:
Tadarusan Sesi 14 bersama Dina Y Sulaeman, 30 Mei 2012.
dari blog pribadi bu Dina Y Sulaeman |
Pada
ruang yang berbeda, ibu rumah tangga ini begitu terkesima membaca sosok elok
dari silam masa, sebut saja Sutan Sjahrir, dari buku yang kini klasik: Tonggak-Tonggak
di Perjalananku, dituturkan dengan apik oleh Ali Sastroamidjojo, meski Sjahrir
dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia tampak Pro-Belanda,
seperti bermesra-mesraan dengan Belanda, namun sesungguhnya Syahrir sedang
bersiasat untuk terpeliharanya kemerdekaan yang sudah diproklamasikan itu. Kita
memang takmemiliki apa-apa, sebagai bangsa yang baru lahir, persenjataan yang kurang, tentara yang belum memadai baik
dari segi jumlah maupun perlengkapan lainnya, roda pemerintahan yang belum bergulir dengan sempurna, mengingat
rongrongan Belanda masih ingin saja berkuasa, namun setidaknya kita memiliki
tekad yang tepat serta kesigapan menghadapi serangan Belanda yang ingin
berkuasa lagi, karena memang Indonesia sudah begitu memesonakan dan memuaskan
apapun yang diinginkan pemerintah Belanda. Ini tentu tidak dihadapi melulu
dengan pertempuran sengit, ada jalur yang bisa ditempuh yakni perundingan.
Ibu rumah tangga ini, telah berganti baju, berganti atribut dan penampilan, dengan tenang lalu menjelaskan bahwa begitu dahsyatnya modal nasionalisme yang bermakna kecintaan pada tanah air, bangsa dan segala yang menyertainya, seutuhnya, dalam upaya diplomasi. Kalaulah berdiplomasi, kita maknai sebagai cara berunding untuk memperjuangkan sesuatu hal atau kepentingan tertentu,maka tentu saja haruslah dilandasi semangat kebangsaan di atas rata-rata. Jika tidak demikian, tentu saja kejadian yang terjadi di masa lampau akan terus berulang, seperti hal-halnya sumber-sumber keuangan Negara pada detik ini, kembali menemukan permasalahan, seakan-akan mereka para pengusaha, penanam modal telah membantu kita, padahal sesungguhnya di belakang kita mereka telah lancarkan motif-motif lainnya. Ya, sudahlah. Disadari atau tidak, yang berhadapan dengan mereka adalah orang-orang pintar, ahli di bidangnya, tapi entah kenapa kok tiba-tiba jadi seperti takluk, lemah, takberdaya, harus memperlakukan dominasi asing yang sulit terbendung. Barangkali kita telah tertinggal segalanya, mulai dari manajemen sampai teknik pengolahan sumber daya alam, sudah jauh tertinggal, oleh sebab ilmu pengetahuan yang kita miliki juga masih jauh dari apa yang diharapkan. Alhasil, perilaku mengekor pada kekuatan barat, asing , atau siapapun yang berkuasa dalam ilmu dalam apasaja, akan dengan mudah kita turuti. Kita sepertinya begitu silau dengan peradaban barat yang berkembang pesat, melesat menuju bulan dan planet lainnya, serta merta mereka pun melihat dunia timur, termasuk bangsa Indonesia, sebagai mangsa, lahan garapan,atau obyek menarik untuk dijadikan apapun yang lebih bisa menguntungkan mereka. Barangkali begitu tafsir sederhana untuk sekadar melihat hegemoni barat yang ingin kekeuh peuteukeuh menduduki kembali bumi nusantara. Tanah disini begitu menggoda, bak gadis perawan nan cantik, semua tatapan lelaki tertuju padanya, lebih jauh ingin memilikinya, cepat atau lambat.
Sebuah
buku berjudul Black Skin White Mask (1952) karya Franz Fanon telah dijadikan
acuan post-colonial yang tepat oleh ibu rumah tangga ini, barangkali bisa jadi
pisau analisis mengapa semangat penjajah, polah colonial, kita lahap mentah-mentah, yakni suksesnya internalisasi nilai dan
attitude penjajah kepada yang terjajah, tentang
syndrome kekuasaan artinya merasa kagum dengan apa yang telah dilakukan
oleh pihak asing-kolonial, sehingga kita dibuat terbingungkan dalam kekaguman
yang semu, jika perlu kita minta dijajah lagi. Selanjutnya syndrome
ketergantungan, pada pihak terjajah
ditumbuhkan rasa membutuhkan pada pihak penjajah yang telah berjasa dalam
membangun daerah koloninya. Melalui analasis ini, sedikit banyak pola-pola
pemerintahan pun mirip dengan bentuk kolonialis, setelah mempelajari bagaimana
para penjajah itu berkuasa dan memerintah kepada budak-budaknya.
Ibu
rumah tangga ini merasa penting menyoal perjuangan politk luar negeri, merasa
perlu untuk memperbincangkan strategi diplomasi dalam kerangka memajukan kemerdekaan,
kedamaian dan ketertiban dunia, paling tidak dari perjuangan diplomasi ini pada
gilirannya nanti dapat memajukan kepentingan nasional berlandaskan perdamaian
dunia yang semestinya abadi. Pada gilirannya nanti kita sebagai warga dan
selaku bangsa memiliki taring dan suara yang nyaring tampakkan harga diri
bangsa. Ibu rumah tangga ini menimbang
dengan seksama tentang buku karya Ali Sastroamidjojo untuk dijadikan referensi
yang tepat bagi para pejuang-pejuang diplomasi Indonesia, katakanlah Sutan
Sjahrir begitu tegas dan bijak dalam menyikapi perundingan-perundingan di
tingkat PBB, manakala Agresi Militer I pada tanggal 21 Juli 1947 terjadi. Pada
waktu itu Belanda masih merasa berkuasa de jure atas seluruh Indonesia.
Pemerintah RI sudah memberikan usulan pada Dewan Keamanan untuk mengambil
tindakan terhadap Belanda, tetapi tetap saja takhiraukan sebagaimana mestinya,
veto Amerika Serikat begitu kuat berpengaruh, yang malah mendukung Belanda.
Suasana jadi berbeda, tatkala Sjahrir diutus Pemerintah untuk hadir Lake
Success, dalam perdebatan itu, maka Dewan Keamanan PBB mau mengambil
langkah-langkah selanjutnya. Luarbiasa.
Dari
paparan di atas, dari figur Sutan Sjahrir, kita berkaca, sebagaimana ibu rumah
tangga ini kembali terkesima, tiada lain, dalam keadaan apapun, saat kita
menghadapi siapapun hendaknya national interest takboleh terabaikan, selalu
jadi nomer satu. Disamping mental yang kuat dalam berunding, berdialog dan
memperbincangkan sesuatu yang akan dipertahankan dan diperjuangkan, butuh juga
keahlian berbahasa yang memadai, agar tidakterjadi kesalahpahaman, yang
akibatkan kerugian bagi pihak kita. Sungguh pun kondisi Indonesia masih jauh
dari apa yang diidealkan, sepatutnya kita tetap optimistis mengantarkan
masyarakat pada ruang-ruang penyadaran, ditengah sikap minder, diapit
ketidakberdayaan hidup, takada pilihan kecuali melawan hegomoni asing dengan
segera lakukan penyadaran, melalui apa yang kita bisa. Ibu rumah tangga ini
mengamini bahwa kita sudah semestinya sering berkumpul, menghimpun kekuatan
sembari terus memupuk semangat kebangsaan, karena tanpa ini, rasanya berat
untuk bertarung di percaturan global.
Ibu
rumah tangga ini, jangan-jangan seorang diplomat. Sebab begitu gebalau dengan
kenyataan perjuangan diplomasi hari ini, termasuk di dalamnya sosok diplomat
ulung, apakah tergulung waktu dan tergerus arus zaman yang begitu permissive?
Ah, sudahlah.
Bandung,
Mei 2012
Adew
Habtsa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar