Saya layangkan beberapa aksara pada
sebuah pusara,bersemayamlah jasad, sementara musim terus berganti, dari jelata
biasa seperti kami, berkumpul merapatkan kulit dengan taman yang masih
beristirahat, setelah peperangan mengamuk, menginjak-injak kepala, satu persatu
berjatuhan, dan kini pagi menyengat barisan manja bersama mentari, bermandikan
keringat, takada karangan bunga, kecuali kamera,foto,video, jua lukisan yang
barangkali ingatkan kita pada cahaya dari arah masa mendatang. Ya, saya coba
kirimkan beberapa aksara saja, padahal impian kami adalah impian tepian kota,
yang acap inginkan bahagia bahagia meluas pada lajur yang disesaki penat,
ataupun kendaraan yang diduduki bejat. Lambat laun semua beraksara juga, dengan
nada dan warna suara yang beraneka, memilih sunyi yang tersembunyi di dasar
hati. Lagi takada kendi, air, kembang segalarupa yang harumkan busuk kota,
sekadar mewartakan pilu jiwa, kemudian memastikan bahwa kami pun ingin hormati
nyawa yang penuh wibawa, arwah yang junjung perkara wah, megah, tapi takmau
hidup bermewah-mewah, hanya kerja, kerja dan lalu bekerja.
Nama dan nama ternama bermunculan,
terbaca taksengaja, tereja nyaris terbata-bata, membuat kelu dalam pongah kami
yang selau merasa hidup haruslah berarti. Sudah saya tujukan beberapa aksara,
agak biasa memang, mungkin terdengar rancu, jauh dari indahnya tugu, ornament,
atau prasasti yang tuliskan selaksa sukma menembus batas cakrawala. Kembali
saya selalu menjadi jelata, berdandan nista, berbaju derita, seperti wajah seantero negeri yang taklepas-lepas dibuai industri ngeri
lagi nyeri, bertahuntahun dijahili pekerjaan, berharap kaya keluarga dan sanak
saudara. Pada taman
yang nyata nyaman, kami taburkan seikat aksara yang harapkan mujarab, menyebar
di antara kekaguman dan seluruh peluh.
2012
Adew Habtsa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar