“Bagai jutaan serigala,menyerbu kota besar, tempat asal adalah neraka…” (SWAMI,1990)
Sontak saja jalanan macet, kota ini nyata sexy. Bagai perempuan atau
lelaki sexy, semua orang ingin melihat, jikaperlu meraba-raba setiap
lekuk tempat ini. Uang cukup di kantong Anda,terbelilah segalanya.
Makanan bagus, minuman segarkan haus, pakaian halus,takhanya itu
pemandangan dan hawa pun lumayan mulus, sebab angin agak segar boleh
berhembus. Tiap pekan, bahkan tiap hari,ribuan bahkan jutaan orang
mengerubungi kota nan sexy ini. Konon ada rumor, bahwa kota bandung
berpopulasi 4 juta pada siang hari, namun ketika malam tiba, kota ini
dihuni kurang lebih 2,5 juta penduduknya.
Pada Sebuah Pertunjukan di Minggu Pagi, Awal Maret 2011, Car Free Day Dago |
Betapa banyak kepentingan dari orang-orang yang berhamburan memenuhi
setiap titik tertentu di kota ini, seperti ibukota lainnya di nusantara
atau di belahan bumi lain, segala kepentingan bisa saja terjadi di kota
ini. Entah kepentingan positif atau negatif, tergantung standar
kebenaran yang diyakini masing-masing. Adalah terkena hukum nisbi alias
relatif untuk menghadapkan satu obyek dan peristiwa tertentu, apakah
memang obyek itu mengandung kepentingan atau tidak. Penting
sepenting-pentingnya, beserta alasan yang menyertainya atau bahkan nihil
sama sekali dari kepentingan tertentu.
Takbisa disangkal lagi, kita pun lelah menghadapi anekarupa
kepentingan.Tuan dan nyonya punya kepentingan, begitupan jelata seperti
kita, sekadar kepentingan untuk hidup layak dan seimbang terwujudkan
pun, malah jadi terseok-seok. Tiba-tiba saja kita, terutama saya menjadi
kebal atau tepatnya terbiasa dengan kondisi kota yang katanya Tuhan
tersenyum saat penciptaan daerah nan asri ini, di bagian tertentu saja,
untuk tidak mengatakan semuanya anggun, pada suasana saat ini. Anda
pasti pernah melintas jalan Braga, sejarah mencatat jalan ini telah
menjadi icon kebanggaan kota ini, hingga beberapa Negara di Afrika
mengenal tempat ini, sampai-sampai mengambil pola bangunan yang nyaris
mirip dengan jalan bergaya Eropa. Jalan Braga pada masa keemasannya
adalah pusat kebudayaan, mempresentasikan Bandung selaku kota multietnis
sekaligus multikultural pada masa kolonial Belanda. Takhanya melulu
berdagang, namun ada misi lain yang ingin disampaikan diantara warga
ketika itu.
Itulah barangkali kepentingan yang setidaknya hendak kita asongkan ke
sidang pembaca bahwa nyata dan kentara kota ini begitu beragam dan
berwarna ideologi hidup dan tingkah polah warganya. Segala warna kulit,
bahasa, tradisi dan agama bertumbukan di tempat ini dan jalan Braga jika
mengaca pada sejarah tampak memperlihatkan sisi yang bernuansa
bangsa-bangsa di dunia, meski taksemuanya ada disini. Lebih jauh Bandung
merupakan melting pot atas semua realitas sosial yang ada.
Semenjak dulu Bandung sudah terbiasa dengan kebhinekaan citarasa dan
latarbelakang hidup seseorang, diantara warganya tersemat toleransi yang
patut kita reguk kembali untuk didatangkan di hari-hari kita, saat ini,
yang berat dan penuh tantangan. Dari sana pancarkan keguyuban dan
kesetaraan. Dari tempat ini pula berbagai peristiwa politik dan
kebudyaan yang tampilkan kebersamaan, kerjasama serta dilandasi niat
yang baik untuk memajukan perdamaian dunia telah membahana. Dan mengapa
hari ini tidak kita tiupkan lagi semangat nilai-nilai itu, dari hanya
sekadar membawa kepentingan sesaat.
Pada panorama yang lain di kota ini, ada makhluk paling manis, paling
jujur jua bersuara lantang, inilah dia pemusik balada. Musik balada
dalam pengertiannya yang sederhana sebuah aliran musik yang
menitikberatkan pada kekuatan lirik. Genre ini membiarkan katakata
bercerita, bertema apapun, berkisah apasaja. Mengingat manusia adalah
makhluk yang senang bercerita (Homo faboulan), sependiam apapun orang
itu, pasti dia akan bercerita,hanya barangkali media ekpresinya saja
yang berbeda-beda.
Pemusik balada sebut saja sosok homo faboulan, senang bercerita,
bertutur lewat musik, dengan nada, dengan puisi, dengan narasi sederhana
yang lebih pas dan diperkirakan mengena secara estetika dan kemerduan
bunyi musik lainnya. Kemudian ia, mereka, komunitas ini terlahir dan
besar di satu tempat tertentu,apatah lagi memang tumbuh besar di kota
sebesar Bandung ini. Kota seribu taman katakanlah demikian menghadirkan
kompleksitas persoalan kota. Dari kemacetan hingga penduduk yang
membludak. Sebagaimana kota besar lainnya, persoalan ekonomi dan
lapangan pekerjaan benar-benar menjanjikan di kota ini, bisa jadi inilah
daya tarik sekaligus daya pesona, sehingga membuat orang-orang dari
desa,atau kota-kota lainnya ingin bergegas mencecap gemerlap kota.
“Kota ini rumah yang pecah, tapi kita menyerah, untuk tetap betah dalam getah, gundah gelisah…”(Acep Iwan Saidi,2004)
Jika memang para pemusik balada ini memiliki komitmen sosial serta fokus
interest terhadap realitas kota, bukan lantaran ia tinggal di kota,
namun lebih dari itu, ada kepekaan nurani di atas rata-rata, tentu
pemusik balada sudah membawa kepentingan yang luar biasa untuk
ditawarkan pada khalayak banyak. Seperti halnya para penyair acapkali
menangkap momen-momen puitik yang berseliweran di atas tanah kota, di
jalan-jalan, di taman, di lampu-lampu jalan, pada ruas trotoar di bagian
manapun, bahkan di tempat yang terduga sebelumnya, begitupun pemusik
balada diharapkan mampu memotret fragmen kehidupan kota berbarengan
dengan hiruk pikuk kota yang menyesakkan dada.
Berdasar pendapat sosiolog, kelompok tanpa konflik itu menandakan sakit.
Artinya permasalahan yang mencuat di kota, biasanya bertali temali
dengan pergerakan kelompok yang kerapkali menimbulkan gesekan, interaksi
sosial memburuk, problematika kota pun takterhindari. Konflik dalam
satu kawasan itu wajar, mengingat manusia membawa pelbagai macam
kepentingan, asalkan bisa dicari solusi yang tepat dan akurat. Masalah
kota ini sesungguhnya ‘proyek’ kita,untuk sama-sama dibenahi semampu
yang kita bisa. Akhirnya kota Bandung ini takakan pernah habis oleh
cerita dan dongeng dengan bermacam-macam tema dan topik pergulatan
keruwetan hidup yang datang silih berganti.
Takpelak lagi, pemusik balada sebagai bagian yang takterpisahkan dari
masyarakat kota, seyogianya membawa dua kesaksian yang semestinya
dilakukan, yang pertama kesaksian dengan kata-kata, artinya membuat
syair dan musik atas segala persoalan kota yang menggangu keharmonisan
masyarakat, dan yang kedua melakukan kesaksian dengan perbuatan,
bermakna urun rembug,berpartisipasi aktif melakukan perubahan dengan
tindakan nyata selaras dengan kemampuan yang ada.
Kesaksian tersebut bermuara pada karya musik tertentu yang tentu saja
berbasiskan nilai-nilai luhur dan sarat dengan pemuliaan martabat
kemanusiaan. Mengapa harus berbasis nilai? Paling tidak kita sudah
memotret kondisi perkotaan dengan nyanyian, maka agar karya tersebut
berjiwa,takada pilihan kecuali dengan memasukkan unsur nilai-nila
kehidupan yang universal, tanpa harus terbebani dengan bobot nilai
tertentu. Takada salahnya barangkali seorang pemusik layaknya aktivis
atau pekerja sosial lainnya perlu dibekali nilai-nilai luhur kemanusiaan
bagi pertumbuhan peradaban manusia yang lebih mantap.
Syukur-syukur lewat lagu yang tercipta, melalui lirik yang tertulis,
bersama irama yang membahana, ada yang mau membuka mata hatinya untuk
lebih hirau pada kondisi kota dan segala tetekbengeknya, tidak lantas
terjebak pada kepentingan-kepentingan temporer dan dangkal yang hanya
untungkan segelintir orang saja. Dengan demikian bagian-bagian tertentu
dari kota dibidik,individunya digugah, masyarakatnya digerakkan untuk
kemajuan kehidupan yang lebih baik dari sebelumnya. Mari.
Bandung, September 2011
Adew Habtsa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar