nasional dengan korbannya jutaan manusia. Yang terdiri dari kaum komunis,
nasionalis dan kaum demokrat lainnya yang mendukung garis politik
Presiden Sukarno untuk mewujudkan kemerdekaan yang penuh dan masyarakat
Sosialis ala Indonesia. Perjuangan politik tingkat nasional itu erat
dengan perjuangan perpolitikan internasional dalam rangka implementasi
taktik-trik Perang Dingin. Dalam mana penumbangan rezim Sukarno yang
didukung oleh PKI dan pratai-partai demokratik lainnya oleh kaum
militeris kanan dibawah komando politik Jenderal-Jenderal
Suharto-Nasution adalah suatu hal yang selaras dengan taktik-strategi
kaum nekolim pimpinan AS alias pemimpin Blok Barat.
Dengan kata lain, penegakan rezim militer Orde Baru pimpinan Jenderal-Jenderal Suharto-Nasution yang anti-komunis dan penumbangan rezim Orde Lama BK adalah tak lain tak bukan kecuali merupakan manifestasi dari puncak perjuangan perebutan kekuasaan politik. Suatu bukti dari sekian banyak bukti kemenangan politik kaum nekolim alias “Blok Barat” pimpinan kaum nekolim AS yang anti-sosialis/komunis atas “Blok Timur”.
Maka
dari itu, tidaklah mengherankan kalau sebelum, selagi dan sesudah
berdirinya rezim OrBa Jenderal garis politik anti-komunis-lah yang
dipropagandakan dan di-implimentasi-kan oleh sang penguasa yang menang
sekalian para pendukungnya di berbagai bidang kehidupan masyarakat,
termasuk bidang kebudayaan – termasuk di dalamnya barisan Manikebu
sekalian pendukungnya. Dengan menggunakan metode “tujuan menghalalkan
segala cara” – termasuk cara-cara fitnah dan dusta atau propaganda
hitam, serta berbagai manifestasi aksi teroris sebagai perwujudan dari
Teror Putih dalam skala nasional. Semua kekuatan orsospol pendukung OrLa
BK dianggap musuh; dengan diberikan cap sebagai pendukung dan
simpatisan “G30S/PKI”. Sebaliknya, rezim OrBa Jenderal dengan kekuatan
militer yang dijadikan penyangga utamanya berupaya menggunakan semua
kekuatan anti-komunis dan orsospol yang direkayasanya untuk
mengkonsolidasi sekaligus melanggengkan kekuasaannya.
Rezim
tirani atau diktatorial dengan segala variasinya pada hakikatnya sama
saja. Yakni berupa manifestasi aksi dari arogansi kekuasaan yang
sewenang-wenang – mulai dari tipudaya secara halus atau licin-bulus
sampai pada pembunuhan karakter dengan kata-kata atau pernyataan
teriring pembunuhan fisik teramat bengis. Seperti pemberian cap sarat
tuduhan “Terlibat G30S/PKI” itu. Baik terhadap orang perorangan maupun
terhadap grup, kolektip atau orsospol. Salah satu organisasi yang
terkena itu adalah Lekra.
Pada
bagian-bagian terdahulu, dan dalam banyak kesempatan, sudah ada
bantahan atas ke-tidak-benar-an tudingan terhadap organisasi kebudayaan
terbesar di seluruh Indonesia dalam zaman Sukarno itu. Yang diutarakan
baik oleh kalangan Lekra sendiri maupun para pakar internasional. Dalam
kaitan soal yang menjadi persoalan penting ini, menurut hemat saya,
perlu diutarakan apa dan bagaimana opini dari orang pertamanya sendiri.
Selaku saksi sekaligus pelaku sejarah. Yakni Joebaar Ajoeb sang Sekretaris Umum Lekra. Seperti yang pernah disiar Majalah Seni Sastra KREASI yang dieditori oleh D.Tanaera alias A.Kohar Ibrahim, di bawah ini.
*
Joebaar Ajoeb:
LEKRA Dan PKI
“Politik Adalah Panglima”
LEKRA DAN PKI
LEKRA
adalah sebuah gerakan kebudayaan yang nasional dan kerakyatan, yang di
dalamnya memang ada orang-orang yang jadi anggota PKI, tetapi yang
sebagian besarnya, bukan. Lekra didirikan dan bekerja untuk kepentingan
yang nasional dan kerakyatan di lapangan kebudayaan. LEKRA, sebagaimana
terlihat pada Mukaddimahnya, tidak mengazaskan kegiatannya pada
pandangan klas dan atau Marxisme-Leninisme. Juga organisasi yang
mengatur kegiatannya tidak berbau Leninisme sedikitpun. Bahwa ada karya
di lingkungan LEKRA yang dialamatkan langsung kepada kepentingan Partai
Komunis Indonesia, ia sudah tentu secara langsung menjadi tangungjawab
pencipta karya itu, yang mungkin saja anggota PKI. Orang berhak
memuliakan sesuatu yang ia anggap demikian, namun haknya itu hendaklah
pula diperlakukan dengan adil ketika ia mempertanggungjawabkannya.
Adapun
tanggungjawab LEKRA, ia berada di lingkup selama karya itu tidak anti
Rakyat dan tidak anti Revolusi Agustus 45, atau seperti yang dinyatakan
dalam Mukaddimahnya, “LEKRA menyetujui setiap aliran bentuk dan gaya,
selama ia setia pada kebenaran, keadilan dan kemajuan, dan selama ia mengusahakan
keindahan artistik yang setinggi-tingginya” dan “LEKRA mengulurkan
tangan kepada organisasi kebudayaan yang lain dari aliran atau keyakinan
apapun untuk bekerjasama dalam pengabdian ini.”
Adapun PKI, ia sebuah partai politik. Dan
politik, adalah sebuah pembidangan teoritis. Seni, sastra, ilmu dan
kebudayaan juga demikian. Adalah ilmu yang mengkategorisasikannya
demikian. Demi memudahkan kita memahami kenyataan. Yang sungguh luar
biasa rumitnya. Ia hidup dan berubah. Ia kimiawi. Maka itu diperlukan
batasan pengertian. Karakterisasi dan kategorisasi.
Mari
kita singgah sebentar pada yang elementer. Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, arti kata politik sehubungan dengan ilmu adalah, pengetahuan
mengenai kenegaraan, seperti sistem dan dasar-dasar pemerintahan. Arti
kedua ialah, segala urusan dan tindakan (kebijaksanaan, siasat, dsb.)
mengenai pemerintahan negara. Arti ketiga, kebijaksanaan, cara
bertindak. Imam Ghazali merumuskan: “segala yang menyangkut negara
adalah politik”. Sekarang lihatlah bagaimana pengertian politik itu
bekerja dalam kenyataannya, pada sebuah masalah saja. Dalam hal ini
masalah LEKRA dan PKI, dua buah organisasi yang kait mengait dalam
kerjasama tapi juga tentang menentang. Mari kita lihat, salah satu
pertentangannya yang laten dan yang fatal ternyata.
Kira-kira
menjelang akhir tahun 64, sebuah gagasan PKI disampaikan kepada
sementara anggota Pimpinan Pusat LEKRA. Gagasan itu menghendaki agar
LEKRA dijadikan organisasi PKI yang juga punya anggota non-PKI. Jika
LEKRA setuju pada gagasan yang praktis mem-PKI-kan LEKRA, maka hal itu
akan diumumkan secara formal. Tapi LEKRA telah menolak gagasan itu.
Bukan tanpa alasan. Alasannya amat sehat, demokratis dan sudah tentu
demi kepentingannya sebagai organisasi kebudayaan yang tujuan-tujuannya
telah disimpulkan di dalam « Mukaddimah » organisasinya.
Nyoto
yang Anggota Sekretariat Pimpinan Pusat LEKRA adalah juga Wakil Ketua
II CC PKI, ikut serta menolak gagasan mem-PKI-kan LEKRA itu. Saya dapat
mengerti akibat-akibat yang dapat timbul dari penolakan itu. Anda
mungkin tahu atau ingat, PKI di tahun itu sedang bugar-bugarnya. Dan
LEKRA berhasil menentang penguasaan PKI secara organik atas dirinya,
sampai « katakanlah 1 Oktober 1965 ». Proses itu bukan tanpa taruhan.
Apa yang kemudiannya dikenal sebagai “Konferensi Sastra dan Seni PKI”
adalah bagian dari pertentangan dan pertarungan antara LEKRA dan PKI.
Konferensi yang juga telah terang-terangan memperbedakan LEKRA dengan
PKI di bidang kebudayaan.
Ironisnya malah terjadi di tahun-tahun sesudah 65. Banyak
sajalah orang « mem-PKI-kan LEKRA ». Sehingga yang terjadi adalah, jika
D.N. Aidit tidak berhasil, orang lain yang padahal atau tampak seperti
anti PKI, malah “berhasil” mem-PKI-kan LEKRA. Saya ingin mengetuk
perhatian anda bahwa mem-PKI-kan LEKRA dapat membawa kerancuan dalam
tubuh seni, sastra dan bahkan kebudayaan negeri ini karena penilaian dan
penentangan yang tidak berujungpangkal.
Pewayangan
tua, madya ataupun carangan, ketoprak dengan segala keterikatannya pada
babad selaku ancang-ancang sejarah, kesenian Bali dengan segala akarnya
yang religi, ludruk dan bermacam reog atau pun randai dengan kandungan
realisme sejarah dan satirenya, ataupun Cianjuran, Dogdog atau Tarling
adalah di antara bentuk-bentuk seni yang telah dicampuri LEKRA. Belum
lagi kita bicara mengenai sastra, senirupa dan musik Indonesia masa kini.
Bahwa
di kalangan politik, “tribalisme” sering tampil sebagai metode
pemecahan soal, biarkanlah kafilah itu berlalu. Hal yang demikian tidak
patut ditiru dan diberlakukan bagi kebudayaan. Sebab kebudayaan, seni
das sastra, tidak dan tidak dapat dimiliki oleh sesuatu parti politik.
Partai politik boleh berganti atau sirna, tetapi kebudayaan, tidak. Jika
yang ini sirna, atau anda sirnakan, anda menuhukkan bangsa ini ke
lembah yang papa.
Dan
saya sungguh tidak percaya ada anak Indonesia mampu dan tega secara
sadar berbuat demikian. Kita harus mengangkat gelas dengan cara yang
telah diadabkan. Jika anda mengangkatnya dengan telunjuk anda, gelas itu
akan jatuh dan pecah. Lagi
pula anda tahu bahwa mem-PKI-kan LEKRA adalah sebuah perbuatan yang
murni politik. Yang kandungan manipulasinya bisa luar biasa besarnya.
Maka
itu pula agaknya, sehubungan dengan tragedi nasional G30SPKI, selama 10
tahun saya ditahan, saya tidak pernah diperiksa mengenai LEKRA, sebagai
organisasi atau gerakan kebudayaan. Juga tidak pernah diperlihatkan
kepada saya, “Surat Keputusan Pemerintah yang membubarkan atau yang
melarang LEKRA berdiri dan bergiat”, oleh Tim-Tim Pemeriksa yang
mewakili Pemerintah Republik Indonesia kita ini. Begitulah hukum formal
itu memperlakukan LEKRA.
Anda,
terutama yang sedikit mengerti tatakrama hukum dan politik, tentunya
dapat melihat jalur nalar yang saya kemukakan ini. Sedang bagi anda-anda
yang tidak dapat tidak resah mendengar atau membaca kata LEKRA itu,
saya terlebih dahulu hendak berkabar di sini, bahwa catatan ini saya
buat bukan sebagai sangkakala pemberitahuan
bahwa LEKRA akan mengorganisasi dirinya kembali dan kemudian menuding
orang-orang yang pantas ia tuding. Anda akan sepakat dengan saya, kalau
saya mengatakan bahwa untuk itu, hari sudah terlalu sore, bianglala
sudah melengkungi ufuk kita, karena sementara itu hujan besar telah
datang membawa pepatah “sekali air pasang, sekali tepian berubah”.
Maka
itu, yang saya buat ini, tidak lain dari apa yang telah dikatakan
Chairil Anwar, “Kenang, kenanglah kami” agar orang tahu siapa, dan ibu
mana yang telah menaklukkan maut ketika melahirkan seseorang manusia.
Dan karenanya saya ingin mengajak Anda bertamasya saja ke “Mukaddimah
LEKRA”, sekedar sebagai pengalaman pemikiran, yang siapa tahu dapat
membathin.
Politik,
terutama politik praktis, dalam prakteknya, dapat memanipulasi apa saja
untuk kepentingan taktis atau pun strategisnya. Tapi tidak demikian
halnya dengan kerja dan kerja kebudayaan. Ia tidak harus langsung tunduk
kepada kepentingan politik praktis, dan taktis dan tidak semua politik
praktis dapat dimanfaatkan kerja kebudayaan. Ia dapat dan biasa berada
di luar jalur-jalur kepentingan politik yang demikian.
Semboyan
“Politik Adalah Panglima”, tidak berarti politik sesuatu partai adalah
atau yang harus dijadikan “panglima”. LEKRA tidak pernah mengikat diri
pada pengertian demikian. Sebab, konotasi politik dalam semboyan itu
adalah wawasan, bukan lembaga atau orang, apapun ia. Wawasan yang dapat
lebur ke dalam proses penciptaan dan karya seni sepereti patung, cerpen
atau sajak. Dan
di dalam proses inilah wawasan politik itu tunduk pada tuntutan
estetika artistik. Di sini estetika itu yang jadi « panglima », kalau
hendak terus main « panglima-panglimaan ». Di sini taraf keseniman yang
menentukan. Di sini kejujuran dan hati nurani itu jadi « perdana
menteri », jika kita ingin juga memakai analogi.
Ada
wawasan politik yang dapat dilebur ke dalam kerja dan karya kebudayaan.
Tapi ada juga yang tidak. LEKRA misalnya, pernah mengeluarkan
pernyataan “menyokong kembali ke UUD 45”,
tapi tidak pernah mengeluarkan pernyataan “menyokong dibentuknya
kabinet NASAKOM” sebagai gebrakan politik praktis. Tapi jika esensi
“NASAKOM” itu diolah sebagai emansipasi bentuk persatuan nasional bangsa
ini, pendirian LEKRA juga jelas. Pengertian politik di sini merupakan
bagian dari perjalanan sejarah eksistensi masyarakat manusia Republik
Indonesia ini.
Jadi,
LEKRA tidak melakukan vulgarisasi pengertian dan pekerjaan politik. Dan
pandangan demikian dengan jelas dijalin di dalam “Mukaddimah LEKRA”.
Lagi
pula kita semestinya tidak perlu lupa menyimak sebuah buku berjudul
“ABRI sebagai kekuatan sosial dan pokok-pokok kebijaksanaan dalam rangka
memelihara dan meningkatkan kemanunggalan ABRI dengan rakyat” terbitan
10 mei 1979 dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Buku itu antara
lain dengan tandas sekali menyatakan bahwa “Walaupun titik berat
pembangunan kita terletak di bidang ekonomi, namun perlu diperhatikan
bahwa sesungguhnya bidang politik mendasari semua bidang pembangunan”.
Apa artinya ini? Kita boleh dan baik memahaminya secara terjabar. Tapi
ini baik dilakukan lain kali.***
*
Catatan:
Naskah ini dipetik dari buku Sekitar Polemik Pramoedya-Lekra vs
Manikebu oleh A.Kohar Ibrahim. Penerbit: Titik Cahaya Elka, Batam,
Kepulauan Riau, Indonesia. Disiar ulang Facebook 18.08.2011 dalam rangka
menyegarkan ingatan berdirinya Lekra 1 Agustus 1950.
*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar