Ada
baiknya kita kembali mendefinisikan siapa sesungguhnya kita, atau siapa sebenarnya
manusia Indonesia itu, demkian Alfathri Adlin lontarkan kegelisahan pada kajian
rabu sore di Museum KAA, setelah begitu fasih menjelaskan sejarah yang teramat
panjang tentang kolonialisme sampai pasca kemerdekaan Republik Indonesia,
panjang, berkelok-kelok, penuh terjal
berliku, onak dan duri menghadang, bahkan badai sewaktu-waktu menyerang, hingga
saat ini kita bernafas, masih saja seperti itu. Lebih jauh kita harus kembali
merumuskan siapa diri kita sesungguhnya, begitu ujarnya.
Mengapa
terpantik pemikiran seperti itu? Setelah kemerdekaan 1945 (Baca: Postkolonialisme),
tak kurang dan taklebih kita seperti kehilangan identitas diri, krisis jatidiri,
terlebih pada saat memasuk orde reformasi. Betapa tidak, mental postkolonial
merebak di seantero bumi nusantara, hinggap dalam diri kita masing-masing,
sebut saja mentalitas rendah diri dan takmau mandiri, acap tergantung pada
pihak lain yang lebih berkuasa, dan kita takmemiliki apa-apa lagi, selain tubuh
ini yang kerap tersiksa, oleh apasaja, oleh apapun. Sosok manusia yang ideal
pun dipertanyakan, sebagaimana Harry A. Poeze pernah menyebut Bung Karno dan Bung
Hatta beserta rekan seperjuangan beliau merupakan figur-figur yang terbentuk nyaris
sempurna, baik dari pola pikir, pola pandang dan pola sikap, hingga metode
juang yang tampak apik dan menawan dalam upaya menjegal tangan-tangan Kolonial
Belanda beserta antek-anteknya.
Bila memang kita berada dalam pasca kemerdekaan, dengan usia kemerdekaan negeri ini yang juga sudah agak tua, tapi nyatanya kita hidup dalam ambivalensi, di satu sisi membenci kolonialisme, penindasan dan yang semacam dengan itu, tetapi pada saat yang sama kita pun berprilaku seperti itu, seakan-akan penindas, seolah-olah penjajah yang kerapkali merugikan orang lain, menyengsarakan lingkungan sekitar kita, tanpa berbuat sesuatu yang bermakna bagi perkembangan peradaban ini. Itulah mentalitas post-colonial yang barangkali sering merasa tabik dengan polah yang dilakukan Elit Kolonial, dan tanpa disadari kita pun berbuat sebagaimana mereka lakukan pada satu perbuatan. Di sisi yang lain, kemauan dan tekad kita untuk belajar menimba ilmu, memperkuat pola pikir kita malah jauh tertinggal, lagi dan lagi persoalan sumber daya manusia dalam mengolah kekayaan alam yang melimpah ruah, harus menelan pil pahit, tak sebanding dengan apa yang diharapkan. Bukankah sumber kekayaan yang mestinya jadi sumber kesejahteraan rakyat banyak, harus dikuasai lagi oleh pihak asing, dikeruk segalanya oleh mereka?
Kondisi
ini memprihatinkan, kita akhirnya dapatkan remah-remah lagi, yang takseberapa
jumlahnya. Ini sungguh memilukan, mentalitas kita terbukti melemah, tergantung
pada Barat, pada kekuasaan Asing. Walhasil, menurut Alfathri Adlin, sesungguhnya
bangsa ini dirancang untuk tidak mandiri, selalu ketagihan pada Barat, yang
telah lebih cemerlang ilmu dan pengetahuannya, juga penguasaan teknologi yang
telah mumpuni. Kita kembali jadi penonton atas pertujunkkan yang sangat tragis
ini, drama kebangsaan yang menjadi ironi, alangkah murung dan menyesakkan dada,
kapankah cerita seperti ini akan berakhir?
Wacana
postkolonialisme, berawal dari tulisan Edward W Said, dalam buku Orientalisme,
yang ditandaskan bahwa Timur itu sesungguhnya adalah temuan Barat. Sungguh pongahnya
bangsa Barat melihat bangsa Timur yang justru pada saat itu sedang terbelakang,
terpuruk dalam suasana yang muram dan takberdaya. Dalam buku ini ingin sekali
disampaikan gugatan pada cara pandang Barat yang begitu takadil dalam
mendefinisikan Bangsa Timur. Pada bagian yang lain, Peradaban Islam sedang
mengalami kemundurun, setelah banyak sekali penyelewengan dan penyimpangan yang
dilakukan oleh para penguasa ketika itu, lebih mementingkan hal-hal duniawi,
lalu melupakan pemajuan ilmu pengetahuan. Dan pada kondisi yang berbeda, Barat
tampil ke muka, mendobrak segala kemuraman hidup (Baca: Dark Ages), dalam makna
lain muncul pemikiran sebelumnya bahwa hidup hanyalah untuk mati, maka
pemikiran atau lintasan pikiran itu didobrak oleh pemikir seperti Galileo
Galilei, Copernicus, Rene Descartes, yang lebih condong pada upaya kemajuan
ilmu pengetahuan, mendobrak dominasi gereja di Eropa yang begitu arogan,
mengekang sepak terjanug pemikir, ilmuwan yang taksealur pikir dengan Gererja.
Meski terjadi penghukuman terhadap mereka, para pemikir, pengusung masa
pencerahan di Eropa ketika itu, tetap saja mereka merangsek berdaya upaya
memberi yang terbaik, hingga muncullah tanggung jawab orang kulit putih (Burden
Whites) untuk mengeksplorasi segala cipta, rasa dan karsa, dan taklagi mau
terkungkung pihak Gereja. Menjadi bebas, lepas, dan bertumpu pada akal alias rasionalitas.
Penjelajahan
segala yang nampak di Bumi dimulai, babak baru kolonialisme dibuka, wilayah Timur
ditemukan, dengan semangat 3-G (Gold,Glory,God), karena bangsa Eropa, merasa
perlu untuk memperoleh bahan bakar, temuan-temuan tentang makanan, minuman,
sumber rempah-rempah untuk kelanjutan perikehidupan mereka, di daerah Timur
diyakini memiliki sumber-sumber termaksud, maka terjadilah pencaplokan tanah di
daerah yang memang menguntungkan, termasuk wilayah nusantara-Indonesia.
Kolonialisme memang menyakitkan, membawa korban, sedang keuntungan terus saja
disedot habis-habisan untuk membangun peradaban sang penjajah itu.
Perlawanan
tercipta dan harus terjadi, terhadap bentuk kolonialisme, sampai gong
kemerdekaan pun bergema ke seantero negeri buah dari itikad yang kuat dan
perjuangan tiada tara, di atas rata-rata, untuk terbebas dari penjajahan fisik
tersebut. Sampai datanglah pada masa lepasnya belenggu penjajahan dari masa
pendudukan Jepang dan juga Belanda tentu saja, para pendiri dan bapak-ibu
bangsa kita sekuat tenaga, sebisa yang mereka bisa, meletakan pondasi negara,
juga arah pedoman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, agar tetap
terpelihara kemerdekaan ini, syukur-syukur dapat mengisi kemerdekaan dengan
karya nyata dan pembangunan manusia Indonesia sepantas-pantasnya. Dengan segala
kekurangan dan kelebihannya, pada pasca kemerdekaan para pemimpin bangsa sudah
mencurahkan dedikasinya, dari satu orde ke orde yang lain, tapi selalu saja ada
yang mengganjal, yang melemahkan kita untuk menjadi bangsa yang besar. Sebut
saja, itulah krisis identitas, karakteristik postkolonial yang patalogis, yang
ternyata masih gagap dalam berpijak dan berbuat, kemudian takada ikhtiar untuk merefleksikan
diri kita masing-masing.
Pada
bagian akhir, Alfathri Adlin memberi response atas perkembangan wacana
postkolonial, agar identitas kita makin utuh adanya, dan menaruh harapan besar
pada kelompok diskusi atau kajian yang diharapkan mampu kuatkan jatidiri
kebangsaan kita, melalui pemantapan tradisi literasi: membaca, kemudian
menulis, merefleksikan segala perkara dengan tepat dan berimbang,
takberlama-lama dalam polemik, lebih mementingkan substansi pada setiap
kejadian atau peristiwa tertentu. Sambungnya, siapa tahu masih ada yang percaya
dengan kekuatan pendidikan atau apapun yang membuat kita tercerahkan untuk
melawan segala format hegemoni dan kolonialisme itu.
Bandung,
Juni 2012
Adew Habtsa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar