Sidang
pembaca yang berbahagia, barangkali yang paling mahal dalam hidup kita adalah
semangat, sebagaimana gairah yang acap mengendap atau menguap dalam jiwa.
Katakanlah, dalam tubuh ini ada api yang terus menyala, bergelora, tentu saja membakar
segenap rasa, itulah api semangat yang terus menyala-nyala. Ini semua yang
melandasi saya untuk memulai sebuah aktivitas, menghidupkan api yang akan
menyala, menghangatkan tubuh, syukur-syukur menerangi sekitar.
Api
ini pula yang akan menggerakkan segala indera, semua anggota tubuh untuk
senantiasa merasakan apa yang mesti terasa, melakukan apa saja yang harus dilakukan. Berdasar aforisme biasa,
bahwa setiap diri punya api yang mendekam dalam jiwa masing-masing. Hanya tinggal
bagaimana kita akan memperlakukannya. Boleh jadi api itu berkobar, atau malah
api itu menjadi padam, karena kita enggan untuk menyalakannya. Semua terpulang
pada kita.
Di
tengah perjalanan hidup ini selalu saja ada tantangan. Bukanlah kehidupan, bila
takada godaan. Tinggal bagaimana kita menjawab tantangan itu. Hingga sampailah
pada suatu episode bahwa api dalam tubuh ini dirasa penting guna
keberlangsungan kehidupan kita di masa-masa yang akan datang. Moga sidang
pembaca setuju, api ini merupakan pembakar yang bukan sekadar pembakar, apalagi
yang akan menghanguskan setiap benda yang ada di seantero bumi. Inilah api
penerang bagi semua ketemaraman diri.
Sidang
pembaca yang budiman, tiba-tiba di hadapan saya ada Museum, sebuah tempat yang
dari dulu saya pahami dengan teramat picik, karena memang siapa yang akan
kerasan berlama-lama di tempat yang katanya takmenyenangkan, dengan setumpuk
stereotip buruk perihal museum. Sosok saudagar buku muda telah menghantarkan
diri ini untuk sampai di museum,Deni Rachman namanya, yang kemudian membentuk
satu kelompok yang diberi nama Asian African Reading Club, disana bertemulah
Arkeolog Nunun Nurhayati, dan beberapa kawan lain, Theoresio Rumthe penyiar
Radio sekaligus penyair, Puji Rianti Sang Pustakawati di salah satu
perpustakaan ternama di kota Bandung serta Lettare Manurung yang kuat minatnya
pada sejarah.
Pertemuan
dengan mereka dalam kelompok yang diawal pendirian hendak merayakan semangat
literasi, menghidupakan kembali semangat membaca sekaligus menulis, membuat api
dalam jiwa ini kembali menyala, meski kecil daya pancarnya, tapi lambat laun
api itu terus menyala. Setelah memang sekian lama padam, tertutup persoalan
sepele dan lebih mementingkan hawa nafsu belaka. Sedikit demi sedikit api pun
membesar, kendati roda kelompok berjalan tertatih-tatih, sedang para personil
kelompok pun termakan kesibukan serta
aktivitas lain yang mesti digarap,
hingga untuk sampai tujuan, roda itu pun berjalan tersendat. Pada medio Agustus
2009 roda kelompok Asian African Reading Club (AARC) mulai digelindingkan, di
ruang Bendera Museum Konperensi Asia Afrika, digelorakan oleh kepala Museum KAA
Isman Pasha, Budayawan Ahda Imran, Nunun Nurhayati dan Deni Rachman, maka meluncurlah
kelompok yang mencoba fokus pada kajian pendalaman nilai-nilai spirit Bandung,
yang memang menjadi pilar dari Konperensi Bandung 1955, paling tidak ada empat
hal yang coba digali dan lantas terus didengungkan oleh kelompok ini, yakni,
niat baik, kesetaraan, perdamaian, dan kerjasama. Setidak-tidaknya empat hal
itu yang selalu diembuskan agar api dalam diri terus berkobar, lalu membakar
semangat kebangsaan kita.
Sidang
pembaca yang baik, Asian African Reading Club mungkin saja tergolong kelompok
sosialisasi. Betapa tidak, dari kelompok ini melalui visi misinya hendak
mengabarkan pada dunia, pada masyarakat, pada setiap warga, juga pada setiap
individu untuk sama-sama memaknai semangat Bandung, buah pikir para guru dan
tokoh bangsa dan dunia yang selalu berdayaupaya ingin menciptakan perdamaian
dunia, terutama berkenaan dengan perjuangan bangsa-bangsa kulit berwarna dalam
menentang kolonialisme dan imperialisme internasional.
Sementara
itu api dalam tubuh nyaris padam, sesekali tertiup angin, terguyur hujan badai,
bahkan tertempa guncangan yang teramat dahysat, hingga terlupa akan pentingnya
menjaga api yang harus menyala dengan kentara sekaligus mengekalkan ingatan
terhadap sejarah dan masa lalu, biar menjelma cermin yang menginspirasi
kehidupan kita di masa yang akan datang. Maka, upaya penghidupan api seperti
demikian menjadi sebuah keniscayaan, oleh karena itu, ada beberapa strategi
pemantik agar api berkobar adanya, yakni diantaranya diskusi buku dan napak
tilas.
Adapun
diskusi buku yang digelar setiap sepekan sekali di ruang audiovisual Museum KAA,
menggunakan metode tadarusan, seperti yang kita temui di dunia pesantren,
setiap peserta membaca satu teks, sedangkan peserta yang lain,mendengarkan,
secara bergilir membaca, sampai tamat dengan bagian materi yang sudah
ditentukan dari awal. Pada sesi lain, akan ada pembahas yang berasal dari para
tokoh, akademisi, seniman, budayawan dan lain sebagainya. Buku The Bandung
Connection karya Dr. H, Roeslan Abdulgani ialah buku wajib yang sampai saat ini
menjadi acuan, karena buku tersebut mengisahkan hal-hal yang berkaitan dengan pelaksanaan Konperensi
Bandung beserta kronik sejarah kebangsaan lainnya.
Sepanjang
tahun 2010 buku tersebut telah dituntaskan kawan-kawan AARC, dan kemudian pada
pertengahan Juli 2011 dilaksanakan agenda napak tilas, sebagai upaya menjejaki
peninggalan bersejarah yang ada kaitannya dengan peristiwa konperensi Bandung.
Diantaranya mengunjungi Istana Bogor, Gedung Pancasila, hingga sampai juga di
Kediaman Bapak Roeslan Abdulgani di Jakarta Pusat. Selanjutnya buku lain yang
sudah diselasaikan pembacaannya sepanjang tahun 2011 adalah Asian Future Shock,
yang sebagian besar menceritakan problematika sosial-politik di negara-negara
yang tersebar di Asia, setiap negara punya kisahan dan bisa dipetik pelajaran
berharga atas apapun yang menimpa Negara tersebut. Dan pada tahun 2012 ini
agenda Tadarusan Asian African Reading Club sedang membaca buku autobiografi
Mr. Ali Sastroamidjojdo “Tonggak-Tonggak di Perjalananku”, sebuah buku yang
sudah menjadi klasik ditulis oleh Perdana Menteri RI tahun 1955-1957, dan
beliau menjadi ketua panitia konperensi Bandung, tentu saja banyak kisah
perjalanan hidup beliau sebagai sosok guru bangsa yang sanggup menghidupkan api
perjuangan dan segala api yang akan membakar kebodohon diri kita masing-masing
yang kerap kali lupa akan jatidiri sebagai bangsa yang berdaulat.
Di
samping itu, akses untuk mendapatkan ilmu pengetahuan seyogianya dapat
dipermudah dan diterima oleh segala kalangan, termasuk bagi saudara kita yang
mengalami disabilitas,khususnya yang tuna netra. Bertolak dari itu, maka
dibuatlah audiobook The Bandung Connection, yang menghadirkan pembaca dari
tokoh, seniman, budayawan, termasuk anggota Asian African Reading Club yang
telah menjadi bagian yang tidak dipisahkan dari Sahabat Museum KAA, yang
kemudian akrab disebut jemaat Al Asia Afrikaiyah, dengan ketulusan hati dan
kesungguhan jiwa mereka menyumbangkan suaranya yang pada gilirannya nanti dapat
dikerangkai sebagai usaha mencerdaskan kehidupan bangsa.
Membaca
hanyalah salah satu medium untuk
menggali ilmu dan pengetahuan agar api dalam batin kita tetap bersinar terang.
Setelah membaca ada tugas lain yang menanti kita, yakni menuliskan apapun yang
tertangkap dari pengertian, pemahaman, sehingga tersiar khazanah pengetahuan
kepada khalayak banyak. Itulah yang barangkali tugas kelompok ini menciptakan
masyarakat literat, yaitu membentuk individu yang senang membaca, dan suka
menulis. Takhanya sekadar berwacana, berdiskusi, bertukar pikiran saja, tetapi
dalam kelompok ini diharapkan ada ikhtiar untuk melahirkan bentuk ekspresi lain
sebagai respons atas apasaja teks ataupun konteks yang terbaca itu. Kelompok
ini sekadar memberikan stimulus pada setiap pembacaan teks materi, lalu setelah
itu akan menjadi puisi, lagu, esei,cerpen,tarian atau bahkan lukisan sekalipun,
itu semua adalah keleluasaan ruang yang diberikan seluasnya-luasnya kepada
siapapun yang hadir menjadi bagian dari Asian African Reading Club.
Sidang
pembaca yang mulia, bersiaplah untuk terbakar dan membakar,agar menjalar ke
setiap urat nadi, ya, api itu adalah gelora cinta kita pada tanah, pada air,
pada rakyat, pada nusantara, teristimewa pada Sang Mahapencipta segalanya.
Bakar kegelapan diri ini, biar api nasionalisme kian menyala-nyala di dada.
Bandung,16
April 2012
Adew Habtsa, Sekretaris Jendral Asian African
Reading Club
Tidak ada komentar:
Posting Komentar